Monday, January 8, 2024

Kinerja Ekonomi Jokowi 2015-2024

 




Saya berusaha objektif menilai kinerja Jokowi menjelang akhir kekuasaan. Tidak ada maksud saya membencinya secara personal. Saya pemilih Jokowi. Tidak bisa hanya mensupport tanpa ada kemauan dan keberanian mengkritisi. Kita sebagai bangsa sedang berproses membangun. Berdemokrasi baru 25 tahun. Tentu banyak hal yang harus kita benahi. Yang penting kita tahu kesalahan masalalu kita dan mengakuinya dengan jujur tanpa pretensi apapun kecuali berusaha belajar dari pengalaman.


Penerimaan loyo.

Prestasi CEO perusahaan bagi pemegang saham adalah peningkatan  pendapatan. Sehebat apapun CEO itu dengan programnya, pada akhirnya kalau trend pendapatan loyo, ya itu sudah dianggap sampah, yang harus segera dibuang ke tong sampah. Nah di era Jokowi, rasio pendapatan terhadap PDB menurun.  Bila tahun 2015 tax ratio 10,8%, diperkirakan 2024 tax ratio hanya 10,1%. Turun. Kalau dirata ratakan selama era Jokowi tax ratio dibawah 2 digit atau 9,9%. Kalah dengan era SBY yang rata rata tax ratio 11,7% terhadap PDB.


Upaya Jokowi untuk meningkatkan tax ratio sangat luar biasa. Tetapi itu hanya kebijakan menjaring wajib pajak yang ada lewat tax amnesti 1&2. Tidak ada upaya serius meningkatkan pertumbuhan  sektor real agar menciptakan multiplier effect yang salah satunya bertambahnya wajib pajak yang mampu bayar. Setidaknya dari 65 juta UMKM bisa naik kelas menengah 10% saja, itu sangat significant meningkatkan tax ratio.


Belanja amburadul.

Karena tax ratio rendah, tentu berdampak kepada ekspansi fiskal yang terpaksa melakukan aksi akrobat. Jokowi mengutamakan jalur  KPBU atau PPP sebagai sumber pendanaan proyek infrastruktur. Tetapi ini tidak dikelola dengan baik. Tidak melalui tender biding investor. Tetapi lewat Proyek PSN, pemerintah memberikan penugasan kepada BUMN. Yang terjadi adalah moral hazard. BUMN menarik pinjaman dari perbankan. Tentu dengan nilai mark up. Diperkirakan sekitar 30% dana PSN di-korup. Bukti tidak efisien-nya proyek infrastruktur Jokowi adalah semua BUMN Karya terjebak utang jumbo, baik dengan bank maupun obligasi. Bahkan ada yang  gagal bayar obligasi. Padahal BUMN yang dapat penugasan itu sudah berkali kali dapat PMN lewat APBN.


Sebegitu keras Jokowi bekerja agar infrastrutur terbangun. Nyatanya Belanja modal tetap rendah, kurang lebih 1,33% dari PDB. Sementara belanja rutin APBN yang habis dan tidak dirasakan langsung oleh rakyat seperti belanja pegawai, beban bunga  utang terus meningkat. Dampaknya ruang fiskal semakin menyempit. Rata rata ruang fiskal era Jokowi sekitar 3,54% dari PDB. Jadi sangat terbatas kemampuan ekspansi APBN untuk proyek yang bisa langsung dirasakan rakyat. Tapi udah segitu kecilnya ruang fiskal, bukan focus kepada infrastruktur, malah dibelanjakan untuk subsidi. Dan ini akan dilanjutkan oleh Prabowo, lewat program populisnya.


Utang negara.

Karena penerimaan loyo dan belanja amburadul pengelolaannya, sudah bisa dipastikan ini berujung kepada bertambah nya utang negara. Terhitung sejak tahun 2014, outstanding utang sebesar Rp2.608 triliun yang kemudian meningkat signifikan menjadi Rp7855,53 triliun per Juli 2023 atau mengalami penambahan utang 201% dibandingkan total utang 6 presiden sebelumnya. Ini sudah sama seperti berada dalam kubangan lumpur utang. Sangat memberatkan bagi presiden berikutnya dan kalau ini terus dilanjutkan tanpa perbaikan dan perubahan, maka sebelum ulang tahun indonesia emas 2045, kita sudah jadi negara gagal seperti Venezuela. Mungkin lebih buruk dengan pecahnya NKRI.


No comments: