Friday, April 19, 2024

Jaga stabilitas politik jaga kurs rupiah


 


Rupiah/USD  pada Juli 2011 Rp8.512,80. Tahun 2024 April Rp. 16.200. Itu artinya rupiah terdepresiasi hampir  50 persen. Analoginya tahun 2011 untuk 1 BigMc USD 3. Anda bayar dengan uang Rp. 50.000, dapat kembalian Rp. 24.464. Sekarang anda beri uang Rp. 50.000 hanya dikembalikan Rp. 1400 untuk 1 BigMac.  Uang Rp. 50.000 tahun 2011 lebih bernilai dari uang Rp. 50.000 sekarang. Sementara nyarinya sama saja susahnya. Artinya semakin tahun rupiah semakin melemah dan semakin banyak rupiah diperlukan untuk mendapatkan barang  dan jasa. Sampai disini paham ya.


Nah apa pasal?  Peningkatan DSR ( debt service ratio) dan fundamental yang tidak seimbang antara moneter dan fiskal, yang sangat rentan terjadi capital outflow dan  kurs mata uang IDR jadi weakness. Dampaknya dalam pasar uang adalah biaya intermediasi, suku bunga jadi mahal dan tentu sektor real jadi terhambat. Dalam kondisi tersebut pengaruh eksternal seperti  kenaikan suku bunga the Fed sebagai solusi moneter meredam inflasi di AS, faktor geopolitik, jadi pelengkap derita saja. Artinya tanpa ada kebijakan suku bunga tinggi AS, ekonomi kita tetap rentan.


Ada buzzer pengamat ekonomi berkata menghibur diri, bahwa  depresiasi nilai tukar dapat meningkatkan pendapatan ekspor dan output bersih. Itu juga tidak tepat untuk indonesia, untuk negara lain seperti China ada benarnya. Mengapa ? Salah satu alasannya adalah separuh ekspor Indonesia adalah pangan, produk pertanian, mineral, energi, dan produk primer lainnya. Barang-barang ini sering kali dalam mata uang dolar AS. Depresiasi rupiah dikaitkan dengan apresiasi dolar AS. Ketika dolar menguat, harga produk-produk primer itu jadi mahal dan mendorong menurunnya permintaan. Ketergantungan pada ekspor primer seperti CPO, batubara dan Crude oil membuat Indonesia rentan terhadap perubahan harga komoditas dunia. Jadi paham ya. Bahwa ekonomi Indonesia itu agak laen. 


Lantas bagaimana  pengaruh rupiah terhadap sektor perbankan dan perekonomian Indonesia. Teori ekonomi berpendapat bahwa harga saham sama dengan nilai sekarang yang diharapkan dari arus kas bersih masa depan, yang menyiratkan bahwa harga saham memberikan informasi tentang aktivitas ekonomi di masa depan. Hasilnya menunjukkan bahwa saham-saham secara agregat terkena depresiasi rupiah. Depresiasi satu persen akan menyebabkan keuntungan agregat turun hampir satu persen. Jika dilihat dari masing-masing sektor, hanya lima dari 62 sektor yang terkena depresiasi. Dari lima tersebut, tiga diantaranya bergerak di sektor perbankan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pelemahan rupiah menurunkan profitabilitas perbankan.


Berbeda dengan saat krisis Lehman dan kebijakan pelonggaran kuantitatif  (QE)  AS , bank-bank di Indonesia  memperoleh keuntungan yang tinggi, memiliki likuiditas yang melimpah, dan memiliki rasio kecukupan modal melebihi 23 persen. Namun, karenanya perbankan terjebak potensi NPL. Karena 71 persen pinjaman bank disalurkan ke korporasi, dan 45 persen utang korporasi dalam mata uang asing. Tahun 2013 terjadi Taper tantrum menggambarkan lonjakan imbal hasil Treasury AS. Lonjakan ini diakibatkan oleh pengumuman Federal Reserve (Fed) mengenai pengurangan kebijakan pelonggaran kuantitatif di masa depan. Dampak dari taper tantrum adalah arus modal dari pasar negara berkembang seperti Indonesia  kembali ke AS dan mencetuskan gejolak keuangan. Akibatnya Bank terkena depresiasi nilai tukar melalui pinjaman korporasinya dan korporasi juga terkena depresiasi secara langsung. Dampaknya bisa terjadi financial distress baik perbankan maupun korporasi yang listing di bursa. Ini bisa sistemik.


Saat sekarang sudah ada indikasi korporate kesulitan likuiditas valas. Bahkan Eric Thohir memerintahkan  BUMN untuk borong cepat Valas untuk mengamankan cash flow pembayaran utang bermata uang asing.  Kawatir default. Saya tidak tahu dasar realitas di kepala Eric. Yang jadi pertanyaan. Apakah OJK melakukan pengawasan ketat terhadap standar  praktik manajemen risiko yang baik seperti mewajibkan bank untuk memiliki aset likuid dalam mata uang asing dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan valuta asing yang luar biasa selama periode 30 hari dan memperluas peraturan kehati-hatian perusahaan dalam bidang valuta asing untuk seluruh kewajiban valuta asing perusahaan.  


Mengapa ? 


Ingat, Utang luar negeri  Publik November 2023 terdiri dari utang pemerintah sebesar 192,6 miliar dolar AS. Swasta USD  Rp. 208,3. Total utang publik mencapai USD 400,9 miliar atau Rp. 6.495 triliun ( Kurs Rp. 16.200). Ini tidak kecil. Belum lagi walau SBN 85% dimiliki investor lokal namun mereka adalah perbankan dan dana pensiun yang sebagian besar SBN itu ditempatkan dalam skema repo kepada bank asing untuk mengamankan likuiditas. Artinya sama saja SBN itu sebagian besar dikuasai Asing. Ketika BI menaikan suku bunga, resiko SBN meningkat dan yield semakin tinggi. Untuk tennor 10 tahun sebagain benchmark, yield sudah mendekati 7%. Itu artinya terjadi pelepasan SBN di market.  Dampaknya kurs sulit untuk dikendalikan dan perbankan semakin bleeding terhadap resiko Repo SBN.


Solusi ?

Masalahnya sejak era Soeharto sampai sekarang tidak terjadi transformasi ekonomi dari komoditas primer ke Industri. Data menunjukan Ada korelasi positif yang besar antara harga ekspor Indonesia dan harga produk primer seperti besi, baja, aluminium, gas alam, kertas, tembaga, dan karet. Korelasi negatif antara harga ekspor Indonesia dan harga barang-barang elektronik seperti komputer, suku cadang komputer, telepon seluler, sirkuit terpadu, televisi, kamera, dan manufaktur padat karya seperti tekstil, pakaian jadi, mainan, dan alas kaki. Dengan demikian, mengekspor lebih banyak produk manufaktur akan mengurangi paparan Indonesia terhadap guncangan nilai tukar perdagangan global. Artinya diversifikasi produk ekspor dapat mengurangi dampak guncangan harga.


Masalahnya di era Jokowi justru terjadi deindustrialisasi. Jadi, kedepan siapapun presiden harus mengkoreksi ini dan tidak bisa diteruskan kebijakan konyol sebelumnya. Indonesia harus mengikuti jejak Malaysia, Thailand, dan Vietnam dalam menarik investasi asing langsung (FDI) dari perusahaan multinasional (MNC) yang mencari platform ekspor yang efisien. Caranya ?  Perbanyak pasokan listrik berbahan bakar murah seperti PLTA, perluas dan perkuat pusat logistik, memberantas korupsi dengan serius, menghapus tataniaga yang mendistorsi market, menolak proteksionisme yang meningkatkan biaya input impor, berinvestasi pada sumber daya manusia, R&D dan mendorong kewirausahaan kreatif. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk fokus pada strategi ini, karena perusahaan multinasional berupaya melakukan diversifikasi ke luar Tiongkok akibat reformasi ekonomi China generasi ke tiga.


Dalam jangka pendek, please, Para menteri berhenti bicara yang kontraproduktif  membela rupiah lewat buzzer dan omong kosong lewat media massa. Focus jaga stabilitas politik. MK harus bijak. Jangan ada lagi akrobat keputusan yang membuat antar elite berseteru. Ayo bergandengan tangan menjaga negeri ini. Ingat, kalau terjadi resesi akibat kurs rupiah diluar kendali itu akan sangat lama proses recovery nya. Bisa 10 tahun kita kehilangan momentum bergerak ke depan. Yang jadi korban anak cucu kita. Pahami itu, Jangan turuti keras kepala…


***

Apakah pemerintah kawatir dengan melemahnya rupiah? Tanya Florence 


“ Kamu baca aja news dari media mainstream. Dari SMI, Airlangga, Eric, dan  Pak Fery , lainnya bicara  bicara dengan versi mereka masing masing. Itu mengindikasikan mereka benar benar panik “ kata saya.


“ Mengapa ? 


“ Sejak dua tahun lalu Menteri keuangan dan BI sudah antisipasi kejatuhan rupiah akibat kebijakan suku bunga AS yang berdampak keringnya likuiditas valas. Contoh, menteri keuangan terbitkan global Bond valas  3,2 miliar untuk antisipasi pembayaran Utang Luar negeri. Tidak efektif. Kemudian BI keluarkan instrumen operasi moneter jangka pendek untuk menarik modal asing (hot money) seperti SRBI, SVBI dan SUVBI, sejauh ini juga tidak mampu berbuat banyak kendati memberikan bunga tinggi pada para pemodal.


Begitu juga kebijakan repatriasi devisa melalui mandatori penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang sudah berjalan sejak Agustus tahun lalu, nyatanya kurang dipatuhi korporat seiring berakhirnya pesta harga komoditas yang mencapai puncaknya pada tahun 2022 silam. “

“ Jadi apa lagi yang dilakukan BI menahan kejatuhan rupiah ?

“ Ya BI masuk kepasar valas spot, forward dan pasar SBN. Tapi ini benar benar konyol. Karena yang dilawan itu pasar. Engga akan efektif. 


“ Kenapa ?


“ Dalam tiga bulan tahun ini BI udah kuras cadev usd 6 miliar. Tetap aja rupiah jatuh. Mau dilanjutkan terus ? Ya untung  pemain hedge Fund. Tahun lalu BI menghabiskan cadangan devisa sekitar US$12 miliar menahan kejatuhan rupiah. Tetap aja rupiah jatuh. Dan lagi intervensi pasar itu membuat likuiditas valas semakin ketat. Bisa jadi bank domestik kena dampak negatif yang bersifat sistemik. “ 


“ Apa agenda politik dibalik kejatuhan rupiah ini?


“ ah engga ada. Partai mana paham otaknya mengenai  bursa valas. Ini murni karena pemerintah terlalu kuat terhadap BI dan DPR memberi peluang itu. Padahal faktanya sampai dengan Februari 2024 utang luar negeri jatuh tempo usd 69,75 miliar. Lebih  tinggi dibandingkan Februari tahun lalu yang masih di posisi US$68,09 miliar. Ini yang menguras devisa dan rupiah semakin lemah. Konyol nya lagi. Udah begitu. Eh malah tambah utang luar negeri lagi. Jadi total ULN naik menjadi US$407,2 miliar. Tahun depan akan naik lagi pembayaran utang luar negeri. Jadi beban DSR sudah membuat retak fundamental ekonomi makro. “ kata saya.


“  Solusinya gimana ? Tanya Florence.


“ Ya satu satunya jalan adalah menaikan BI Rate agar pelemahan rupiah tidak berlanjut. Tetapi kalau BI Rate dinaikkan, pertumbuhan ekonomi ditarget 5% tidak akan tercapai. Daya beli masyarakat akan semakin tergerus, ekspansi bisnis akan kontraksi, kita masuk jurang resesi karena pengetatan ekonomi. Gelombang NPL akan membesar dan kebangkrutan massal tidak bisa dihindari” kata saya.


“ Duh jadi apa solusi yang kontrit” tanya Florence mulai kawatir.


“ Ya kerja realistis bukan politis. Pertama dari sisi fiskal, pangkas belanja sampai 40%. Batalin semua proyek PSN termasuk IKN. Hapus semua subsidi langsung. Itu untuk memastikan kredibel dan akurat. Kedua, dengan konsisten melaksanakan yang pertama, BI bisa hentikan intervensi moneter. Langsung naikan BI Rate. Itu akan aman selagi yang pertama dari segi fiskal dilaksanakan. Memang pahit namun  ekonomi kita bisa selamat. Jangan kepala Batu seperti elite Venezuela dan Argentina. Dah gitu aja.” Kata saya.

No comments: