Monday, June 3, 2024

Rupiah loyo...

 



Segala upaya telah dilakukan BI untuk kembalikan Rupiah ke batas psikologis yaitu Rp. 15.000/USD. Seperti meningkatkan penjualan instrumen SRBI dan SVBI dengan rate khusus ( High rate). Hot money memang. Valas yang didapat dari SRBI dan SVBI tidak dibelanjakan. Reserve repo sifatnya.  Hanya memperkuat Cadev. Sebelumnya sudah menaikan BI rate. Sampai segitunya menjaga rupiah agar tidak terpuruk dalam. Namun nyatanya tetap saja rupiah melewati batas psikologis. Kini sudah diatas Rp. 16.000 ( Rp. 16220/USD 3/06).


Selalu alasan pemerintah dikemukakan karena faktor eksternal. Seakan kalau kalau ada masalah pada ekonomi dan moneter kita, itu melulu karena faktor eksternal. Dan lucunya kalau ekonomi membaik, itu karena faktor internal, bukan karena faktor eksternal akibat kenaikan harga komoditas ekspor. Selama ini memang informasi selalu bias. Wajar saja. Namanya pencitraan politik. Lantas apa penyebab sebenarnya.? Saya akan sampaikan penyebab Rupiah loyo secara sederhana.


Pertama.  Rupiah loyo karena supply valas yang bersumber dari  aktivitas perdagangan dan aliran modal, investasi drop. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I 2024 defisit USD6,0 miliar. Walau BI berusaha menyerap likuiditas dari pasar lewat SRBI, SVBIi lebih dari Rp. 500 triliun, namun tetap aja tidak berdampak signifikan terhadap penguatan rupiah. Pasar tidak melihat kebijakan mendasar yang bisa memperbaiki NPI. Itu hanya skema pompom aja.


Kedua. Walau cadangan devisa pada akhir Maret 2024 tercatat tetap tinggi sebesar USD 140,4 miliar, atau setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor. Masih di atas pagu internasional yang 3,2 bulan impor. Namun Transaksi berjalan pada triwulan I 2024, defisit USD2,2 miliar atau 0,6 persen dari PDB, lebih tinggi dibandingkan dengan defisit USD1,1 miliar atau 0,3 persen dari PDB pada triwulan IV 2023.  Tren defisit ini diperkirakan akan terus melebar akibat beban pembayaran utang dan pasar komoditas global yang suram.


Ketiga. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Mei 2024 terjadi deflasi sebesar 0,03%. Pemerintah berusaha menangkis penyebab deflasi karena daya beli turun “ "Enggak lah (deflasi karena daya beli lemah), ini karena fluktuasi harga, ini memang karena ada perubahan harga komoditas yang kita hitung dari keranjang inflasi," kata Kepala BPS, Jakarta, Senin (3/6/2024). Deflasi terjadi karena fluktuasi harga yang sifatnya temporer. Bukan karena pasokan barang lebih banyak akibat kegiatan produksi meningkat dibandingkan uang beredar.


Deflasi pada bulan Mei tidak mengindikasikan tren harga akan terus turun dan ekonomi membaik. Berdasarkan BPS, misal harga beras, secara year to year harga eceran naik 11,75 persen. Artinya tren kenaikan harga terus berlangsung dari tahun ke tahun. Selain beras, jangan tanya. Mana ada yang turun. Tren nya naik semua. Apa artinya? keadaan ekonomi dalam negeri tidak baik baik saja.


Kesimpulan. 

Ketergantungan valas dari ekspor terutama komoditas SDA, sangat rentan terhadap faktor eksternal. Dengan adanya penguatan mata uang USD akibat suku bunga the fed tinggi, akan cenderung membuat harga komoditas turun di pasar global. Dan ini akan menekan daya tahan cadev, yang terpaksa mencari sumber valas lewat hutang. Sementara likuiditas pasar uang  global ketat. Ongkos moneter akan semakin mahal. Likuiditas perbankan juga ketat akibat suku bunga the fed, yang diikuti naiknya BI rate. Belum ada tanda akan turun. Dunia usaha sulit lakukan ekspansi, yang berikutnya IHSG akan terancam drop. Memang masa depan rupiah suram. Apalagi dibayangi dengan defisit APBN diatas 2%.  Harus ada solusi tapi apa ? ruang politik tidak tersedia untuk solusi.

No comments: