Akhir pekan minggu lalu berlangsung Rapat antara Pemerintah dan DPR membahas rencana pengesahan RUU BUMN. Selasa besok (4/2) akan disahkan dalam Rapat Pleno. Cepat dan kilat. Di era Jokowi 10 tahun RUU BUMN tidak kelar. Tapi di era Prabowo hanya perlu waktu sebulan Panja dan langsung masuk Pleno. Keren. Yang menarik dalam perubahan ke tiga UU BUMN ini adalah dengan adanya pasal BPI Danantara. Yang tadinya sempat tertunda pengesahannya. Tapi dengan adanya UU BUMN yang baru, tidak ada alasan lagi BPI Danantara tidak jalan.
Yang jadi pertanyaan adalah, apakah pendirian BPI Danantara sudah sesuai dengan agenda Prabowo ? Yaitu sebagai financial resource diluar APBN untuk menggerakan investasi agar pertumbuhan ekonomi bisa 8%, melalui sekuritisasi Asset BUMN. Mari kita analisas rasionalitas nya.
Pertama. Total asset BUMN ( data 2023) sebesar Rp. 10.400 triliun. Harus dicatat juga bahwa asset sebesar itu adalah asset revaluasi. Tida terkait dengan likuiditas.Sementara utang Rp6.957,43 Triliun berhubungan langsung dengan likuiditas. Kalau dikurangi Asset dengan utang. Net asset hanya RP. 3.443 triliun. Net asset sebesar itu kalau disekuritisasi berdasarkan risk management rasio, maksimum hanya 30% saja atau kurang lebih Rp 1000 triliun yang bisa dileverage. Sementara untuk mencapai pertumbuhan sebesar 8% perlu dana investasi Rp 13.000 trilun. Artinya useless BPI Danantara.
Kedua. Berdasarkan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, saham pemerintah pada BUMN itu adalah BMN ( barang milik negara). Engga bisa disekuritiasi tanpa melalui mekanisme UU itu. Sementara berdasarkan RUU BUMN, Kekuasaan BPI Danantara dibawah Meneg BUMN. Artinya tidak mengubah struktur system perbendahaan negara. Dimana Menteri Keuangan sebagai beneficiary owner saham BUMN.
Misal, BPI Danantara berencana create structure fund lewat penerbitan surat utang dengan jaminan saham BUMN, prosesnya harus izin dari Menteri keuangan. Nah karena kita menganut cashBasic dalam system perbendaharaan negara. Kalau diizinkan maka itu masuk skema PMN ( Penyertaan Modal negara). Timbul resiko. Structure fund ini diluar APBN akan sulit bisa dikendalikan disiplinnya, bahkan bisa menimbulkan moral hazard seperti kasus skandal MD1 Di Malaysia.
Ketiga. Sekuritasi Asset BUMN lewat BPI Danantara tidak akan efektif sebagai financial resource, bahkan membuat ketidak pastian terhadap surat utang negara. Ini akan memperlebar rasio utang pemerintah terhadap PDB dan mengurangi value SBN-SUKUK Syariah yang juga menggunakan asset BUMN sebagai underlying. Menteri keuangan tahu pasti soal ini. Dan pasti tidak mudah mengizinkan setiap rencana sekuritasi Asset BUMN. Karena sudah dikunci oleh UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Saya menduga duga, agenda pendirian BPI Danantara datang dari para oportunis yang ada di cabinet dan DPR, dengan tujuan memberikan solusi pembiayaan kepada presiden. Namun sifat nya Asal Bapak Senang. Tidak ada pertimbangan rasional dan akademis yang bisa menjamin agenda mendatangkan investasi besar untuk mendukung pertumbuhan 8%. Kesannya lebih kepada usulan too good to be true, yang akhirnya memakan ongkos APBN juga.
Saran saya.
Sebaiknya focus saja kepada keberadaan INA yang sudah punya landasan hukum independent dan kuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Mengapa ? keberadaan INA tidak bertentangan dengan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Namun memang caranya tidak mudah. Karena prinsip dari INA adalah bukan sekuritisasi asset BUMN atau BMN tetapi sekuritisasi sumber daya yang bersifat thematic dan sophisticated. Itu diperlukan skill financial engineering untuk menciptakan produk investasi berbasis sumber daya.
Sekuritisasi sumber daya itu rumit namun punya dasar hitungan quantitave yang terukur. Salah satu caranya? Langkah pertama adalah mengindentifikasi sumber daya seperti cadangan Mineral tambang, Oil and gas, Hilirisasi SDA, potensi belanja domestic, credit carbon dan lain lain. Tahap kedua adalah valuasi sumber daya itu lewat monetisasi. Tahap ketiga, agar jelas akuntable nya sebagai project directive, dirikan SPV sesuai dengan thema penerbitan surat utang. Misal, INA-Infrastructure fund. INA-Downstream Industry fund, INA-Housing development program dan lain lain. Untuk support pembiayaan PEMDA, bisa terbitkan INA-Local Government Vehicle financing Fund.
Apakah mungkin? Sangat mungkin. Karena sumber pembayaran surat utang itu adalah proyek itu sendiri. Market marker nya adalah INA sendiri. Artinya likuiditas dijamin INA. Kalau kapitalisasi surat utang Rp. 10.000 triliun. Hanya diperlukan 1% jaminan likuiditas. Modal INA yang sudah disetor negara mencapai USD 5 miliar atau Rp.81 triliun. Itu sudah cukup untuk leverage sebesar Rp. 10.000 triliun. Tentu dengan syarat ada jaminan transfaransi, akuntable dan tingkat kredibilitas yang tinggi dari pengelola INA.
Singkatnya reputasi direksi INA itu level nya udah world class Banker, seperti pengelola SWF Temasek dan Abudhabi. Jadi lebih baik optimalkan INA daripada bentuk BPI-Danantara. Nah yang perlu dilakukan kalau ingin mendatangkan investasi untuk mencapai pertumbuhan 8% lewat sekuritisasi, perbaiki direksi dan SDM INA. Pilih mereka yang qualified dan ahli dalam hal strategi sekuritiasi sumber daya.