Monday, September 26, 2022

Ex Obligor BLBI jadi pengendali politik.

 




Kalau anda baca daftar 50 orang terkaya di Indonesia, pasti bersinggungan dengan era orde baru. Setidaknya mereka terhubung dengan pengusaha yang tajir di era orde baru, yang bisa jadi juga kena kasus BLBI. Masalah BLBI itu sebenarnya sudah selesai secara hukum dan dasar penyelesaianpun berdasarkan TAP MPR. Artinya penyelesaian dilakukan secara politik, bukan murni secara hukum perdata atau pidana. Jadi soal suka tidak suka, layak atau tidak layak, pantas atau tida pantas, tidak penting lagi dibahas. Tidak penting ada sesal bila karena itu sampai tahun 2043, perbankan dapat kucuran dana dari APBN hampir 70 triliun rupiah setiap tahun berupa bunga obligasi rekap. 


Dari uang sebanyak itu mereka para obligor yang secara tidak langsung melalui proxy nya terus melipat gandakan kekayaannya.  Dari Tambang batu bara, nikel, emas, sebagian besar kini sudah dikuasai mereka. Termasuk kebun sawit dari hulu sampai hilir mereka kuasai. Bahkan mereka ikut menyediakan pembangkit listrik dengan tarif KPBU yang rente. Lewat investment holding di luar negeri, mereka kuasai saham, PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) untuk ambil bagian dalam bisnis infrastruktur. Lewat proxy nya mereka masuk dalam bisnis bank dan meramaikan bisnis digital termasuk network IT dan data center.


Citi khas mereka selalu menggunakan Special purpose vehicle perusahaan yang terdaftar di luar negeri. Misal Sinar Mas ( obligor BLBI), yang salah satu unit business nya-Pulp and Paper-  assetnya terdafter di 13 perusahaan di British Virgin Islands dan 7 perusahaan di Mauritius, Singapura, Jepang, dan Belanda. Salim Group ( ex obligor BLBI)  juga begitu. Aksinya juga melibatkan perusahaan yang terdaftar di Hong kong, Singapore, wilayah offshore bebas pajak dan lain lain.


Sebenarnya Jokowi ketika awal berkuasa, udah dapat laporan tentang asset ex obligor BLBI ini. Tapi baru periode kedua dia bentuk Satgas BLBI. Menurut catatan Satgas BLBI, ada sekitar 335 obligor yang masuk daftar tagihan yang belum tuntas sejak 25 tahun lalu. Mengapa ? inilah alasan dari satgas BLBI “ Di antaranya persoalan aset-aset para obligor dan debitur yang sudah berpindah tangan.” dan perpindahan tangan itu kalau jumlah kecil dilakukan dengan cara sederhana, bisa juga yang rumit kalau jumlahnya besar. Biasanya melibatkan lawyer world class dan ahli financial. Caranya lewat financial engineering, misal, melalui transfer right  ke perusahaan  yang terdaftar di luar negeri. Atau menunjuk proxy yang qualified lewat aksi SWAP debt to asset. 


Sederhananya, ex BLBI itu menunjuk proxy untuk akuisisi perusahaan bagus di Indonesia. Dananya dari bank dalam negeri tetapi collateral dari uang mereka yang ada di luar negeri. Jadi bank itu hanya sebagai channeling agent aja. Tetapi publik tahunya uang itu berasal dari perbankan dalam negeri.  Ada juga dengan melalui SPAC ( special purpose acquisition Company) yang terdaftar di luar negeri. Mereka tunjuk proxy dalam negeri sebagai CEO SPAC untuk menggalang dana di luar negeri. Sebenarnya uang dari obligor sendiri. Dan uang itu disalurkan ke Indonesia untuk akuisisi. Orang tahunya proxy itu orang kaya baru yang masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia. Padahal hanya puppet. 


Mari kita lihat contoh kasus Group Salim ( ex Obligor BLBI). Anda mungkin semua tahu MEDCO? itu perusahaan yang didirikan oleh Arifin Panigoro, ex politisi PDIP. Tahun 2016, MEDCO beli 82.2 % saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di NTB. NNT berganti nama menjadi PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT AMNT) setelah Medco merampungkan transaksi akuisisi PT Amman Mineral Internasional (AMI), AMI dimiliki bersama oleh AP Investment dan Medco Energi. Darimana Medco dapatkan dana sebesar Rp. 34 triliun untuk akusisi itu ? MEDCO mendapatkan dana dari tiga bank BUMN. Yaitu Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Negara Indonesia (BNI). Wah hebat banget ya. Sampai segitunya bank BUMN bantu Medco. Eh tunggu dulu. Ketiga bank itu hanya sebagai agent. Collateral bukan dari Medco tetapi dari Diamond Bridge Pte Ltd. Jadi sebenarnya baik Medco hanya vehicle saja. Pemain sebenarnya adalah Diamond Bridge.


Nah setelah akuisisi selesai, sejak tahun 2019, lambat namun pasti saham Medco pindah ke Diamond Bridge. Berdasarkan data RTI, per 30 Juni 2021, Diamond Bridge menggenggam 21,46% saham MEDC. Mayoritas masih ada pada PT Medco Daya Abadi Lestari yang memiliki 51,50% saham MEDC. Namun Medco Daya Abadi Lestari lewat skema hutang ( convertible bond) akuisisi  Ophir Energy Plc, perusahaan migas yang berbasis di London, Inggris. Lagi lagi utang ini berasal dari Diamond Bridge. Otomatis Diamond Bridge menjadi pengendali Medco.


Sebelum Pillres tahun 2018, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk menjual seluruh kepemilikan sahamnya di PT Batu Hitam Perkasa ( pemegang saham 5% Paiton Energy) kepada PT Toba Bara Sejahtera Tbk dan PT Toba Bara Energi. Darimana duitnya? Mari lihat apa yang terjadi pada 2021? Toba jual saham Paiton kepada MEDCO yang juga mayoritas dikendalikan oleh Diamon Bridge (Salim Group). Jadi skema pembelian saham Paiton sama dengan NNT. Hanya beda SPC saja. Dalam hal ini Emirates Tarian Global Ventures ( Salim Group) yang akuisisi 24,55% PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS). BRMS pemilik tambang emas di Palu ( Sulawesi ), Linge Abong, Aceh.


Lambat namun pasti mereka semakin eksis di republik ini. Bahkan lewat kartel bisnis yang didukung para proxy yang punya akses kepada kekuasaan, mereka mempengaruhi terbentuknya oligarki politik untuk kepentingan mereka. Sehingga siapapun calon presiden, mereka ikut menentukan. Secara de facto mereka sangat powerfull. Makanya jangan kaget bila 3 kali Antoni Salim dipanggil Pansus BLBI DPD, engga mau datang. Selalu yang datang wakilnya saja. Jokowi sangat yakin bisa kuasai dana itu lewat Mutual Legal Assistance dengan negara negara yang terindikasi tempat dana itu berada. Tetapi perjalanan waktu, memang tidak mudah. Karena satu satunya kekuasaan presiden adalah politik. Dan politik itu tidak sepenuhnya dikendalikan presiden. 


No comments: