Ada berita viral soal perbedaan laba Petronas dan Pertamina. Petroliam Nasional Berhad (Petronas), membukukan laba bersih sebesar RM48,6 miliar atau sekitar Rp159,7 triliun (kurs Rp3.286,4 per ringgit Malaysia) pada tahun 2021. Tahun sebelumnya mencatatkan kerugian sebesar RM21,03 miliar atau setara Rp69,1 triliun. Bandingkan dengan Pertamina mencetak laba bersih senilai US$2,05 milliar atau Rp29,3 triliun pada 2021. Capaian laba bersih tersebut meningkat 95% dari tahun sebelumnya yang sebesar US$1,05 miliar atau sekitar Rp15 triliun. Kalau anda tahu sedikit financial analis jelas paham. Dari segi kinerja Pertamina jelas lebih baik walau dari size laba jauh lebih rendah dari Petronas. Tapi agar kita objektif melihat persoalan, akan lebih baik kalau kita lihat persoalannya secara jernih.
Pertama. Petronas beroperasi sebagai entity business murni dan independent. Semua SDA Migas Malaysia dimiliki Petronas. Investasi pemerintah di hulu di dalam dan luar negeri dikelola oleh Petronas. Visinya memang menjadi trader oil berkelas dunia. Itu sangat memungkinkan. Sebagai negara konsumen dan juga produsen minyak, sangat diuntungkan dibandingkan negara lain seperti Thailand dan Singapore yang tidak sebagai produsen.
Kedua, Sementara Pertamina, Semua SDA migas dimiliki oleh Negara lewat SKK Migas. Pertamina sama dengan NOC lainnya, hanya operator saja. Sebagai NOC, Pertamina juga dibebani penugasan sebagi pusat logistik dan distribusi BBM dan bekerja seusai agenda negara untuk mengamankan pasokan BBM dalam negeri. Kalau SKK Migas diserahkan kepada Pertamina, jelas Petronas itu liliput dari segi laba atau asset dibandingkan dengan Pertamina. Jadi tidak apple to apple membandingkan Pertamina dan Petronas dari segi laba uang semata.
Ketiga, Kapasitas kilang Petronas jelas lebih besar dari Pertamina. Indonesia terakhir membangun kilang 25 tahun lalu era Soeharto. Kemudian di era Jokowi barulah rencana pembangunan kilang dilaksanakan. Namun rencana itu molor terus. Di periode kedua ini baru dapat direalisasikan. Namun bagaimanapun investasi hilir, tetap Malaysia lebih tinggi. Mengapa ? karena Skema bisnis yang ditawarkan Petronas tidak ada penugasan pemerintah. Sementara Pertamina ada penugasan. Jadi sulit mencapai IRR komersial.
Saran saya kepada Pemerintah: Revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas). Ini penting sekali. Karena peran SKK Migas sebagai pemilik SDA Migas namun tidak operasional harus dihentikan. Karena SKK MIgas dasarnya hanya Perpres Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Jadi sangat renta dipermainkan oleh pengusaha rente. Lemah unsur pengawasan konstitusi dari DPR. Sebaknya UU No. 22 tahun 2001 itu direvisi dengan menempatkan Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) Dominated model. Artinya SKK Migas di bawah Pertamina. Ini sumber daya raksasa. Engga percaya? Hitung aja bila semua Blok migas yang dikelola NOC seperti Chevron, CNOC, share SKK Migas diserahkan kepada Pertamina.
Apalagi sejak tahun 2020 kita sudah punya ndonesia Investment Authority (INA) yaitu Sovereign Wealth Fund (SWF). Lembaga ini bisa mengelola sumber daya migas untuk memberikan peluang besar bagi Pertamina untuk dapatkan dana investasi pembangunan downstream. Jadi dominated Pertamina sebagai entity business tidak mengurangi penugasannya sebagai logistik dan distribusi BBM dalam negeri. Dengan revisi UU ini maka Asset Pertamina akan terbesar nomor 4 dunia dan laba juga hanya sebanding dengan Saudi Aramco. Petronas hanya liliput.
No comments:
Post a Comment