Tuesday, July 25, 2023

Larangan ekspor Gas.

 



Walau belum ada larangan resmi namun sudah ada himbaun dari pemerintah kepada produsen gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) untuk tidak memperpanjang kontrak ekspor dengan perusahaan negara lain seperti ke China, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura hingga Meksiko. Indonesia mengekspor dengan total volume  459,55 juta MMBTU pada tahun 2021. Ini tentu beralasan. Karena data neraca gas nasional Kementerian ESDM menunjukkan pasokan gas untuk kebutuhan dalam negeri akan mulai mengalami defisit sehingga bergantung pada impor pada 2026.


Faktanya sampai sekarang masih impor Gas. Menurut data BPS, sepanjang 2022 Indonesia impor gas bumi sekitar 6,8 juta ton. Volume itu meningkat sekitar 5,5% dibanding 2021, sekaligus menjadi impor gas terbesar dalam lima tahun terakhir. Pada 2022 Indonesia paling banyak mengimpor gas dari Amerika Serikat, dengan volume sekitar 2,8 juta ton. Sementara Uni Emirat Arab menjadi pemasok terbesar nomor dua, dengan volume sekitar 1,9 juta ton. Di urutan selanjutnya ada Qatar, Arab Saudi, Bahrain, Australia, Angola, Kuwait, dan Singapura.


Larangan ekspor Gas ini tidak semudah larangan Ekspor Mineral. Karena Gas alam adalah campuran metana dengan gas hidrokarbon lainnya. Itu mudah terbakar dan seperti namanya itu terjadi secara alami di situs bawah tanah, sering kali berdekatan dengan minyak bumi. Perlu terminal untuk mengubas gas alam menjadi cairan. Hal ini dilakukan untuk menghemat ruang, karena 610 kaki kubik gas alam dapat diubah menjadi 1 kaki kubik LNG. Mengkonversi gas alam menjadi LNG memudahkan logistik. Gas alam cair ini harus ditempatkan di storage kalau pipa tidak tersedia. 


Membangun infrastrutkur Gas itu sangat padat modal dan beresiko. Makanya, karena alasan tersebut, setiap lapangan gas itu sudah terikat dengan off take market. Artinya sudah tterikat kontrak jangka panjang dengan pihak buyer. Sehingga produksi LNG bisa dikapalkan langsung dan mengurangi kebutuhan akan storage. Saat sekarang  investasi lapangan gas hanya dengan skema backed long term purchase agreement dan counter trader. Tanpa skema itu tidak ada lembaga keuangan mau keluar uang.


Jadi kalau pemerintah akan melarangn eskpor Gas, maka yang harus dipikirkan adalah infrastruktur terminal gas dan storage, pipa gas ke Industri dan rumah tangga. Karena kita negara kepulauan maka kita juga harus bangun Floating Storage and Regasification Unit/FSRU). Untuk jangka panjang, FSRU mahal, karena menyewa kapal tanker menyimpan tanki regas. Belum lagi biaya pembangunan pipa gas di Jakarta jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan membangun pipa gas di Tokyo, Jepang. Karena begitu banyak galian tumpang tindih. Maklum tataruang kota kita benang kusut. 


Terus, darimana duitnya untuk bangun itu semua ? Apa dari APBN? Bisa bisa kena dikorup lagi. Nah usulan saya, gunakan rencana larangan ekspor gas ini dengan memberikan peluang kepada anak negeri untuk berpartisipasi sebagai outsourcing infrastruktur Gas. Jadi biarkan saja proses B2B. Jangan seperti bangun FSRU untuk PLN saja sebagian besar kontrak dipegang oleh pengusaha yang dekat dengan elite. Apalagi entar untuk umum  seperti  rumah tangga dan industri downstream Gas. Bisa bisa rente lagi. Tolong lakukan secara terbuka. Biar kita gotong royong laksanakan perintah Jokowi ini.  


Saya barharap kebijakan ini bisa unggul terhadap mafia Gas. Maklum  ada para pemburu rente yang senang bila Indonesia terus bergantung pada impor LPG. Akibatnya, jika program larangan ekspor LNG dilakukan, tentunya akan mengganggu bisnis mereka. Ya, rente impor LPG juga tidak mau diganggu, ada yang menikmati 80% LPG kita impor. Akibatnya terjadi pertempuran konflik kepentingan, ya antara importir ingin tetap status quo, dengan BUMN yang punya kepentingan masing-masing karena ditekan oleh politik.

No comments: