Thursday, June 27, 2024

Masa depan ekonomi suram?

 



Warisan ekonomi Jokowi memang memberatkan pemerintahan PraGib. Walau pertumbuhan ekonomi rata rata 5%. Namun pertumbuhan hutang juga tinggi. Ada empat hal engga mungkin bisa diatasi dengan cepat katakanlah 5 tahun. Bisa saja bertahan udah bagus. Kecenderungan kemungkinan terjungkal juga ada. Saya tidak nakut nakuti. Tidak juga negatif thinking. Apalagi pesimis. Semua yang saya sampaikan berdasarkan data. Saya hanya mengingatkan saja. Kini situasi pasar wait and see. Masih khawatir di tengah ketidakpastian kebijakan fiskal Prabowo. Apa saja empat hal itu ?


Pertama. Tahun ini tren penurunan penerimaan negara mulai terjadi. Penerimaan negara hingga Mei 2024 baru sebesar Rp 1.123,5 triliun, atau turun 7,1% dibanding periode yang sama tahun lalu Rp 1.209 triliun. Tren ini akan terus berlanjut dan akan semakin tajam. Karena turunnya volume permintaan akan komoditas utama Indonesia di pasar dunia.  Ya imbas dari adanya ketegangan geopolitik dan persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Selain itu, perusahaan-perusahaan multinasional sedang menyelaraskan kembali rantai pasokan di sepanjang jalur geopolitik, sehingga menimbulkan risiko terjadinya tirai besi ekonomi baru dan spiral harga lebih lanjut

Situasi dunia ini tidak akan berjangka pendek. Itu akan lama. Terbukti AS sudah diantisipasi dengan melakukan chip act dan inflation reduction act untuk melindungi industrinya. Serta, Eropa melakukan mekanisme penyesuaian pembatasan karbon atau CBAM.  Kemudian, India melakukan production linked incentive dan larangan ekspor kritikal mineral dari RRT dan Korea dengan Korean chips act.


Kedua. Kurs rupiah yang terus melemah, bahkan melewati ambang psikologi Rp. 16.000/USD. Kuartal pertama NPI sudah defisit. Maklum walau neraca perdagangan masih surplus namun jasa masih bergantung  ke luar negeri dan produksi dalam negeri masih bergantung supply chain impor. Bahkan ketergantungan pangan dan BBM dari impor semakin tinggi.  Kurs melemah akan menaikan harga jual.Dampaknya adalah penurunan pendapatan ril masyarakat. Pabrik dan UKM yang bergantung pasar domestik akan banyak yang mengurangi produksi dan PHK, bahkan terancam bankrut.   Pada gilirannya akan menurunkan penerimaan negara dari pajak.


Keadaan sektor real sekarang juga tidak baik baik saja. Pemerintah meminta perpanjangan kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan yang terdampak Covid-19 hingga 2025. Kalau ini disetujui oleh OJK, maka ini yang keempat kali penundaan berakhirnya restruktur kredit perbankan C19. Artinya kalau baik baik saja engga mungkin sampai 3 kali penundaan. Padahal bank itu jantung ekonomi. IMF sudah mengingatkan bahwa tidak boleh lagi ada perpanjangan. Mengapa ? khawatir Perbankan kita menyimpan zombie korporat atau semacam soang mati diatas danau. Keliatan ngapung tetapi udah engga bernyawa. IHSG akan drop. Lost trust! Apalagi  berdasarkan temuan BPK, ketahuan OJK merugikan negara Rp. 400 miliar.


Ketiga. Sampai tahun 2029 nanti utang yang jatuh tempo mencapai hampir Rp. 4000 triliun. Itu sama saja 50% dari stok utang tahun 2024. Sementara kondisi APBN kita defisit. Jadi disamping utang belanja juga terpaksa harus tambah utang untuk bayar utang. Dan ini akan berdampak kepada semakin melebar ratio utang terhadap PDB. Bisa saja seperti dikhawatirkan oleh Morgan Stanley akan menuju 50% dari PDB. Sehingga bursa kita downgrade jadi underweight. Kalau hitungan saya.  itu bisa tembus pagu utang yang diatur dalam UU, 60% dari PDB. Di situasi penerimaan negara drop, maka debt to tax revenue yang sekarang sudah mendekati 50%, akan mendekati 100% tahun tahun berikutnya. Rupiah bisa terjun bebas.


Keempat. Keadaan ekonomi yang diwariskan Jokowi adalah kegagalan negara mendistribusikan sumber daya kepada masyarakat luas. Hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Deindustrialisasi terjadi. Rente meluas. Karenanya sangat bergantung kepada subsidi langsung maupun tidak langsung untuk bantalan ekonomi. Kalau tidak ada subsidi BBM, ongkos logistik akan naik. Akan memicu harga harga eceran naik di pasar. Engga ada subsidi pupuk bisa lumpuh pertanian. Engga ada bansos beras dan BLT, bisa kelaparan rakyat. 


Tanpa subsidi, bisa jatuh pemerintahan. Jadi sifatnya udah ketergantungan. Tentu dengan situasi ekonomi dunia yang suram, debt to revenue tax RI yang tinggi, memang dilema bagi PraGib. Apakah berusaha memperbaiki keadaan ekonomi dengan mengurangi anggaran sosial namun resiko chaos sosial terjadi. Atau utamakan stabilitas politik dengan meningkatkan dana stimulus untuk bantalan namun resiko ekonomi chaos. Dua duanya mimpi buruk memang bagi masa depan Indonesia.


Empat itu aja. 


Saran saya kepada Prabowo, agar upaya restrukturisasi APBN dilakukan sejak awal masuk istana. Akan lebih baik bila di umumkan di masa transisi ini. Perkecil defisit APBN, Bila perlu pangkas APBN 40%. Sangat mungkin dapat dukungan politik. Karena rakyat masih tinggi kepercayaannya. Dan karenanya pasar pasti bereaksi positif dan rupiah akan menguat. Jangan tunggu sampai Debt to PDB tembus 60%. Jangan tunggu sampai Debt to revenue tax 100%, dan Cadev turun dibawah pagu aman. Karena telat sedikit aja, perubahan ekonomi akan cepat sekali menyapu yang ada. Kita akan mundur jauh sekali. NKRI bisa pecah berkeping keping..

No comments: