Friday, September 3, 2021

Struktur bisnis jalan Tol yang salah.

 




Tahun 1977  Indonesia membangun jalan Tol Jagorawi. China belajar tahu tentang Tol dari Indonesia. Mereka teriinspirasi dengan idea pak Harto bangun jalan Tol itu. Saat itu China masih terobsesi membangun jalan seperti AS yang tidak ada jalan tol tapi jalan umum yang dibangun dengan sangat panjang dan berkualitas. Tahun 1984 atau tiga tahun setelah Jalan Tol Jagorawi selesai. China mulai membangun jalan Tol dari Shenyang ke Dalian. Jalan Tol itu atas inisiatif dari warga kota Shenyang. Dibiayai oleh gerakan koperasi. Karena kebutuhan akan jalur logistik yang cepat untuk industri. 


Kemudian, tahun yang sama, 1984 negara terlibat langsung membangun jalan tol secara terpadu. Di awali jalan tol Shanghai -Jiading. Benar terbukti jalan tol itu membuka pusat ekonomi baru di jalur lintasan Toll. Aha, ini dia jalan emas China mendongkrak industri dan ekonomi. Pikir pejabat China. Sebagai jalan alternatif bukan jalan utama. Alternatif hanya ditujukan untuk kaum pembisnis yang butuh akses ke pusat ekonomi baru. Sejak  itu blue print pusat pembangunan ekonomi baru dirancang secara nasional.  Potensi wilaya dipetakan secara detail. Pusat pertumbuhan baru  dibangun berdasarkan pontesi wilayah. Seiring dengan itu jalan tol dibangun oleh swasta dan BUMN china.


Sampai sekarang tahun 2019 panjang jalan Tol yang sudah dibangun CHina mencapai 280.000 kilometer. Artinya , rata rata setiap tahun jalan tol dibangun 8750 Km. Kalau jalan tol rugi tentu tidak akan ada investor yang tertarik. Apalagi China menawarkan skema hanya dua. “Anda bangun, tarif pemerintah tentukan. Kalau rugi negara bailout. Setelah masa konsesi habis keluar.  Atau anda bangun, tarif silahkan tentukan sendiri. Kalau rugi tanggung sendiri. Tidak ada perpanjangan konsesi karena rugi.  Habis waktu konsesi jalan tol berubah jadi jalan negara. “


Mengapa ? Jalan Tol dibangun sebagai strategi membangun pusat pertumbuhan ekonomi baru. Jadi bukan solusi mengatasi macet. Urusan macet itu urusan negara untuk memperbanyak jalan negara dan memodernisasi angkutan publik. Jalan tol Shenzhen- Guangzhou dibangun tahun 80an. Selesai, Pusat ekonomi baru tercipta, yaitu Dongguan. Setelah itu kota Industri satelit shenzhen bermunculan seperti Changping, dan lain lain. Kini kota Dongguan, sama hebatnya dengan Singapore, jauh lebih hebat dari Jakarta, b bahkan Malaysia.


Bagaimana China membuat pusat pertumbuhan ekonomi baru? Ya sederhana saja. Setelah mereka petakan potensi wilayah,mereka tawarkan insentif. Misal, tahun 1988 China melarang industri dan pergudang ada di Shenzhen. Harus pindah ke kota baru. China memberikan insentif pajak bagi relokasi industri dari wilayah padat ke wilayah baru. Itu termasuk subsidi upah buruh. China juga menyediakan insentif bagi usaha jasa pendukung kawasan ekonomi baru itu seperti Hotel, restoran dan apartement. Apa insentif itu? Tanah gratis. Dan terakhir pasti berdiri pusat riset dan pelatihan sesuai dengan potensi ekonomi baru itu. Dari sana, investor bisa berhitung prospek traffic jalan tol yang akan dibangun. Terbukti semua untung.


Persoalan di Indonesia, mindset bangun jalan tol bukan developer tapi kontraktor. Orientasinya proyek, bukan value. Makanya jalan tol   yang dibangun diluar jawa, geliat pusat pertumbuhan ekonomi baru tidak terjadi. Mengapa ?karena pilih rute cari tanah yang murah dan bangunnya gampang. Bukan rute yang punya potensi ekonomi besar  agar pusat ekonomi baru terbangun. Mindset kita, jalan tol itu jalan utama. Terbukti kalau ada jalan tol, jalan negara seadanya. Akibatnya Negatif cash flow berlangsung diatas 5 tahun.  Yang jadi masalah adalah ketika dijual ruas tol yang rugi itu, investor tidak meliat ada prospek peningkatan traffic dimasa depan. Disamping itu harga jual ruas tol sangat mahal, karena biaya kontruksi diatas USD 10 juta perkm.


Nah seharusnya, INA ( LPI) tidak masuk ke ruas tol yang rugi. Tetapi  sebagai fund provider, INA terlibat dalam pembiayaan membangun pusat ekonomi baru yang dilintasan jalan tol itu. Arahkan pemerintah agar membuat kebijakan insentif secara luas. Kalau pusat pertumbuhan ekonomi baru terbangun, traffic tol akan meningkat. Tentu nilai tol itu akan meningkat berlipat. Saat itulah BUMN bisa jual dengan untung. Jadi janganlah INA ( LPI) memindahkan masalah BUMN rugi ke portfolio nya, tetapi bagian dari solusi menyelesaikan masalah secara menyeluruh untuk ekonomi kini dan masa depan yang lebih baik.


No comments: