Dalam menghadapi perubahan iklim akibat global warming, para ekonom dan politisi membuat kebijakan yang mengatur tentang green economy sebagai cara transisi energi yang ramah lingkungan. Namun aturan itu berbiaya mahal, bukan hanya dari sisi lingkungan tetapi juga merusak rantai pasokan pangan. Kenaikan harga terjadi lantaran perusahaan mengeluarkan anggaran lebih untuk melakukan transisi energi mengingat biaya penggunaan energi hijau dianggap masih lebih mahal dibandingkan fosil.
Paradox dari green economy itu contoh yang vulgar adalah biodisel dari CPO. Sekilas memang solusi menggantikan energi dari fosil dan berkelanjutan. Tetapi pada waktu bersamaan, akibat konversi food ke fuel itu terjadi kelangkaan pangan dengan harga terus melambung. Tuh lihat harga minyak goreng jadi naik. Padahal sebelum ada biodisel minyak goreng tidak naik. Kerusakan ekosistem akibat deforestation untuk tanaman monokultur berskala luas, yang mengakibatkan peningkatan emisi karbon dan tidak terjadi pertumbuhan berkelanjutan.
Contoh yang lebih vulgar lagi adalah kendaraan listrik (EV). Mengganti BBM dengan baterai dari nikel atau lithium. Tujuannya agar mengurangi emisi karbon. Tetapi dampak dari penambangan nikel itu telah mengakibatkan terjadinya deforestation yang luas dan rusaknya ekosistem berupa limbah yang massive. Belum lagi untuk proses smelting menggunakan batubara sebagai fuel energi yang polutan. Artinya semakin luas penggunaan EV bukannya semakin berkurang emisi karbon tetapi justru semakin meningkat. Paradox memang. Dan lagi nikel tidak bisa diperbarui, yang tentu paradox terhadap program sustainable development.
Pembangkit tenaga surya memang solusi bagi green economy. Tetapi polysilicon sebagi bahan kaca untuk panel surya terbuat dari pasir silica. Penambangannya jelas merusak ekologi baik di darat maupun di laut. Dampaknya dalam jangka panjang bisa mengurangi produktifitas pangan baik agro maupun hasil laut. Lahan pertanian berkurang kesuburannya dan tangkapan ikan di laut semakin berkurang. Mengakibatkan harga pangan jadi naik.
Makanya timbul istilah greenflation sebagai paradox akibat dari adanya green economy. istilah greenflation kali pertama berasal dari Direktur Executive European Central Bank Isabel Schnabel pada The New York Times. Yang kemudian di populerkan oleh ekonom iklim, Gernot Warner dari Columbia Business School. Lantas apa solusinya ? Slah satu solusinya adalah dengan beralih dari masyarakat sekali pakai (disposable society), yang mana produk sudah menjadi usang, dan beralih ke Ekonomi Sirkular (Circular Economy) , yang mana produk dirancang untuk memiliki siklus hidup lebih lama, dua kali, atau lebih.
Untuk lebih jelasnya, ekonomi sirkular bukanlah tentang mendaur ulang sesuatu ketika sudah mencapai akhir masa pakai atau kegunaannya. Ekonomi sirkular didasarkan pada tiga prinsip, yang didorong oleh desain. 1. Menghilangkan limbah dan polusi. 2. Sirkulasikan produk dan bahan dengan nilai tertinggi. 3. Meregenerasi alam. Dengan tiga prinsip ini makan pertumbuhan ekonomi tidak lagi menyatu dengan SDA kalau itu merusak linkungan dan tidak berdampak kepada emisi karbon nol. Untuk mencapai circular economy ini maka ESG ( Environmental, Social, and Governance diterapkan standar kepatuhan.
Ada 7 prinsip ekonomi sirkular.
Pertama. Bahan didaur ulang dengan nilai tinggi yang berkelanjutan. Menurut Global Footprint Network (GFN) dan York University, Kanada, pada tingkat konsumsi saat ini, umat manusia menggunakan setara dengan 1,75 kali sumber daya alam bumi setiap tahunnya. Menurut The World Counts , kita membuang dua miliar ton sampah rumah tangga setiap tahunnya, secara global – yang berarti 60 ton sampah rumah tangga per detik. Sampah yang bisa didaur ulang untuk kompos meningkatkan produksi pangan dan sumber energi pembangkit listrik tenaga sampah. Itu yang harus dilakukan sebagai sumber energi bukan batubara.
Kita juga menghasilkan 50 juta ton limbah elektronik per tahun, yang setara dengan membuang 1.000 laptop setiap detiknya. Hal ini tidak hanya sangat boros, tetapi juga merusak ekologi. Oleh karena itu, kita perlu memutus pola produksi dan konsumsi linear 'Ambil-Buat-Sampah' dan mengambil nilai serta manfaat dari apa yang saat ini kita buang, seperti besi, tembaga, alumnium dan lain lain yang diolah kembai menjadi bahan-bahan bernilai tinggi. Bukan sekedar daur ulang.
Kedua. Semua energi didasarkan pada sumber terbarukan. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk teknologi pembangkit dan penyimpanan energi dirancang untuk pemulihan ke dalam sistem. Energi disimpan dan dialirkan secara cerdas ketika nilai energi yang lebih rendah tersedia untuk digunakan, seperti aliran panas. Kepadatan konsumsi energi disesuaikan dengan kepadatan ketersediaan energi lokal untuk menghindari hilangnya energi struktural dalam transportasi. Konversi antar jenis energi dihindari, begitu pula transportasi. Sistem ini dirancang untuk efisiensi energi maksimum tanpa mengorbankan kinerja dan keluaran layanan sistem.
Ketiga. Keanekaragaman hayati didukung dan ditingkatkan melalui aktivitas manusia. Karena salah satu prinsip inti dalam bertindak dalam ekonomi sirkular adalah untuk menjaga kompleksitas, maka melestarikan keanekaragaman hayati adalah prioritas utama. Habitat, terutama habitat langka, tidak dirambah atau dirusak secara struktural akibat aktivitas manusia. Pelestarian keanekaragaman ekologi merupakan salah satu sumber inti ketahanan biosfer. Kerugian material dan energi ditoleransi demi pelestarian keanekaragaman hayati; ini adalah prioritas yang jauh lebih tinggi.
Keempat. Masyarakat dan budaya manusia dilestarikan. Sebagai bentuk lain dari kompleksitas dan keragaman (dan karenanya ketahanan), budaya manusia dan kohesi sosial sangatlah penting untuk dipertahankan. Dalam ekonomi sirkular, proses dan organisasi menggunakan model tata kelola dan manajemen yang tepat, dan memastikan bahwa proses dan organisasi tersebut mencerminkan kebutuhan para pemangku kepentingan yang terkena dampak. Kegiatan-kegiatan yang secara struktural merusak kesejahteraan atau keberadaan budaya unik manusia dihindari bahkan dengan biaya yang tinggi.
Kelima. Kesehatan dan kesejahteraan manusia dan spesies lain didukung secara struktural. Zat beracun dan berbahaya diminimalkan dan dijaga dalam siklus yang sangat terkendali, dan pada akhirnya harus dihilangkan seluruhnya. Aktivitas ekonomi tidak pernah mengancam kesehatan atau kesejahteraan manusia dalam ekonomi sirkular. Misalnya, keberhasilan mendaur ulang limbah elektronik dengan meminta orang membakarnya di atas api terbuka tidak dianggap sebagai aktivitas “lingkaran” meskipun faktanya hal tersebut menghasilkan pemulihan material.
Keenam. Aktivitas manusia memaksimalkan penciptaan nilai sosial. Material dan energi saat ini tidak tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas, sehingga penggunaannya harus memberikan kontribusi yang berarti terhadap penciptaan nilai sosial. Bentuk-bentuk nilai di luar finansial mencakup: estetika, emosional, ekologi, dan lain-lain. Nilai-nilai ini tidak dapat direduksi menjadi ukuran umum tanpa membuat perkiraan kasar atau menerapkan penilaian nilai subyektif; oleh karena itu, kategori-kategori tersebut diakui sebagai kategori nilai tersendiri. Pilihan untuk menggunakan sumber daya akan memaksimalkan perolehan nilai di sebanyak mungkin kategori, bukan sekadar memaksimalkan keuntungan finansial.
Ketujuh. Sumber daya air diekstraksi dan didaur ulang secara berkelanjutan. Air adalah salah satu sumber daya bersama yang paling penting: kuantitas dan kualitas air yang cukup sangat penting bagi perekonomian dan kelangsungan hidup kita. Dalam ekonomi sirkular, nilai air dipertahankan, disirkulasikan untuk digunakan kembali tanpa batas waktu, dan pada saat yang sama memulihkan sumber daya berharga dari air bila memungkinkan. Sistem dan teknologi air meminimalkan penggunaan air tawar, dan memaksimalkan pemulihan energi dan nutrisi dari air limbah. Perlindungan daerah aliran sungai diprioritaskan, dan emisi berbahaya terhadap ekosistem perairan dihindari sebagai prioritas utama.
Kesimpulannya. Kita tidak boleh terlalu boros dengan sumber daya alam yang terbatas. Mengekstraksi dan menggunakan bahan bakar fosil, logam, mineral, dan logam tanah jarang untuk mendukung kehidupan kita di abad ke-21 menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang semakin meningkatkan suhu global. Pengadaan bahan mentah dan proses produksi dapat menyebabkan polusi udara dan air, kontaminasi air tanah dan tanah, serta rusaknya habitat dan komunitas lokal. Sirkular ekonomi jawabannya.
No comments:
Post a Comment