Sunday, June 30, 2024

Banjir produk impor karena kebodohan.

 


Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan mengenakan nilai pajak yang tinggi, khususnya untuk barang-barang yang diimpor dari China. Hal ini dilakukan untuk memerangi banjirnya impor dari Negeri Tirai Bambu. “ Ya bisa saja (dikenakan 200%), tergantung hasil penyelidikannya. Kita tunggu dulu masih dalam proses," kata Budi Santoso, mengutip Detikcom, Minggu (29/6/2024). 


Sepertinya di benak pemerintah, satu satunya yang bisa dilakukan Indonesia terhadap banjirnya produk China adalah dengan penetapan tarif tinggi lewat Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). Itupun akan sulit diterapkan. Engga mudah. Mengapa ? karena kita sudah meratifikasi Free Trade Area dengan negara mitra, rata-rata tarif bea masuk Indonesia tinggal 2,6 persen. Itu harus diakui karena kegagalan kita dalam diplomasi dagang. Karena faktanya negara lain mampu menetapkan tarif lebih tinggi, misal Korea (7,7 persen), China (3,5 persen) dan India (6,3 persen) ( sumber : Bank Dunia, Dana Moneter Internasional). 


Kalaupun kita mau menerapkan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), maka kita hanya bisa dengan alasan negara mitra kita, misal China  melakukan praktek dumping. Tapi tidak bisa begitu saja kita menuduh orang lain dumping tanpa ada alasan yang tepat.. Sementara kita sudah meratifikasi kerjasama multilateral  terutama terkait dengan ME-ASEAN, seperti ASEAN Trade In Goods Agreement(ATIGA), ASEAN-China Free Trade Area(ACFTA) dan lain lain.. Indonesia juga meratifikasi semua ketentuan WTO soal tarif.


Kalau menteri Perdagangan tetap ngotot membuat aturan tarif sepihak tanpa proses yang diatur dalam ACFTA, China akan masuk ke Pengadilan internasional. Kita akan kalah mudah. Contoh kalahnya kita di WTO atas gugatan UE soal larangan ekspor mentah mineral tambang. Kalau kita tetap tidak peduli dengan keputusan Pengadilan internasional, China juga punya hak melakukan keputusan sepihak.  Nah kita akan masuk perang dagang dengan China.  Sementara kita masih bergantung ekonominya dari SDA yang mana china adalah market terbesar kita. Ingatlah loh, pasar terbesar batu bara, nikel, CPO adalah China. Apa siap kita kehilangan peluang pasar yang raksasa itu.? Apa siap kita kehilangan sumber devisa.? Apalagi China termasuk kreditur kita.


Kita bukan AS yang jago dan terkesan seenaknya melanggar perdagangan bebas. AS menetapkan tarif tinggi atas barang dari China, itu juga tidak gegabah. Ada proses panjang dari sejak investigasi praktek dumping, perundingan bilateral soal temuan hasil investigasi. Adu argumentasi dan bisa bisa masuk ke sidang WTO.  Jadi kalau sampai akhirnya AS membuat keputusan tarif terhadap China, itu sudah bisa dipertanggung jawabkan sesuai dengan kesepakatan bilateral maupun multilateral. Kalau China tidak membawa ke sidang WTO, itu masalah lain. Karena bisa saja China punya cara lain untuk menghadapi perang dagang dengan AS dan AS sudah siap.


Kebijakan tarif impor tinggi tanpa alasan rasional walau itu cara proteksi industri dalam negeri namun bagaimanapun itu cara jadul. Udah engga jaman lagi, apalagi di era FTA. Apalagi indonesia sudah masuk ME-ASEAN. Investasi di Malaysia sama saja dengan di Indonesia. Kalau Indonesia protetif namun negara ASEAN lain tidak, kan engga ada artinya. Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah ? Ini saran saya.


Pertama. Memberikan insentif kepada Industri hulu (upstream) berupa nol % Bea Impor barang modal dan linked product dan pengurangan tarif Pajak Penghasilan.  Misal, Smelter baja, nikel, aluminium, petrokimia, benang  dan serat, API Pharmacy, heavy industry, Oleo pangan dan chemical. Namun industri upstream tersebut dikenakan pajak tambahan ekspor yang tinggi, agar mereka focus mendukung industri downstream dalam negeri. Jadi sudahi mindset hilirisasi yang hanya mendukung supply chain luar negeri demi pemasukan devisa. Kita harus berubah agar industri dalam negeri tumbuh dan menyerap angkatan kerja luas dan pada akhirnya memperkuat basis kemandirian kita.


Dengan kebijakan ini akan mendorong relokasi Industri downstream yang ada di negara maju ke dalam negeri untuk memanfaatkan harga bahan baku yang disubsidi. Karena insentif ini secara tidak langsung mensubsidi supply chain industri hilir ( Midstream dan downstream) dalam negeri dan memperkuat kemandirian pasar domestik dari serangan produk impor.

Kedua. Perbaiki logistik nasional,  khususnya dwelling time dibuat secepat mungkin. Artinya bukan hanya membangun fisik jalan dan pelabuhan tetapi yang lebih penting adalah  pembenahan administrasi kepabean agar efektif dan efisien. Ingat loh, salah satu daya saing utama dalam bisnis internasional adalah kecepatan delivery dan on time. Kalau delivery telat itu akan menghambat arus investasi terutama sektor industri yang sangat bergantung kepada supply chain global. 


Ketiga. Memberikan insentif pajak kepada industri midstream atau downstream yang melakukan riset sains untuk melahirkan produk inovasi. Mengapa ? Pengukuran dengan metode ISIC Rev.3-2011 UNIDO di tahun 2014, struktur kemampuan penguasaan teknologi tinggi industri kita yang ada sekarang hanya 6 persen, teknologi menengah-tinggi 28 persen, teknologi menengah-rendah 23 persen, dan teknologi rendah 43 persen. Tanpa insentif R&D tidak mungkin kita bisa naik kelas dan tidak mungkin kita bisa bersaing.


Keempat. membangun ekosistem bisnis lewat tata niaga berbasis IT. Pemerintah sediakan gudang lewat sistem stokis berbasis IT, ya semacam warehousing ecommerce marketplace and logistic. Nah lewat aturan tata niaga, maka setiap pabrik atau produsen akan nyaman menempatkan barangnya di warehousing. Karena lewat ekosistem financial dari warehousing, likuiditas mereka terjamin. Dan pedagang secara B2B lewat ecommerce bisa dengan mudah mengakses barang di gudang tersebut untuk dijual lewat market place.


Dengan adanya warehousing ecommerce marketplace and logistic itu,  otomatis terjadi transformasi ekonomi dan sosial. Karena adanya efisiensi dari segi distribusi  dan  financial. Industri akan tumbuh berkembang pesat dan peluang berdagang terbuka luas bagi siapa saja untuk menjangkau 123 juta konsumen indonesia. Kalau bisa dibuat berdasarkan cluster sesuai type produk ( barang kebutuhan umum dan komoditas pertanian) dan segmentasi pasar ( industri, pemerintah maupun rumah tangga) secara B2B. Setiap pemda minimal punya satu warehousing ini. Buatnya engga semahal bangun kereta cepat dan tidak sesulit buat satelit. Itu kalau tahu arti perubahan dan punya niat baik untuk bangsa dan negara.


Dah itu aja.


Saran saya, engga usah gamang melihat keok nya industri dalam negeri akibat banjirnya produk impor khususnya dari China. Akui saja selama ini kita gagal melakukan transformasi ekonomi dari SDA ke Industrialisasi. Banjirnya produk impor karena kebodohan kita. Selagi akal masih berguna, selalu ada cara untuk bersaing dan survival di tengah situasi global yang tidak ramah.

No comments: