Berikut adalah deretan mega korupsi di Indonesia era Reformasi, yang diantaranya adalah Kasus TPPI sebesar Rp.37,8 triliun. Kasus Jiwasraya. Kerugian negara mencapai Rp. 16 triliun. Kasus ASABRI, merugikan negara mencapai Rp. 21 triliun. Kasus Tol MBZ, indikasi kerugian keuangan negara pada proyek senilai Rp13,5 triliun. Kasus BTS, diperkirakan merugikan negara sekitar Rp 8 triliun dari Rp 10 triliun. Semua pelaku terbukti sah di pengadilan bersalah. Dikenakan hukuman berat. Itu kasus yang terekam lewat media massa. Sudah menjadi konsumsi publik.
Tetapi ada juga kasus yang tidak jelas siapa pekakunya. Kalaupun ada hanya menyasar pihak yang tidak mengungkapkan secara significant. Seperti laporan PPPATK pada tahun 2023, menegaskan soal transaksi janggal Rp 300 triliun. Kasus impor emas ilegal mencapai Rp 189 triliun. Kasus Indosurya mencapai Rp. 181 triliun. Ekspor 5,2 juta ton ilegal nikel ke China. Diduga merugikan negara mencapai Rp 14,5 triliun. Itu belum termasuk investasi bodong yang mencapai Rp. 139 triliun dan Ilegal judi Rp. 150 triliun. Teranyar kerugian negara atas Tata niaga Timah sebesar Rp. 271 trillun dan kasus fraud nasabah LPEI, yang berdampak kerugian LPEI mencapai Rp. 18,1 triliun.
Bayangkan di Malaysia kasus MD1 sebesar 50 miliar ringgit atau Rp 177,5 triliun, PM jadi pesakitan. Dan banyak elite yang masuk bui. Sementara kita jumlahnya sangat besar. Korupsi di Malaysia itu hanya secuil dibandingkan dengan di Indonesia. Di era SBY kasus Century Gate hanya Rp. 12 triliun tumbang Partai Demokrat. Kasus EKTP hanya USD 400 juta. Ketua Umum Golkar masuk bui. Mengapa skala kejahatan korupsi di Indonesia dari tahun ketahun era Jokowi ukurannya terus membesar. Sepertinya modus korupsi sangat subur. Sehingga terjadi moral hazard ? Jawabannya sederhana. Yaitu lemah nya kontrol terhadap pelanggaran tindak pidana pencucian uang.
Gerbang pertama aliran uang haram dari hasil korupsi itu adalah perbankan dan pasar modal. Perbankan dan Non Bank sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah mengawasi lalu lintas pencucian uang tidak sepenuhnya menerapkan standar kepatuhan DD KYC. Bisa juga karena kesenjangan peraturan dan kelemahan budaya moral dan etika yang mencolok dalam sektor keuangan. Bisa jadi uang haram itu menjadi sumber daya cash flow bagi bank-bank terlilit NPL yang bersembunyi dari window dressing. Hal ini menunjukkan bahwa likuiditas antar bank didanai oleh uang yang berasal dari uang haram, dan bank-bank tertentu sebenarnya diselamatkan dari dana ilegal. Moral hazard.
Dampak dari skandal korupsi gigantik itu bukan hanya masalah uang; ini tentang dampaknya terhadap masyarakat. Pencucian uang sangat terkait dengan budaya korupsi dan hidup hedonisme dan money politk, termasuk toxin bagi penegak hukum. Kegagalan untuk meminta pertanggungjawaban kepada mastermind imemberikan pesan yang mengecewakan, di mana sebagian orang percaya bahwa uang dapat membeli impunitas, bahkan membeli kekuasaan.
Kenyataan pahit dalam industri perbankan dan keuangan, adalah mereka gagal menjadi agent of development. Mereka justru menjadi bagian dari rente perputaran uang haram, sehingga menyuburkan TPPU. Skandal mega korupsi merupakan pengingat akan pentingnya memberantas aliran uang haram, karena konsekuensi dari menutup mata akan berdampak luas dan merugikan sistem keuangan dan masyarakat secara keseluruhan. Dan bisa memicu meluasnya rasa ketidak adilan sosial bagi masyarakat miskin. Ini bisa berdampak chaos politk dan sosial, distegrasi bangsa terancam.
Dengan adanya Kasus Skandal mega korupsi itu, sudah sangat mendesak pentingnya perubahan sistemik di sektor perbankan. Mengapa ? Ada kebutuhan untuk pengawasan peraturan yang lebih kuat, budaya perusahaan yang mengutamakan etika dibandingkan keuntungan, dan peningkatan perlindungan bagi pelapor. Pada akhirnya, financial knowledge berkaitan dengan operasi money laundry harus menjadi senjata paling ampuh melawan aliran dana korupsi dan pembelajaran dari skandal ini harus menjadi katalisator perubahan. Semoga.
No comments:
Post a Comment