Tuesday, December 19, 2023

Utang dan solusi..

 





Di era Jokowi. Sumber daya keuangan negara itu sangat besar. Sangking besarnya, utang selama Jokowi berkuasa dua kali lebih besar dari utang 6 presiden sebelummya. Dahsyat memang.  Lantas bagaimana cara Jokowi meningkatkan sumber daya keuangan itu ? Dasarnya adalah UU No.1/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang Pemerintah adalah maksimal 60 persen dari PDB. Artinya selagi dibawah 60% bagus saja. Kalau PDB terus meningkat tentu peluang dapatkan sumber daya keuangan lewat utang terus meningkat.


Mengapa kita mudah saja dapatkan uang pinjaman? Skema ini kalau dalam perusahaan disebut window dressing. Pemerintah lakukan pencatatan barang milik negara dengan baik dan kemudian dilakukan revaluasi. Tahun 2015 pemerintah keluarkan kebijakan keringanan pajak revaluasi aset. Contoh. Aset PLN sebelum revaluasi RP.80 triliun, Setelah revaluasi meningkat jadi Rp. 214 triliun atau hampir 3 kali lipat. Setiap SBN diterbitkan dengan underlying asset. Asset itu berupa saham pemerintah pada BUMN dan barang milik negara, totalnya sampai dengan tahun 2023 mencapai Rp. 11.000 triliun.


Nah PDB kita dari tahun ke tahun terus meningkat. Itu karena APBN yang ekspansif yang dibiayai dari utang. Ya wajar saja kalau pertumbuhan ekonomi meningkat. Kini PDB tembus USD 1 trilion dollar. Kita termasuk negara USD 1 trilion atau G20. Keren ya financial engineering Jokowi. Tapi salau PDB kita meningkat, tetapi peningkatan itu tidak diiringi dengan peningkatan tax ratio. Sementara bayar utang tidak dengan PDB tetapi dengan uang benaran. Engga bisa bayar utang pakai cetak uang begitu aja. Ya bayarnya dari penerimaan ekspor masuknya devisa. Sebenarnya kalaulah sumber daya keuangan yang begitu besar digunakan sepenuhnya meningkatkan produksi lewat R&D, memperbaiki tata niaga bisnis dalam bidang pertanian, mineral dan tambang, Kita sudah jadi negara besar. Tetapi sumber daya keuangan negara yang begitu besar bukan diarahkan ke transformasi ekonomi industri. Justru lebih besar digunakan untuk subsidi. 


Mari lihat data,


Selama era Jokowi berkuasa. Subsidi BBM  diatas 15% dari total belanja Pemerintah Pusat. Jumlanya diatas Rp. 2.500 triliun. Belum lagi belanja sosial mencapai Rp. 1200 triliun lebih dan belanja subsidi non energi mencapai Rp. 780 trilun.  Itu mengalahkan anggaran untuk infrastruktur. Ya wajarlah 70% rakyat puas.  Tetapi itu semua absurd. Racun untuk ketahanan negara dan upaya kemandirian. Gimana kita mau jadi negara maju? Apalagi mau jadi negara Industri. Kejauhan ngayalnya. Mereka para pembantu Jokowi hanya memanfaatkan kelemahan Jokowi dalam membaca data. Memang jadi presiden itu engga mudah. Apalagi miskin literasi keuangan. Saya maklum.


Utang luar negeri dan Cadev

Saya akan membahas utang luar negeri indonesia secara sederhana. Mengapa saya bahas utang luar negeri ini? Karena ini berkaitan dengan cash flow devisa kita. Kan engga mungkin bayar utang luar negeri dengan rupiah. Bayarnya ya harus dengan valas. Bank Dunia merilis data terbaru terkait utang negara-negara berkembang. Laporan itu menyimpulkan posisi negara berkembang ( termasuk Indonesia)  yang mungkin dapat terkena krisis karena utang. 


Sebelum kita membahas lebih jauh, kita pahami dulu definisi utang luar negeri itu apa. Utang luar negeri didefinisikan sebagai utang penduduk (resident) yang berdomisili di suatu wilayah teritori ekonomi kepada bukan penduduk (non resident). Konsep dan terminologi utang luar negeri mengacu pada IMF’s External Debt Statistics: Guide for Compilers and Users (2003), beberapa ketentuan pemerintah Republik Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia. Jadi utang luar negeri Indonesia itu terdiri dari Pemerintah ( dan Bank Indonesia ) dan swasta ( dan atau BUMN). 


Data dari BI. Posisi ULN pemerintah pada akhir triwulan III 2023 tercatat sebesar 188,3 miliar dolar AS atau Rp. 2.918 Triliun ( kurs Rp. 15500/usd).  Posisi ULN swasta pada akhir triwulan III 2023 tercatat sebesar 196,0 miliar dolar AS atau Rp. 3.038 Triliun. Jadi total utang luar negeri USD 384,3 miliar atau Rp.5.956 Triliun. Apakah sehat kondisi utang tersebut? Kita bisa lihat dari debt service ratio atau total pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor. Pada tahun 2023 bulan oktober DSR mencapai 38,6%. Artinya dari 100 penerimaan ekspor ( barang dan Jasa) lebih 1/3 nya habis untuk bayar bunga dan angsuran. Jago narik utang luar negeri tapi lemot menghasilkan valas terutama dari sisi ekspor. Big fool. 


Dengan begitu tingginya DSR ya wajar kalau DHE nangkring di luar negeri. Sebagian besar swasta terutama bisnis sawit dan hilirisasi mineral tambang menggunakan pinjaman luar negeri. Bank Indonesia (BI), mengakui di saat ekspor Indonesia surplus berturut-turut selama 32 bulan, namun banyak eksportir yang tidak memarkirkan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri. Kalau dilihat data ekspor kita di 2022 itu tinggi sekali US$ 291 miliar dan trade balance kita itu sekitar US$ 55 miliar. Akan tetapi, pada Desember 2022, posisi cadangan devisa (cadev) mencapai 137,2 miliar US$. Bila dibandingkan dengan posisi Januari 2023, cadev hanya sedikit meningkat US$2,2 miliar ke posisi US$139,4 miliar. 


Makanya untuk amankan Cadev, pemerintah terpaksa utang valas  Tahun 2021 utang ke IMF dalam bentuk Special Drawing Rights (SDR) sebesar SDR 4,46 miliar atau setara USD 6,31 miliar. Masih belum cukup. Tahun 2022  pemerintah terbitkan global bonds US$ 1,75 miliar. Tahun 2023 terbitkan lagi global bond senilai US$3 miliar.  Nah tahun 2024 keliatannya tidak munngkin lagi jual global Bond. Likuiditas global sudah seret. Ya terpaksa pemerintah pinjam dari Multilateral fund sebesar USD 2 miliar.  itu berasal dari ADB sebesar US$1.035 miliar. Dari JICA sebesar 300 juta Yen. CA 100 juta dari Canada.


SBN dan Likuiditas perbankan.

Sementara untuk pembiayaan APBN lewat penerbitan SBN domestik telah berdampak kepada pengurasan likuiditas perbankan. "Meskipun kalau kita lihat kadang-kadang di bawah tadi saya sampaikan ke Pak Gub, Pak Gubernur saya mendengar dari banyak pelaku usaha ini kelihatannya kok peredaran uangnnya makin kering. Saya mengajak seluruh perbankan harus prudent harus hati-hati tapi tolong lebih di dorong lagi kreditnya, terutama bagi umkm," kata Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (29/11/2023). Jawaban dari BI dan Menteri pasti yang menyenangkan Jokowi. “ Siap pak” kira kita begitu.


Mending saya kasih tahu ajak Pak Jokowi. Gini loh pak. Kenapa likuiditas kering. Karena sebagian besar SBN diserap oleh perbankan sendiri. Artinya pemerintah dan UKM rebutan memanfaatkan dana bank. Ya pastilah yang menang pemerintah.   Apalagi pemerintah pinjam ke bank lewat SBN kagak ada jaminannya. Belum lagi perbankan dipelototi paksa beli SBN. Yang korban UMKM. Engga percaya? mari kita lihat data.


Secara rinci, kepemilikan SBN domestik oleh Bank Conversional sebesar Rp1.620,07 triliun dan Bank Syariah sebesar Rp92,52 triliun. Selanjutnya ada asuransi dan dana pensiun dengan kepemilikan SBN domestik sebesar Rp979,43 triliun per 14 Agustus 2023.  Artinya, lebih separuh dana perbankan dan LK ke sedot SBN. Itu sama saja berburu di kebun binatang boss. Anak alay juga bisa. 


Mari lihat data berikutnya. Dana Pihak Ketiga (DPK) pada maret 2023 sesuai yang dilaporkan OJK sebesar Rp8.006 triliun. Terdiri dari deposito, rekening giro, rekening simpanan. Umumnya yang ditempatkan pada SBN adalah dana deposito. Total dana deposito  (jun 2023 ) mencapai Rp. 2.672 Triliun. Disalurkan oleh bank ke SBN sebesar Rp1.620,07 ( Bank konvensional dan syariah). Tapi kan data menyebutkan ada 800 ribu lebih pemegang SBN. Itu bukan direct buyer tapi lewat skema Ritel ORI, yang sudah di restruktur oleh agent, yang bisa saja bank juga ( rent seeking).


Benarkah ? mari kita lihat data berikutnya. Rasio DPK terhadap Pendapatan Domestik Bruto  (PDB) pada 2022 ada di angka 38,38 persen. Mengapa? Mari kita lihat data LPS. Per Januari 2023, jumlah rekening nasabah di bank mencapai 506.565.057 rekening. Rinciannya 506.230.852 rekening yang saldonya dibawah Rp. 2 miliar. Itu dijamin LPS. Sedangkan 334.205 rekening atau 0,06 % dari total nasabah bank saldonya lebih dari Rp 2 miliar, tidak dijamin oleh LPS.  Artinya 99,94 % bukan nasabah investor. Hanya 0,06 % yang investor. Itupun dari 0,06% tidak semua dana mereka ditempatkan dalam negeri. Sebagian besar dana mereka di tempatkan di bank luar negeri. Ayam makan di Kandang kita tapi bertelur di rumah tetangga. Yang punya ayam bego pol.


Jadi paham ya Pak Jokowi, mengapa rasio DPK terhadap PDB di bawah  100% atau hanya 38,38%. Jauh dibawah Filipina dengan rasio 77,74 persen, Malaysia 122,59 persen, Thailand 135,69 persen, dan Singapura 141,14 persen. Artinya situasi dan kondisi perbankan kita memang engga likuid boss. Engga baik baik saja. Belum lagi ada bom waktu terhadap sistem perbankan dan sektor real. Perhatikan. Restrukturisasi kredit  dalam rangka relaksasi perbankan terdampak COVID 19, seharusnya berakhir tahun Maret 2022. Tetapi ditunda jadi Maret 2023. Dan ditunda lagi Maret 2024.  Ini patut diduga karena sistem perbankan rapuh dan banyak korporat memang sakit parah bahkan banyak juga deaduck seperti Zombi. Itu sebab IMF peringatkan agar jangan ada penundaan lagi.


Solusi?

Jokowi mewariskan sistem keuangan dan perbankan yang rapuh. Bandingkan era SBY dari  2004-2014 terjadi penambahan utang pemerintah sebesar Rp 1.309 triliun. Saat itu utang pemerintah di 2004 masih Rp 1.299,5 triliun, menjadi Rp 2.608,78 triliun di 2014. Pertumbuhan ekonomi diatas 5%. Era Jokowi,2014-2023 utang bertambah Rp 5.432,21 triliun. Namun pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 5%, bahkan rata rata dibawah 5%.


Yang mengkawatirkan adalah utang terus bertambah dari tahun ke tahun dan anggaran untuk bayar bunga dan angsuran semakin besar. Sehingga menggeser tanggung jawab sosial negera atas kesehatan, pendidikan, dan lingkungan. Jadi korelasi antara utang dan ketidak-adilan (penindasan ) mendapat pembenaran.. Lantas apa solusinya ?


Menurut saya ada tiga cara. Pertama, cara akuntasi atau restruktur  pos APBN agar ruang fiskal melebar. Kedua, cara financial structure lewat sovereign wealth fund. Kita sudah punya INA. Gunakan itu untuk bailout utang jangka menengah negara dan Bank BUMN. Sehingga neraca utang kita sehat. Ketiga, perkuat kelembagaan anti korupsi agar finnacial solution punya trust. Dengan tiga itu maka sistem demokratisasi ekonomi berjalan diatas akal sehat dan menjadi peluang berkembang bagi semua.


Cara  yang pertama. Restruktur APBN agar bisa efisiens. Bukan rahasia umum, 30% APBN itu dikorup. Kalau total APBN sekarang Rp. 2.500 triliun. Maka bisa hemat Rp. 750 triliun, Itu sama dengan 3% PDB. Bandingkan dengan ekspansi infrastruktur ekonomi Jokowi sebesar 1,2% dari PDB. Jumlah itu kan besar banget kalau dialihkan ke infrastruktur. 


Cara yang kedua. UU terbentuknya sovereign wealth fund kita kan bukan cash basic. Tetapi project ekstrasi. Ini UU loh dan disahkan oleh lebih 500 anggota DPR. Gunakan itu untuk create produk investasi berbasis project value. Misal, Arjuna investment fund untuk proyek green energy. Gunakan kekayaan algae di laut kita sebagai value. Itu bisa jadi financial resource sedikitnya USD 500 miliar atau Rp. 8000 triliun.  Buat lagi Marhaen investment fund, untuk project value Smeco. Gunakan potensi pasar domestik sebesar Rp. 8000 triliun/tahun sebagai  value membangun ekosistem industri dan perdagangan. itu bisa jadi sumber daya keuangan sedikitnya Rp. 10.000 triliun. Ya buat aja persektor.


Apa mungkin diserap oleh pasar produk investasi itu? Saat sekarang 2/3 uang di dunia dikuasai private, Jadi tidak ada lagi alasan politik untuk uang bergerak. Nah ukuran investor private itu adalah akuntabilitas, adanya kepastian hukum dan penegakan hukum yang transfarans. Dynamic opportunity yang didukung oleh financial model dan business model. Selagi unsur tersebut terpenuhi, uang mengalir mudah. Tuh liat China, utang nya terhadap PDB 300% lebih, itu semua utang strutkur tanpa APBN. Walau satu dua proyek rontok, tetapi itu hanya 0,001% jauh dibawah resiko intrument struktur, Tetap aman aman saja.


Memang untuk recovery keadaan ini tidak mudah. Apalagi situasi ekonomi global sedang tidak baik baik saja.  Walau ekonomi Indonesia bertumpu kepada pasar domestik, tetapi daya beli manurun akibat kenaikan harga harga. Untuk bisa memperbaiki keadaan diperlukan kekuatan politik yang besar. Dan bagi Paslon yang menang dengan angka kemanangan yang tipis sangat sulit untuk bisa selamat kecuali ada rekonsiliasi nasional. Apalagi yang menang karena curang. Chaos sangat mudah terjadi.

No comments: