Monday, July 26, 2021

Ekonomi ditepi jurang

 





Di Indonesia ini sebagian besar pengusaha bersikap Vivere pericoloso. Nyalinya mengalahkan bangsa nain. Benar benar bonek. Ada teman saya bangun pabrik PKS ( pabri kelapa sawit). Waktu bangun itu 70% biaya dari bank. 30% modal sendiri. Skemanya non Recourse loan. Artinya kalau dia gagal bayar, pabrik disita. Dia hilang 30%. Takut? Engga. Terima aja. Selesai dibangun pabrik itu, dia mulau stress karena engga cukup modal kerja beli tandan sawit ke petani. Produksi tersendat. Credit terancam macet bayar cicilan. Bank tegur dia. Dengan jujur dia bilang kurang modal kerja. Padahal dalam studinya semua well prepare. Bank engga bisa marahin dia. 


Hanya dua solusi bank. Beri dia modal kerja atau pabrik disita. Kalau disita, jelas nilai pabrik dipasar paling tinggi 30%. Bank pasti tekor. Jadi ya terpaksa bank beri dia fasilitas modal kerja agar produksi bisa jalan dan kredit jadi lancar. Selesai. Kemudian, kredit lancar, penjualan meningkat. Cash flow bagus. Berikutnya datang fund manager tawarkan dana lewat factoring atau cross settlement dengan rekening buyer di luar negeri. Dia bisa dapat dana tambahan. Dia terima aja tawaran dana itu. Uang masuk lagi. Produksi ditingkatkan lagi. Penjualan meningkat. Lama lama tanpa disadari dia sudah masuk ke leverage. Usaha berkembang karena utang. Tetapi gelembung neraca saja.


Semua BUMN kalau buat studi pembiayaan toll atau pelabuhan, selalu yang dihitung itu biaya investasi. Setelah investasi didapat dan proyek selesai dibangun. Muncul masalah. Apa itu?. Negatif cash flow. Selama lima tahun jalan toll merugi dari target pemasukan BEP. Kok begitu?. Ya namanya studi utuk dapatkan kredit bank, biasanya omzet digedein. Target pemasukan ditinggikan agar layak. Jelas saja BUMN kesulitan membiayai operasional. Kalau tidak dibantu, maka jalan toll itu rusak engga bisa diperbaiki. Mau engga mau, bank harus kasih lagi modal kerja agar selama negatif cash flow jalan toll tetap dirawat baik.


Setelah negatif cash flow diatasi,  bukannya berusaha mencapai positif cash flow jadi laba, eh dia jadikan putaran cash flow itu untuk menarik utang untuk bangun jalan toll lain. Tanpa disadari, BUMN melakukan leverage terhadap proyek toll itu. Itu terus berkembang  menjadi skema bagi direksi BUMN untuk membangun. Lama lama  jadilah  bubble neraca.


Apa yang teradi pada pabrik PKS dan BUMN karya itu juga terjadi di hampir semua bisnis di Indonesia. Dari level konglomerat sampai UKM. Sama saja. Nah ketika terjadi market adjustment akibat krisis global dan kemudian berlanjut kepada Pandemi COVID-19, cash flow terganggu. Semakin besar leverage semakin besar potensi stroke. Ya mulai jantung bisnis berdebar debar. Karena arus darah mulai melambat dan jantung dipaksa untuk terus bergerak normal. Jantung keuangan memanas. Mati sih engga,  cuman stroke doang. Terpaksa masuk ICU bank untuk disehatkan. Ya caranya encerkan likuditas, tambah cash flow atau kurangi sumbatan dengan cara restuktur utang. 


Yang jadi masalah, bank yang diharapkan bisa mengatasi cash flow atau aliran darah yang nyumbat, eh bank juga mengalami hal yang sama. Penyakit sama. Sama sama kurang likuiditas. Jadi mau berobat jantung kedokter, yang dokter juga kena penyakit jantung.  Lucu kan. Apa pasal? Sumber likuiditas bank selama ini berasal dari Dana Pensiun. Likuiditas itu kesedot oleh pemerintah lewat penerbitan SBN untuk pembiayaan COVID-19. Kacau kan. Kemana lagi mau selamat? . Semua dokter ekonomi dan politik sakit semua.  Ruang ICU bank penuh. 


Apa yang dapat disimpulkan dari cerita diatas? Baik pengusaha, bank, maupun pemerintah memang punya mental Vivere pericoloso. Berani banget nyerempet bahaya. Sebenarnya berani itu harus, tetapi juga harus dibarengi dengan perencanaan yang baik. Kalau mampunya 100 ya jangan dipaksa 1000. Kalau mampunya bangun 5 tahun jangan dipaksa 1 tahun. Semua harus ada proses. Leverage boleh saja dan memang begitu seharusnya tetapi tentu dengan langkah rasional dan terukur. Harus ada exit strategy yang solid. Engga bisa Vivere pericoloso seperti Bonek


***


Di Indonesia ini teori ekonomi engga berlaku. Mengapa ? begini. Saat sekarang dana pihak ketiga melimpah. Data Bank Indonesia mencatat, dana pihak ketiga (DPK) meningkat 11,5% year on year (yoy) menjadi Rp 6.558,0 triliun pada April 2021. Padahal pada Maret 2021, DPK perbankan hanya tumbuh 9,5% yoy menjadi Rp 6,549,3 triliun. Tapi…suku bunga bank tidak turun. Bunga pinjaman juga tidak turun. Seharusnya uang melimpah, bunga turun dong. Tetapi bank engga berani turunkan bunga. 


Mengapa? mari lihat data. Ternyata pertumbuhan dua digit itu bukan berasal dari deposito ( hanya tumbuh 6%).  Tetapi dari giro yang menigkat 19,5% yoy menjadi Rp 1.664,5 triliun. Lalu tabungan tumbuh 12,8% yoy menjadi Rp 2.197,7 triliun. Ini dana engga bisa jadi sumber likuiditas bank untuk ekpansi kredit.  Benarkah? Mari lihat data penyaluran kredit hingga Mei 2021  menurut BI mengalami kontraksi 1,28% (YoY). Artinya bank bleeding. Biaya uang jalan terus tapi pemasukan rendah.


Apa bad news dari data tersebut ? pernah, itu karena adanya NPL ( kredit bermasalah) yang menurut OJK sebesar Rp 775 triliun. Artinya dana sebesar Rp 775 triliun itu tidak ada pemasukan bagi bank. Sementara biaya uang kepada publik ( deposan) tetap harus dibayar. Apa engga tekor ? Saya sendiri tidak yakin jumlah sebesar Rp. 775 triliun itu. Bisa jadi double. Bukan rahasia umum, bank paling jago melakukan swap credit untuk mengubah status NPL. Tetapi itu hanya sementara saja, dan bukan solusi. Dan lagi itu costly dan bomb waktu. 


Penyebabnya adalah selama ini bank mendapatkan dana mudah dari Dana Pensiun, seperti BPJS Tenaga Kerja, Pertamina dll. Sekarang dana itu disedot ke SBN untuk membiayai COVID-19. Belum lagi kecurigaan publik bahwa ada beberapa konglomerat dapat fasilitas pinjaman dari Dapen milik BUMN demi tindakan penyelamatan gagal bayar utang mereka. Belum lagi dengan adanya program relaksasi kredit memungkinkan bertambah deretan pengusaha masuk list. Ini akan bertambah lagi kerugian bank. Bunga dan cicilan debitur nol. 


Ancaman serius kedepan adalah kelangkaan likuiditas. Ini sama dengan tahun 1998. Engga bisa dianggap sederhana. Lambat diantisipasi, akan berdampak sistemik. Chaos ekonomi akan diikuti oleh chaos Politik dan sosial. Apalagi ditengah situasi pandemi. Jadi apa solusinya ?


DPR harus memanggil menteri Keuangan dan BI. Harus duduk bersama mengatasi ini. Jalan keluar adalah pertama, burden sharing tampa skema the last lending resource. Artinya BI beli SBN namun tidak boleh dijual di pasar sekunder sampai ekonomi pulih. Jangan seperti sebelumnya, BI beli SBN tapi paksa Dapen dan bank beli lagi. Itu sama saja menyedot sumber dana perbankan. Itu lebih efektif daripada suntikan BI ke perbankan tembuh Rp. 100 triliun.  
Kedua, (BI) mengizinkan bank untuk melakukan transaksi domestic non-deliverable forward (DNDF) dalam kerangka kerja sama tukar menukar mata uang lokal atau local currency settlement (LCS). Aturan yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No 23/9/PBI/2021 ini berlaku efektif sejak 19 Juli 2021. Ini merupakan langkah positip. 

Tapi akan lebih efektif kalau Bank ACCD  ( Appointed Cross Currency Dealer) Indonesia boleh melakukan transaksi domestic non-deliverable forward di Negara Mitra dalam mata uang rupiah terhadap mata uang Negara Mitra walau tanpa ada kerja sama LCS ( Local cross settlement.). Mengapa? sumber dana privat di luar negeri itu melimpah, tapi mereka engga mau repot dengan cross border settlement yang rumit. Maunya over booking rekening, selesai. Ini akan jadi pengganti likuiditas domestik yang mulai kering.

No comments: