Sunday, March 14, 2021

Ancaman resiko Ekonomi jangka pandek.



World Economic Forum (WEF) merilis laporan tentang ancaman resiko ekonomi dalam jangka pendek, menengan dan panjang. Saya akan membahas resiko jangka pendek yang berpotensi mengancam APBN kita. Jangkan pendek itu berkisar 3 hingga 5 tahun ke depan. Resiko berkaitan dengan gelembung aset (asset bubbles), instabilitas harga, commodity shock, debt crisis, dan risiko geopolitik. Saya perlu membahas ini karena dalam jangka pendek kita akan menghadapi gonjang ganjing politik menuju Pemilu 2024. Saya berharap pemerintah bisa focus kepada antisipasi resiko tersebut. 


Setiap resiko atas ancaman yang timbul tidak datang begitu saja. Ia datang karena sikap kita sendiri dalam menyelesaikan persoalan masa kini. Terjadinya resiko berupa gelembung aset (asset bubbles), instabilitas harga, commodity shock, debt crisis, dan risiko geopolitik, itu merupakan konsekuensi dari kebijakan yang diambil untuk menghadapi pandemi. Itu bukan kata saya. Tetapi itu diakui oleh SMI.  Artinya setiap kebijakan kalau ada manfaat pasti ada konsekuensi negatifnya. Teori ekonomi memang begitu. 


Mengapa terjadi bubble asset ? Istilah bubble asset itu baru ada kelau daya beli pasar tidak mendukung. Artinya selagi pasar mendukung, harga berapapun tidak dianggap bubble. Mengapa tidak mendukung? Karena umumnya pembelian aset berasal dari utang. Contoh sebagian besar pembelian rumah dan kendaraan dari hutang. Apa yang terjadi bila sumber berutang sudah sulit. Ya pasar menyempit.  Harga jadi bubble. Nah itu dampak dari keijakan kredit longgar dalam rangka stimulus maupun pertumbuhan ekonomi sektor real.


Mengapa sampai kredit ketat ? karena perbankan meliat potensi resiko dari adanya pandemi. Pasar menyusut. Industri semakin tidak efisien. Penyebabnya ?  Harga supply chain terkerek naik sebagai konsekuesi pengurangan produksi di China. Karena COVID-19, jam kerja berkurang. China lebih utamakan memasok kebutuhan industri dalam negerinya. Akibatnya volume produksi turun, harga produksi melambung naik. Itu juga terjadi pada harga komoditas pangan yang sudah merangkak naik akibat produksi turun. 


Situasi ini akan menimbulkan ketidak stabilan harga dipasar. Resiko berhutang semakin besar.  Korporat sudah sulit meleverage assetnya untuk melakukan ekpansi. Cash flow terancam. Crisis credit  di depan mata. Jadi jangan kaget bila dalam jangka pendek kita akan mendengar BUMN mengalami default surat utang. Beberapa korporat papan atas tersangkut kredit macet. Beberapa bank terpaksa memperbesar dana cadangan resikonya, yang berdampak jatuhnya CAR dan pasti semakin sulit penyaluran kredit. 


Apabila sektor real kena krisis maka makro akan terancam pasti. Maklum pendapatan APBN 85% berasal dari pajak korporat. Gimana mau tambah pendapatan kalau yang bayar pajak sakit?. Padahal kita perlu dana PEN untuk bangkit. Sementara defisit fiskal semakin melebar. Januari 2021, BI sudah bersikap bahwa BI tidak akan terlibat dalam burden sharing. Karena disamping secara UU tidak dibenarkan, juga potensi pelebaran defisit fiskal semakin besar. Terlalu beresiko bagi BI terlibat terlalu jauh membiayai defisit fiskal.  Dampaknya  kini mulai keliatan. Pencairan dana transfer daerah melambat.


Di tengah situasi ketidak pastian ekonomi Global dan dalam negeri, kita masih harus menghadapi potensi konflik masalah geopolitik. Prospek pertumbuhan ekonomi global juga masih dihantui dengan berbagai risiko ketidakpastian. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan kebijakan ekonomi dan moneter Amerika Serikat, perang dagang AS–Tiongkok, dampak Brexit dan dinamika peta geopolitik global serta potensi krisis laut china selatan. Diantara isu yang hangat yaitu berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang Minerba dan perdagangan dengan Eropa. Ini tidak mudah mengatasinya di tengah ancaman makro ekonomi. 

Lantas bagaimana solusinya ? Pertama, pastikan defisit fiskal teratasi. Entah darimana duitnya. Kalau BI tidak mau ikut terlibat dalam burden sharing, ya pemerintah keluarkan QE. Ini penting untuk menciptakan kepastian cash flow. Kedua, percepat vaksinasi dan segera mungkin keluarkan kebijakan politik terhadap pandemi, back to normal bagi dunia usaha. Ketiga, pangkas sampai 30% dana belanja rutin dan alihkan ke fiskal agar lebih besar digunakan untuk ekpansi ke  barang modal dan infrastruktur. Keempat, segera restruktur permodalan BUMN yang terancam default. Itu lebih baik daripada sudah default baru diperbaiki. Kelima.  Kabinet focus ke ekonomi. Udahan mikirin politik menuju 2024.  Kalau ekonomi tumbang, politik hanya omong kosong.

No comments: