Saturday, July 8, 2023

Issue miring sekitar divestasi Vale.

 




Vale Indonesia Tbk atau dahulu namanya International Nickel Indonesia. Didirikan tanggal 25 Juli 1968 dan memulai kegiatan usaha komersialnya pada tahun 1978. Vale punya konsesi  seluas 118.017 hektar meliputi Sulawesi Selatan (70.566 hektar), Sulawesi Tengah (22.699 hektar) dan Sulawesi Tenggara (24.752 hektar). Konsesi ini tadinya KK. Kemudian diamandemen sesuai UU Minerba tahun 2014.   Pemerintah berambisi menguasai saham Vale sampai 51 % seperti kasus Freeport Indonesia.  Opini saya sebagai berikut :


Pertama. Divestasi Vale tidak sama dengan divestasi Freeport Indonesia (FI). Karena saat divestasi  FI belum IPO. Sementara Vale sudah IPO atau perusahaan terbuka (TBK). Pelepasan saham ini dilakukan tahun 1990. Pasal 97 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang perubahan ketiga atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Mempertegas pelepasan saham ke publik merupakan bagian dari program divestasi. Sampai saat ini Vale sudah lepas saham 20,7 %  di bursa Indonesia.. 


Kedua. Tahun 2019, Vale melepas lagi saham 20% kepada Mind ID ( holding BUMN bidang Minerba). Jadi tersisa yang belum di devestisasi sebesar 10,3 % ( maksimum 14%) dari total 51% kewajiban divestasi.  Artinya pemegang saham Vale Canada Limited (VCL) 44,3%, Sumitomo Metal Mining Co. Ltd (SMM) 15% harus dikurangi (divest ) secara proporsional atau tergantung negosiasi. 


Ketiga. Berdasarkan UU dan PP, tidak mungkin Indonesia ( Mind ID) bisa jadi pengendali. Mengapa ? Karena 20,7 % sudah dikuasai Publik. Bukan tidak mungkin Publik ini sebagian besar adalah Asing yang terhubung dengan pemegang saham pendiri Vale.  Yang real dan bisa diambil sebesar 10,3% atau maksimum 14%.  Lebih dari itu tidak bisa dipaksa kecuali UU diubah : bahwa divestasi tidak termasuk yang dijual di bursa. Apa mungkin ?  i dont think so.


Dengan tiga hal tersebut diatas, selama sekian puluh tahun begitu besar sumber daya yang kita serahkan kepada Asing namun kita tidak bisa menjadi pengendali. Kalau asing sebagai pengendali,  apa iya kita bisa kendalikan program hilirisasi Nikel ? Ambil contoh Freeport Indonesia. Sejak tahun 2018 divestasi dilaksanakan, sampai sekarang masih on progress pembangunan smelter nya di Gresik. Padahal kita kuasai 51% sebagai pengendali. Itupun tidak full capacity konsentrat. Artinya walau smelter di Gresik jadi tahun 2024, FI masih akan menikmati kebebasan ekspor konsentrat (Tembaga mentah). Apalagi kalau kita tidak sebagai pengendali seperti Vale. Yang patut dipertanyakan sekitar divestasi Vale ini adalah sebagai berikut.


Pertama, yang lebih konyol lagi Peraturan Menteri (Permen) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 9 Tahun 2017 Pasal 14 Ayat (1) nilai saham yang dilepas INCO dihitung berdasarkan fair market value atau harga pasar yang wajar. Mengapa? Ini bumi Indonesia yang punya kita. Mengapa kita harus mengikuti fair market value ? Itu sama saja kita patuhi harga saham ditentukan berdasarkan assessment terhadap potensi dan future bisnis.


Kedua. Team negosiasi soal divestasi itu bisa “bermain” soal assessment potensi dan future business. Kan assessment lebih banyak karena opini berdasarkan analisis. Yang jelas tidak pasti. Apa jadinya kalau hasil assessment ternyata harganya sama dengan harga bursa.? Kan konyol banget kita.  Terus, gimana kalau pemegang saham pendiri mencoba dekati pemain hedge fund asing untuk goreng saham Vale. Bisa jadi sejumlah 20,7% saham itu akan dibeli asing dan efektnya harga akan melambung. Apa jadinya kalau harga market itu sebagai benchmark menentukan fair market value.  Tekor dua kali kita. Yang pesta asing.


Ketiga. Patut dipertanyakan mengapa ada pasal dalam UU Minerba tahun 2014 tentang pelepasan saham ke publik dianggap divestasi. Divestasi itu seharusnya hak negara. Dan valuenya tidak ditentukan oleh fair market value , tapi oleh replacement cost ( biaya investasi yang dikeluarkan sesuai harga buku). Mengapa ? karena selama mereka pegang konsesi kan mereka udah dapatkan value dari profit. Ini kan bumi Indonesia, Mereka kerja karena konsesi. Tidak seharusnya exit lewat bursa dianggap divestasi.


Keliatan sekali oligarki bisnis dan politik terlibat dapatkan cuan dari divestasi ini…cari uang mudah di Indonesai enak. Karena pejabatnya bego dan korup. Mau aja diatur oleh predator.

No comments: