Friday, September 16, 2022

Jokowi dikerjai Koalisi

 




Tahun tahun awal kekuasaan Jokowi. Pendapatan, dikurangi pengeluaran ( tidak termasuk bunga), defisit. Jadi udah insolven negara saat diserahkan oleh SBY ke Jokowi. Itu juga bisa dimaklumi. Karena imbas krisis Lehman tahun 2008, dampaknya baru terasa 5 tahun kemudian atau tahun 2013. Tahun akhir kekuasaan SBY. Tapi setelah tahun 2013 sebagai rely dari crisis Lehman, harga crude oil juga jatuh di pasar dunia sampai tahun 2021. Bukan hanya crude termasuk juga batu bara sebagai fuel PLN.


Nah jatuhnya crude ini juga berkah bagi Jokowi untuk mengalihkan anggaran Rp 400 triliun/ tahun subsidi ke proyek infrastruktur.  Berkah lagi bagi Jokowi. Semua perencanaan pembangunan infrastruktur berserta payung hukumnya sudah rampung era SBY. Jadi Jokowi engga perlu nego dengan DPR untuk dapatkan alokasi anggaran. Langsung tancep gas pol. Execusi semua proyek MP3I. Pembangun bergerak cepat tanpa hambatan. APBN selamat lewat restruktur anggaran.


Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur itu, sistem check and balance bekerja efektif antara DPR dan Pemerintah. Karena koalisi pemerintah di DPR minoritas. Jadi para menteri Jokowi setiap rapat kerja habis dikritik oleh DPR. Kalau mereka salah, ya dihajar habis oleh DPR. Ini sangat membantu proses pembangunan kearah yang lebih baik. Belum lagi lewat sosial media, oposan terus kritik tanpa jeda. 


Tapi tahun 2016 koalisi merah putih bubar dan sebagian besar mereka bergabung ke koalisi indonesia hebat, koalisi Pemerintah. Sejak saat itu tekanan kritik DPR terus berdengung. Namun setelah tahun 2017, koalisi sudah benar benar cair bersama pemerintah. Saat itulah arah kebijakan mulai dibonsai. Subsidi pupuk jadi sumber bancakan daerah. Industri bahari tadinya udah bergairah, jadi loyo lagi. Karena menteri perdagangan membolehkan kapal asing mengangkut komoditas Indonesia.


Pada waktu bersamaan, oposan satu demi satu berurusan dengan Polisi, Kritik jadi stigma radikalis dan anti NKRI, anti Pancasila. Sama seperti era Pak Harto, yang kritik dapat stigma PKI. Lambat namun pasti proses stigma itu mematikan kritik. Kekuasaan presiden sudah sepenuhnya dikuasai oleh koalisi di parlemen. Banyak program  B2B, berujung jadi G2G agar mudah dibancaki. APBN semakin longgar memanjakan BUMN lewat PMN yang jor joran. Puncaknya di periode kedua kekuasaan Jokowi. Sudah tidak ada lagi kontrol. Terutama sejak KPK dibonsai.

Jadi kalau ada wacana Jokowi maju lagi pada pilpres 2024,  sebenarnya upaya soft landing bagi koalisi pemerintah untuk amankan kebijakanya di masa kekuasaan Jokowi. Tapi keliatannya Jokowi tidak berniat lagi. Mungkin sadar bahwa dia hanya dimanfaatkan saja. Entahlah..


***


Dari awal awal kekuasaan jokowi saya sangat militan mendukung Jokowi terutama mendapatkan dana dari China dengan skema business to business (B2B) bukan government to government (G to G). Dan itu didukung dengan program BRI ( Bell Road initiative ). Momentumnya tepat sekali. Pada oposan menuduh Jokowi pro- China. Saya hadapi perang literasi di Sosial media. Tetapi apa yang terjadi kemudian? saya kena prank. Untuk program BRI tidak B2B. Tetapi loan. 


Data yang dirilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, menunjukkan  status terakhir posisi utang luar  negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah China sebesar 17,7 Miliar USD atau setara dengan 248,4 Triliun dengan kurs 14.000. Lebih spesifik di kelola Pemerintah sebesar 22,8 Triliun dan BUMN sebesar 225,6 Triliun. Itu setara dengan 42% total anggaran BRI untuk Indonesia.


Indonesia juga diketahui telah menerima pinjaman senilai US$ 4,42 miliar  atau setara Rp 63 triliun pada periode yang sama melalui skema Official Development Assistance (ODA), serta pinjaman melalui skema Other Official Flows (OOF) sebesar US$ 29,96 miliar atau setara Rp 427 triliun. Indonesia termasuk 10 negara penerima pinjaman terbesar dari Tiongkok melalui dua skema tersebut.  Kan konyol.


Duh pening saya saat baca data itu. Mengapa tega amat pembantunya? Sama dengan skema kereta Cepat Jakarta bandung. Awalnya B2B. AKhirnya ditanggung APBN. Kerpres diubah. Memang hutang itu lebih mudah daripada B2B. Karena tidak dikontrol oleh mitra dari China. Mudah dibancaki. Tetapi yang menanggung resiko Mark up adalah negara dan itu berdampak kepada tekanan neraca pembayaran berupa cicilan dan bunga. Justru skema loan dari China paling banyak dilakukan oleh BUMN.


Proyek Masela, saya awalnya mendukung dikerjakan onshore karena alasan pertahanan wilayah indonesia. Katanya kalau shell keluar, pemerintah akan masuk pasar 144A (S) dengan menerbitkan global bond seperti divestasi Freeport Indonesia. Menunggu kepastian sumber dana, gantung aja dulu sampai ada second opion onshore atau offshore dari lembaga independent. Tetapi entah mengapa? Jokowi langsung putuskan onshore. Shell mundur dan uangpun tidak didapat.  Ternyata proyek pangkalan pertahanan juga engga jalan. Proyek mangkrak. 


***

Ketika awal wacana IKN akan dibangun. Pemerintah sesumbar bahwa sumber pembiayaan dengan skema B2B. Tidak pakai APBN. Sudah ada investor yang siap. Engga tanggung tanggung, yaitu AS lewat IDFC. Bersama IDFC akan bergabung Arab dan UEA lewat SWFs dan Soft bank. Saya sebagai anak negeri ini, merasa bangga dengan gagasan pemerintah. Itu langkah jenial. Saya membayangkan seperti ibukota baru yang dibangun oleh Mesir yang dibiayai oleh Arab dan China dengan konsep B2B. Tanpa APBN.


Kemudian pemerintah sesumbar Elon Musk akan ikut invest Bandara di IKN. Dia juga serius masuk ke industri bateral terpadu. Saya bangga. Karena pemerintah mampu menarik investor kelas dunia untuk membangun IKN dan industri terpadu lengkap dengan Industri otomotif (EV). Ini merupakan terobosan bidang penguasaan tekhnologi EV atas sumber daya nikel yang kita miliki. Sebuah cara hilirisasi yang smart dan terpelajar.  Hebat!


Tetapi apa yang terjadi? saya kena prank.  Ternyata dana IKN tetap bersumber dari APBN sebesar 20%. Itu artinya Rp. 100 triliun dari total anggaran 500 triiun. Mengapa ? Softbank mundur karena diambang bankrut. Elon Musk juga tidak jelas setelah gagal beli saham Twitter. IDFC juga mundur setelah konsep bisnis yang ditawarkannya tidak sesuai dengan UU IKN.  Keterlibatan INA juga tidak jelas apa? 


Saya tetap yakin bahwa pemerintah punya solusi soal program IKN itu. Memang sudah banyak list investor dalam dan luar negeri mau teribat. Tapi apa yang terjadi ? Skema KPBU yang katanya akan digelar tender. Sampai kini belum juga terdengar. Entah gimana kelanjutan pembiayaan proyek IKN ini. Saya kawatir ending nya nanti, hanya sekedar habisin uang APBN sebesar 20% itu. Kalau itu terjadi dan tanpa ada investor untuk bangun proyek komersial, proyek IKN akan jadi konta hantu. Mengapa ? Tanpa komersial tidak ada komunitas.


Apa yang dapat saya simpulkan dengan otak rakyat jelantah ini? sepertinya pemerintah tidak punya kemampuan melakukan due diligent terhadap investor. Tidak punya kapabiliti untuk merancang skema pembiayaan yang atraktif sehingga menarik bagi investor. Sehingga sangat mudah kena prank investor. Sangat mudah terjebak dengan proyek ongkos yang menguras APBN. Kalau semua dari APBN, ya emak emak jauh lebih pintar dari pada pembantu presiden. Jokowi memang kena prank pembantunya. Teganya ya.


Apa artinya? Mental korup. Kadang kasihan dengan Jokowi yang kerja keras siang malam. Tetapi jajarannya tidak semua amanah. Kita berhasil memilih presiden terbaik,  tetapi kita tidak berdaya saat dia dikerjai teamnya. Kalau saya tidak bersuara soal ini, ya saya berdosa


No comments: