Wednesday, September 29, 2021

Krisis energi Dunia.

 






Semua negara di seluruh dunia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon. Mengurangi ketergantungan mereka pada batu bara sebagai sumber energi dan mengadopsi sumber yang lebih hijau seperti turbin angin dan panel surya. Gas alam, sebagai bahan bakar fosil yang lebih bersih, berperan sebagai jembatan dalam transisi ini. Misal, China  berkomitmen tahun 2060 sudah zero karbon. Uni Eropa menargetkan zero karbon pada tahun 2050 dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 55% pada tahun 2030.


Namun apa yang terjadi kemudian? Krisis energy!, terutama di China dan Eropa yang rakus energi. Sejak bulan juni, China melakukan penghematan listrik.  Pabrik-pabrik di beberapa provinsi termasuk Guangdong, pusat industri, terpaksa mengurangi produksi dan bahkan menghentikan sementara operasinya. Situasi semakin memburuk, penjatahan mempengaruhi rumah tangga di provinsi-provinsi tertentu. Pembatasan penggunaan AC dan lift telah memperburuk pemadaman di banyak kota. Eropa juga sama, bahkan bukan lagi krisis energi rumah tangga dan industri tapi juga  krisis bahan bakar kendaraan.


Mengapa secepat itu terjadi krisis? Padahal rencana matang untuk mengganti energi fusil ke energi ramah likungan tidak main main.  Itu dilaksanakan dengan ongkos mahal dan kebijakan tarif yang tinggi. Berproses sudah lebih 10 tahun sejak tahun 2005. Lantas apa penyebabnya.?


Pertama, Selama pandemi, trader berusaha menimbun persediaan gas alam dan batu bara. Lambat laun harga terkerek naik. Khususnya Gas, ulah trader Rusia yang berusaha mendonkrak harga lebih tinggi. Disaat pandemi sudah mulai berkurang, pabrik di seluruh dunia berusaha bekerja full capacity, kebutuhan energi meningkat. Tetapi harga gas dan batubara sudah terlanjur naik 5 kali lipat. Ya, stok gas dan batubara ada. Namun membeli tidak semudah membalik telapak tangan. Bisnis pembangkit listrik tidak mungkin terus beroperasi dengan tarif normal. Perubahan tarif membutuhkan regulasi, Pemerintah gamang mengubah tarif. 


Kedua, Berkurangnya output energi air ( hydro power ) karena musim panas ekstrim dan banjir besar. Terpaksa sebagian pembangkit listrik shutdown, seperti di wilayah selatan Cina. Pasokan listrik juga dipengaruhi oleh output turbin angin yang lebih rendah dalam beberapa bulan terakhir. Sementara konsumsi daya meningkat selama musim panas. Situasi dapat memburuk ketika musim dingin tiba, karena permintaan gas alam untuk memanaskan rumah dan air selama bulan-bulan musim dingin yang pahit di seluruh Eropa akan meningkat. Itu akibat dari perubahan iklim.


Ketiga, peningkatan kebutuhan listrik lebih cepat daripada tersedianya pembangkit listrik ramah lingkungan. Maklum  investasi  pembangkit listrik ramah lingkungan sangat mahal. Secara ekonomi jelas kalah jauh dibandingkan energi listrik dengan fuel fusil seperti batubara dan crude. Betambah rumit karena beberapa pembangkit listrik fusil ( Batubara dan Diesel ) sudah terlanjur shutdown sebagai kelanjutan program replace dengan energi gas. Sementara kebutuhan gas bukan hanya untuk energi tetapi juga untuk industri pupuk yang penting untuk ketahanan pangan dunia.


Keempat, lahirnya industri elektronik mendukung era digital terkait dengan IoT, Artificial intelligent, 5G, seperti smartphone, processor, batery, netwrok telekomunikasi,  yang membutuhkan energy listrik besar untuk mengolah bahan baku  mineral  utamanya. Yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan kecepatan pertumbuhannya. Itu sebabnya pabrik apple di China terpaksa mengurangi kapasitas produksinya dan ada yang berhenti produksinya.


Apa dampaknya bagi dunia ? Akankah krisis meluas ke seluruh dunia? Kenaikan harga bahan bakar tidak terbatas pada satu negara atau benua di dunia yang mengglobal. Kenaikan harga bahan bakar mempengaruhi semua negara dan semua konsumen.  Harga pompa bensin, solar, dan gas alam terkompresi juga telah meningkat. Pasokan bahan bakar kemungkinan akan tetap ketat di bulan-bulan musim dingin ketika permintaan listrik melonjak di Eropa dan negara-negara Asia Utara. 


Persaingan antar negara untuk mendapatkan pasokan yang tersedia dan taktik untuk mengalihkan kapal yang membawa gas alam cair dan batu bara dari tujuan yang telah ditentukan juga telah mendorong harga lebih tinggi. Negara-negara Eropa mencurigai Rusia memanipulasi harga gas alam dengan mencekik pasokan yang dikirim melalui pipa. Rusia adalah produsen utama gas alam dan pemasok penting ke Eropa.


Apa artinya bagi pemulihan ekonomi global?

Harga bahan bakar yang lebih tinggi hanyalah salah satu bagian dari masalah. Penutupan sementara pabrik di China akan memperlambat pemulihan supply chain global. Penutupan sementara juga berarti melewatkan tenggat waktu untuk pengiriman barang dagangan menjelang penjualan musim liburan November-Januari di banyak bagian dunia. 


Ketika penjatahan listrik diperintahkan, pabrik-pabrik di China berlomba untuk memenuhi permintaan global dan domestik untuk segala sesuatu mulai dari pakaian hingga ponsel dan gadget lainnya. Apple adalah salah satu produsen yang terkena dampak. Harga bahan bakar yang lebih tinggi dan kelangkaan akan menambah tekanan inflasi dalam ekonomi global dan mengganggu pemulihan permintaan di negara-negara berpenghasilan rendah


Apa dampaknya bagi Indonesia?

Kenaikan tajam harga batubara global menjadi keuntungan bagi perusahaan tambang batubara. Selain China, fundamental pasar batu bara di Korea Selatan dan Jepang juga semakin kuat. Pembatasan pembangkit listrik tenaga batu bara Jepang juga secara bertahap dilonggarkan, yang dapat mendukung penggunaan batu bara yang lebih besar. Hal ini jelas menjadi katalis positif untuk harga batu bara. 


Gangguan rel di Kolombia dan Rusia dan pemeliharaan rel mendatang di Afrika Selatan telah memperketat prospek fundamental batu bara berkalori tinggi, sementara pemuatan di Newcastle tetap kurang dari kecepatan tahun lalu pada tahap yang sama. Naiknya harga LNG terkait minyak di Asia timur laut mungkin juga mendukung permintaan batu bara lintas laut, karena bahan bakar ini akan semakin kompetitif untuk pembangkit listrik seiring berjalannya tahun. Booming kembali dah bisnis batubara. 


Lebih dari 61 % listrik di Indonesia dihasilkan dari pembakaran batu bara, sedangkan bagian dari gas alam 28,6%. Dengan demikian, kenaikan harga gas alam memiliki dampak serius atas biaya pembangkit listrik di Indonesia. Kenaikan harga  batubara dan gas, tidak akan berpengaruh dalam waktu dekat. Karena PLN melakukan kontrak jangka panjang dengan penambang lokal dan adanya ketentuan DMO ( Domestic Market Obligatio). Umunya PLN untuk pasokan tenaga gas juga bersifat longterm. Pasar spot sangat kecil sekali. 


Jadi praktis kenaikan harga gas dan batubara, tidak akan membuat Indonesia krisis energi. Apalagi industri yang rakus listrik tidak begitu banyak. Sebenarnya kalau pemerintah smart ( lewat pajak ekspor batubara dan meningkatkan DMO), krisi energi global ini bisa dimanfaatkan untuk kampanye relokasi industri dari negara maju seperti Jepang, Korea, China ke Indonesia. Indonesia hanya stress oleh kenaikan harga produk minyak bumi. Ini masalah serius karena kita sudah jadi negara net importir BBM. Tapi kalau produktifitas meningkat, harga BBM berapapun rakyat bisa beli. Masalahnya kalau industri tidak tumbuh, pengangguran bertambah, orang banyak yang bokek, kenaikan harga BBM bisa jadi masalah politik.


***


Paradox kemajuan high tech.


Sejak 10 tahun lalu, negara maju seperti Eropa, AS, China, Jepang, Korea, sedang berusaha mengurangi emisi karbon dengan mengganti pembangkit listrik dari fuel batubara ke gas. Namun Indonesia walau sudah ada kebijakan pembangunan energi alternatif namun tidak melarang berdirinya PLTU batubara. Termasuk mengizinkan swasta membangun sendiri pembangkit listrik lewat skema IPP untuk kebutuhannya. Tentu ini jadi peluang bagi pengusaha di China, Jepang, dan Korea untuk bangun industri dengan bahan bakar murah, batubara


Era SBY ijin tambang Nikel dan smelter di keluarkan di Sulawesi dan Maluku. Investor China dan Jepang bangun smelter di Sulawesi itu bukan karena pertimbangan adanya SDA berupa nikel. Tetapi karena wilayah Sulawesi  dekat dengan Australia. Mengapa ? Smelter itu membutuhkan listrik besar. Itu harus disediakan sendiri oleh smelter. Tidak bisa andalkan PLN. Bahan bakar berupa batubara didatangkan dari Austalia. Kemudian OR 2% banyak dari Australia daripada di Sulawesi. Begitu juga, China berniat membangun pabrik baterai dari lithium. Itu bahan mineralnya didatangkan dari Australia. Bukan dari Indonesia. Namun mereka bangun pabrik di Indonesia. Mengapa? karena Indonesia membolehkan Independent Power plant ( IPP) dengan fuel dari batubara. Korea juga sama. Bangun pabrik baterai di Indoesia dengan alasan yang sama, yaitu faktor listrik dan logistik.


Sejak bebepa tahun lalu, pertumbuhan industri elektronika yang rakus listrik sangat cepat. Misal Pabrik apple , 1 line itu membutukan listrik 1000 MW. Di China, ada 12 pabrik Apple. Itu sama dengan 1/4 kapasitas listrik kita secara nasional. Mengapa begitu rakus? karena mengubah logam tanah jarang jadi metal itu memerlukan energi besar untuk menghasilkan panas tinggi seperti energi fusi. Belum lagi pabrik processor  yang sangat rakus listrik untuk mengolah berbagai logam menjadi metal yang tahan panas tinggi.  


Dari perkembangan Industri elektronika untuk mendukung bisnis IT, diperlukan data center, yang juga rakus listrik untuk menggerakan server berskala terrabit. Untuk ukuran data center menengah saja, sedikitnya membutuhhkan listrik 100 Mega Wat. Bayangin berapa banyak data center di dunia ini. Bahkan satu penambang Bitcoint dengan dereten server membutuhkan  listrik yang setara dengan listrik satu kota. Jadi mimpi dunia mau masuk ke cyber community dan hidup dengan artificial intellgent, Internet of things, tidak semudah itu terjelma. 


Dan sekarang dunia menghadapi krisis energi. Karena energi alternatif tidak cukup memenuhi kerakusan manusia untuk masuk ke abad digital.  Mobil listrik memang solusi pengganti BBM, tetapi menciptakan baterai itu memerlukan energi listrik raksasa. Lebih besar dari kebutuhan listrik satu kota. Jadi, yang kita anggap mudah, murah, hemat, sesungguhnya sangat tidak mudah, bahkan mahal. Apalagi kalau kekurangan energi itu kita pasok dari energi fosil, ya paradox: kemajuan dicapai, yang pada waktu bersamaan bunuh diri akibat pencemaran udara.

No comments: