Thursday, December 7, 2023

RUU EBT, PR besar presiden terpilih

 




Perubahan iklim (climate change) merupakan salah satu isu global yang sangat penting sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992. Konvensi Perubahan Iklim atau UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) merupakan salah satu agenda dalam dokumen Agenda 21. Maksud dan tujuan utama dari konvensi tersebut adalah untuk menjaga kesta-bilan konsentrasi gas rumah kaca (green house gases) di atmosfer, sehingga terjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan (sus-tainable development).  


Analisis risiko global Bank Dunia menempatkan Indonesia pada peringkat keduabelas dari 35 negara yang menghadapi risiko kematian yang relatif tinggi akibat paparan banjir dan panas ekstrem. Berada di peringkat kelima negara dengan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah lebih rendah dari pesisir pantai, Indonesia juga rentan terhadap kenaikan permukaan air laut, tsunami. Disamping itu tahukah anda?. Akibat perubahan iklim itu dampaknya terhadap kesehatan sangat mengerikan.  Yaitu pamdemmi infeksi dan alergi saluran pernafasan, kanker, penyakit kardiovaskular dan stroke, foodborne disease dan gangguan ketersediaan bahan pangan, kematian akibat paparan panas, gangguan tumbuh kembang anak, gangguan mental, penyakit syaraf.


Jokowi berbicara pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim (COP28) di Plenary Al Ghafat, Expo City Dubai, Dubai, Persatuan Emirat Arab (PEA), Jumat, 1 Desember 2023. Dengan tegas bahwa Indonesia berkomitmen dalam memperbaiki pengelolaan forest and other land use (FOLU), serta mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan. Untuk mewujudkan komitmen nol karbon emisi pada 2060. “Target Paris agreement and net zero emission hanya bisa dicapai jika kita bisa menuntaskan masalah pendanaan transisi energi ini. Dari situlah masalah dunia bisa diselesaikan,” tandasnya.


Sayangnya, Jokowi dalam pidatonya pada sesi High Level Segment for Heads of State and Government COP26, dia tidak mengumumkan target ambisi iklim yang lebih tinggi maupun komitmen konkrit untuk mendukung target Perjanjian Paris untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata bumi. di bawah 1,5 derajat Celcius dan mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini. Mungkin karena faktanya sampai tahun 2023 kita baru mencapai EBT sebesar 12%. Sangat berbeda dengan konsep dan komitmen yang disampaikan Jokowi saat G20 Bali.


***

Tadi sore saya bertemu dengan teman teman. Kami membahas soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan ( RUU-EBT). Sebagaimana yang kita ketahui, transisi energi menjadi salah satu langkah penting yang diambil oleh banyak negara di dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan memenuhi komitmen Perjanjian Paris agar suhu bumi tidak melebihi 2oC. Penurunan emisi dan suhu bumi ini hanya bisa dicapai dengan memberikan ruang seluas-luasnya untuk pengembangan energi terbarukan dan mengakhiri penggunaan energi fosil. Termasuk dengan cara tidak memasukkan ketentuan mengenai energi baru berupa gasifikasi batu bara atau likuifaksi batubara, atau energi nuklir dalam RUU EBT.


Salah satu dari mereka mengatakan bahwa penghasil emisi gas karbon dioksida sebagai penyebab utama efek rumah kaca adalah Pembangkit listrik tenaga fosil. Dilansir dari U.S. Energy Information Administration, diperkirakan suatu pembangkit listrik tenaga fosil mengemisikan sekitar 0,85 pon karbon dioksida untuk setiap kWh yang diproduksinya. Jadi sangat dahsat bila dibandingkan dampak dari kendaraan bermotor BBM, Deforestation, Sampah dan industri.


Yang jadi masalah dalam RUU EBT, adalah peran aktor yang terlibat lansung maupun itdak langsung, yaitu pengusaha tambang batubara dan PLN berserta mitranya sebagai penyedia listrik. Mereka tidak mau begitu saja ada aturan yang bisa mematikan bisnis mereka. Bagaimanapun bisnis mereka sudah established. Mereka juga menarik pinjaman dari perbankan dalam dan luar negeri. Bahkan sebagian besar sudah IPO. Kalau sampai dengan adanya RUU EBT itu pembangkit listri batubara harus di shut down. Diganti dengan energi terbarukan. Yang rugi bukan hanya pengusaha tambang tetapi juga kreditur dan investor bursa. Negara juga kehilangan sumber pendapatan devisa ekspor.


Belum  lagi PLN bersama mitra provider power dalam skema PPP. Kalau sampai di shut down pembangkit listrik batubara, PLN harus bayar ganti rugi pihak kontraktor penyedia power yang diatur dalam Power purchase Agreement. Sementara PLN masih terjebak dengan utang kepada ADB, World Bank dan perbankan nasional. Darimana PLN dapat uang bayar kerugian kontraktor? belum lagi resiko akan kekurangan pasokan listrik.  Memang untuk transisi energi, tidak mudah, Perlu waktu panjang dan dana yang tidak sedikit. Penghentian operasional PLTU merupakan proses yang memerlukan perencanaan yang matang. Pedoman penghentian dini PLTU batubara telah dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022. Tidak semua PLTU akan pensiun dini karena ada yang akan mengakhiri masa kontrak atau umur ekonomisnya.


Kalau membaca komitmen pemerintah dan melihat realita, memang engga ada komitmen, Itu hanya lipstick saja. Hanya pencitraan di depan forum dunia. Kita masih sibuk nambah kapasitas Pembangkit listri batubara seperti Dua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara yaitu PLTU Batang, Jawa Tengah dan PLTU Jawa 4 Tanjung Jati B, Jepara, Jawa Tengah. Berkapasitas "jumbo" masing-masing 2x1.000 Mega Watt (MW) telah beroperasi pada 2022. Belum lagi PLTU batu bara baru Grup Adaro di Kalimantan Utara yang akan dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik 1,1 gigawatt (GW) smelter aluminium Adaro. 


Dalam RUU EBT,  soal terminologi masih bersamalah. Sebab masih memasukkan sumber energi kotor batubara lewat tekhnologi gasifikasi. Selain berisiko tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat, gasifikasi juga akan membebani keuangan negara. Karena itu, pembahasan tentang ‘energi baru’ menjadi tidak tidak relevan dalam RUU EBT ini. 


Gimana pendapat anda.? Tanya teman. Dari tadi saya hanya diam saja menyimak mereka bicara.  Menurut saya, problem utama karena adanya privatisasi energi dan sumber daya energi. Sehingga pemerintah tidak punya power untuk melakukan transisi energi , kecuali pemerintah bailout kerugian investasi mereka. Ini kesalahan sejak era order baru. 


Komitmen Jokowi yang bersyarat. Bahwa indonesia komit asalkan Dunia memberikan dana untuk proses transisi energi. Dan dana itu tidak bisa dalam bentuk hutang. Harus grant atau hibah. Itu sudah tepat. Dana untuk transisi energi sudah tesedia melalui lembaga international. Namun timbul masalah, mana duluan telor atau ayam. Dana grant selalu keluar setelah ada bukti transisi energi  dilaksanakan. Mereka bayar berdasarkan audit dan itupun tidak langsung tetapi lewat bailout utang atau buy back surat utang. Nah di indonesia kan selalu kalau engga ada uang di atas meja ya engga kerja.


Walau Pemerintah telah merilis pedoman pembiayaan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 untuk memberikan dukungan fiskal terhadap transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Berdasarkan aturan tersebut, pendanaan platform transisi energi dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain yang diakui secara hukum. Saya engga yakin ini akan jalan. Karena standar kepatuhannya berat sekali. Bukan uang mudah. Dan itupun kalau alokasi dana memang tesedia di APBN. Kalau melihat data ruang fiskal yang semakin sempit, rasanya sulit untuk APBN intervensi. Tetap saja mengandalkan opsi non APBN.


Keadaan kita sekarang dan kedepan tidak mudah berpartisipasi mengatasi emisi karbon bumi. Karena puluhan tahun kita hidup bergantung kepada SDA. Tanpa ekspor batubara kita kekurangan devisa untuk bayar utang luar negeri. Kita terpaksa membakar hutan untuk kebun sawit agar dapatkan devisa dari ekspor CPO. Kita perlu fuel batubara untuk menghasilkan  listrik agar smelter mineral tambang bisa  berproduksi menghasil devisa ekspor untuk bayar utang. Kita terpaksa lakukan deforestation agar  tambang nikel dan bauksit, tembaga bisa kita hasilkan untuk bayar utang, ya debt trap memang menyakitkan. 


Sudah seharusnya kita mengurangi hutang dan pada waktu bersamaan focus melakukan transisi energi lewat skema financial resource international seperti swap debt to nature, peningkatan pasar credit carbon. Kemudian kembangkan Keuangan inklusif  untuk proyek renewable energi, seperti Finance Lease, asset finance dan lain lain. Itu semua available asalkan ada kemauan dan semangat untuk membuat masa depan lebih baik. Ini PR besar bagi presiden terpilih pada 2024. Memang tidak mudah…Engga mungkin dilaksanakan oleh presiden yang mengusung program populis.


***


Teknologi Carbon Capture Storage (CCS) atau Carbon Capture, Utilisation, and Storage (CCUS). Proses menangkap carbon, biasanya dari sumber industri, sebelum dilepaskan ke atmosfer. Carbon yang ditangkap dikompresi menjadi bentuk cair atau padat.Carbon itu dihasilkan karena adanya pembakaran fuel dari fosil, seperti batubara dan minyak bumi. Cara nangkap carbon itu ada tiga cara, yaitu pasca-pembakaran, pra-pembakaran, dan oxyfuel.  


Kalau sudah terbakar ya ditangkap dengan menggunakan 'scrubbing' berbasis penyerapan, adsorpsi, atau membran untuk menghilangkan carbon dari gas buang yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Kalau belum dibakar, mengubah metana uap atau gasifikasi bahan bakar seperti batu bara atau biomassa menghasilkan gas sintesis atau syngas. Nah syngas ini kemudian mengalami reaksi pergeseran air-gas yang mengubah karbon monoksida dan air menjadi hidrogen dan karbon dioksida. Konsentrasi karbon dioksida tinggi itu dipisahkan, meninggalkan hidrogen sebagai bahan bakar. Ini adalah langkah pertama dalam memproduksi hidrogen biru dari batu bara atau gas alam. Dan terakhir tekhnologi Oxyfuel , yaitu membakar bahan bakar menggunakan oksigen murni, atau campuran oksigen dan gas buang yang disirkulasikan ulang, jad tidak dibuang ke udara.


Tapi cara  Carbon Capture Storage (CCS) atau Carbon Capture, Utilisation, and Storage (CCUS) tida tepat. Walau secara tekhnologi tepat tetapi secara ekonomi tidak tepat. Karena ongkosnya mahal sekali. Kan untuk menangkap karbon tetap butuh energi, bahkan energinya lebih besar. Pertanyaan adalah apa sumber energi untuk menangkap carbon itu? kalau sumber energi dari fosil lagi ya sama saja boong.  Pegiat lingkungan protes. Katanya itu akal akalan untuk membenarkan pembakaran yang menghasilkan carbon. Kita perlu energi hijau dan itu tanpa batubara dan BBM dari fosil.


No comments: