Sunday, October 11, 2020

UU Citpa Kerja, Pemerintah yang egaliter.


Dahulu kala harta adalah sebidang tanah dan kumpulan ternak. Dari harta itu orang hidup dan menghidupi dirinya untuk berkembang dari generasi kegenerasi. Namun belakangan karena manusia semakin bertambah dan kebutuhan semakin meningkat maka kompetisi terbentuk. Harta tidak lagi diartikan ujud phisiknya. Tapi harta telah berubah menjadi selembar document sebagai bukti legitimasi dari penguasa. Selembar dokumen itu berkembang menjadi derivative asset bila di lampirkan dengan seperangkat izin ini dan itu. Kemudian di gabungkan dengan yang namanya project feasibility maka jadilah sebuah akses meraih uang. Bukan dijual tanpi digadaikan. Uang itu berputar untuk kegiatan ekonomi dan menghasilkan laba untuk kemudian digunakan membeli harta lagi.Ini disebut dengan nilai reproduksi capital atau project derivative value.


Bila laba semakin banyak , tentu harta semakin meningkat. Kumpulan dokumen harta ini dan itu , menjadi saham ( stock ) dalam lembaran dokumen bernama “perseroan”. Akses terbuka lebar untuk meningkatkan nilai harta itu. Penguasa semakin memberikan akses kepada harta itu untuk berkembang tak ternilai melalui pasar modal , bila harta itu memperoleh akses legitimasi dari agent pemerintah seperti underwriting, notaris, akuntan , lembaga pemeringkat efek. Dari legitimasi ini maka harta menjadi lembaran kertas yang bertebaran dilantai bursa dan menjadi alat spekulasi. Hartapun semakin tidak jelas nilainya. Kadang naik , kadang jatuh. Tapi tanah dan bangunan tetap tidak pindah dari tempatnya.


Akses harta untuk terus berkembang tidak hanya di lantai bursa. Tapi juga di pasar obligasi, Dokument Saham dijual sebagian dan sebagian lagi digadaikan dalam bentuk REPO maupun obligasi.   Akses permodalan conventional lewat bank terus digali agar harta terus berlipat lewat penguasaan kegiatan ekonomi dari hulu sampai kehilir. Dari pengertian ini, maka capital seperti yang disampaikan oleh Hernado de soto dalam bukunya “The Mystery of Capital” mendapatkan pembenaran. Kapital dapat mereproduksi dirinya sendiri. Bahwa harta bukanlah ujudnya tapi apa yang tertulis. Dan lebih dalam lagi adalah harta merupakan gabungan phisiknya dan manfaat nilai tambahnya. Nilai tambah itu hanya mungkin dapat dicapai apabila dalam bentuk dokumen.


Ketidak adilan dibidang ekonomi selama ini , lebih disebabkan oleh akses “ legitimasi atau perizinan “itu. Hingga soal legitimasi ini membuat kegiatan ekonomi terbelah menjadi dua. Yaitu sector formal dan informal. Pemerintah dan politisi  dengan entengnya menggunakan istilah formal dan non formal. Anehnya, ini untuk membedakan rakyat miskin dan rakyat kaya. Atau orang pintar dengan orang bodoh. Perbedaan kelas ! padahal negara ini sudah merdeka. Idealnya semua orang harus sama dihadapan negara dan berhak mendapatkan status “formal “. Kenapa kepada orang tertentu saja disebut “formal” sementara kepada yang lain disebut “informal” ?


Inilah akar masalah kenapa terjadi perbedaan antara negara kaya dan miskin. Di China, capital dapat mereproduki dirinya karena kemudahan akses birokrasi. Negara kita , birokrasi menciptakan kelas secara otomatis. Karena budaya korup , maka orang miskin yang tak bisa menyuap akan kehilang akses legitimasi.Sementara yang bisa menyuap akan mendapatkan akses tak terbatas di bidang perekonomian. Itulah sebabnya dalam bukunya The Other Path, de Soto menyimpulkan bahwa kaum miskin dalam keadaan ’terkunci’ sehingga tetap berada di luar hukum. Segala jenis aset ekonomi mereka dalam berbagai bentuknya tidak dapat diubah menjadi kapital yang diperlukan untuk kegiatan ekonomi. Sangat menyedihkan sebagai bentuk penjajahan cara baru yang systematis. Dan anehnya ketika UU Cipta kerja disahkan. Justru rakyat miskin yang protes. Padahal setelah UU Cipta kerja ini Izin Usaha UKM bisa dilakukan secara online tanpa harus tatap muka. Artiya sudah sangat mudah bagi siapa saja golongan bawah dapat izin. Bagaimana bisa menyimpulkan UU Cipta kerja itu paham kapitalis. Padahal justru socialis sesuai dengan semangat Pancasila.


***

Teman jemput saya di rumah. Dia ajak saya Sauna di sebuah hotel.

“ Bro, kenapa sih Jokowi keluarkan UU Cipta kerja? Katanya ketika dalam perjalanan.

“ Itu bukan hanya Jokowi. Tetapi udah agenda nasional dari partai koalisi yang mendukung Jokowi jadi presiden”

“ Ok lah apa dasarnya sampai ada agenda seperti itu?

“ Orang mau invest dalam bisnis real hanya dua faktor yang jadi pertimbangan. Pertama, regulasi dan Kedua,  infrastruktur. “

“ Ya benar juga. Logis. OK terus”

“ Nah periode pertama Jokowi sudah bangun infrastruktur ekonomi secara luas. Kalau engga salah, hampir Rp. 2000 triliun uang APBN di gelontorkan. Kalau ditotal dengan proyek B2B, bisa mencapai Rp. 5000 triliun. Dalam kacamata awam, proyek itu terlalu berani. Misal jalan Toll, secara bisnis itu tidak layak kalau hanya memperhatikan traffic kendaraan yang ada. Jalan toll di Sumatera, Sulawesi, kalimantan, sebagian jawa, engga ada yang untung.  Tetapi Jokowi tetap bangun walau sebagian besar uang berasal dari utang. Dia melihat masa depan. “

“ Masa depan ?

“ Ya, ketika dia lakukan investasi jor joran itu bukan tanpa perhitungan. Dia sudah rencanakan dengan baik. Bahwa setelah infrastruktur dibangun, dia akan longgarkan izin investasi.”

“ Kan sudah ada paket kebijakan ekonomi. Ada 16 paket loh. Engga sedikit. Kenapa engga efektif?

“ Jokowi itu orang jawa. Perasaannya halus sekali. Dia engga mungkin membuat aturan yang pragmatis tenpa melalui proses  alon alon asal kelakon. Periode pertama dia tetap focus kepada infrastruktur aja. 

“ Mengapa ?

“ Karena masalah reformasi regulasi ini sangat politis. Salah langkah, bisa menimbulkan dampak politik luas. Maklum walau kita sudah reformasi namun kita tidak bisa lepas dari rezim masa lalu yang membuat birokrasi sebagai alat politik melahirkan oligarki bisnis. Semua elite politik, ormas, mereka sudah mapan dengan status quo dengan sistem yang ada, yang korup.”

“ Oligarki gimana sih?

“ Coba dech bayangin aja. 25 grup usaha besar menguasai 5,1 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia. Luas tersebut hampir setara dengan luas setengah Pulau Jawa. Dari luasan tersebut, baru 3,1 juta hektar yang sudah ditanami, sisanya belum digarap. Mereka juga menguasai lahan tambang yang luasnya sama dengan luas lahan kebun sawit. Makanya, penerimaan pajak pribadi, 98 persen berasal dari 500.000 Wajip pajak. Ini artinya Indonesia saat ini hanya bergantung kepada satu juta WP perusahaan dan 500.000 WP orang pribadi. Ini sangat menyedihkan, padahal jumlah penduduk 200 juta lebih.” 

“ Gila ya. Baru tahu saya.”

“ Nah itulah yang harus dihentikan. UU Cipta kerja sebenarnya memberikan peluang bagi siapa saja. “

“ Tapi kan mereka yang sudah kaya pasti lebih unggul dalam bersaing”

“ Benar. Tetapi UU Cipta Kerja membuat aturan lewat insentif  yang memaksa perusahaan secara bisnis berbagi peluang kepada Usaha kecil. Contoh kalau mereka invest dan mereka membina UKM sebagai mitra supply chain, mereka dapat insentif pajak.”

“ Kalau mereka engga mau?

“ Selagi izin usaha mudah diakses oleh siapa saja, mereka yang engga mau berubah, mereka akan digusur oleh kompetisi.”

“ OK lah. Apa ada jaminan setelah UU Cipta kerja ini investasi akan tumbuh pesat ?

“ Saya analogikan sederhana saja. Sekian dekade sumatera itu dikuasai oleh 25 grup besar. Mengapa tidak bertambah? karena akses izin adalah akses politik yang menciptakan eklusifitas bisnis dalam skema oligarki. Nah dengan tidak adanya ekslusifitas, peluang bagi siapa saja. Menambah 2 kali lipat group yang ada itu tidak sulit. Apalagi infrastruktur sudah tersedia.”

“ Bisa kasih contoh konkrit”

“ Saat sekarang ada 15 Kawasan Ekonomi Khusus. Itu sudah well prepared. Dengan UU Cipta Kerja, KEK akan diserbu oleh investor. Kalau masing masing KEK itu bisa menyerap 1 juta angkatan kerja maka total angkatan kerja adalah 15 juta. Itu belum termasuk pengaruh berganda terhadap UKM dan sektor informal. Luas sekali dampaknya bagi kemakmuran.”

“ Paham saya. Persiapkan infrastruktur ekonomi dan kemudian create UU Cipta kerja. Maka infrastruktur yang dibangun akan menghasilkan laba karena adanya geliat investasi yang butuh infrastruktur. Sebenarnya, sederhana saja ya cara berpikirnya. Terus kenapa orang ribut?

“ Orang awam engga paham yang sebenarnya diributkan. Sementara bagi elite yang selama ini punya ATM dari  pengusaha rente,  UU Itu adalah ancaman bagi mereka. Karena politik bukan lagi tambang uang tetapi adalah pengabdian.”

No comments: