Kini China lead dalam hal industri kendaraan listrik (EV) dan konsumen EV. Hanya dalam dua tahun terakhir, jumlah EV yang dijual setiap tahun di negara itu tumbuh dari 1,3 juta menjadi 6,8 juta. Kini China merupakan pasar terbesar dunia untuk EV. Merek EV China yang masuk papan atas adalah BYD, SAIC-GM-Wuling, Geely, Nio, Xpeng, dan LiAuto. Sebagai perbandingan, AS hanya menjual sekitar 800.000 EV pada tahun 2022. Sekarang pertanyaan yang harus kita jawab sebagai bahan studi adalah bagaimana China bisa unggul dalam hal EV ? Mari kita simak tulisan sederhana ini dari sudut pandang praktis.
Pertama. China sudah memiliki beberapa keunggulan struktural. China memiliki kemampuan manufaktur dan supply chain murah yang menopang pabrik kendaraan BBM dan Gas. Dengan kebijakan pemerintah akan bisa dengan mudah dialihkan untuk mendukung industri EV. Meskipun China tidak banyak memiliki sumber daya alam untuk bahan baterai, China sudah memiliki industri kimia yang sangat penting untuk baterai, seperti kobalt, nikel sulfat, litium hidroksida, dan grafit. Tekhnologi kimia ini sudah China kuasai sebelumnya dan China lead.
Kedua. China memberikan izin usaha industri EV berdasarkan ekosistem. Jadi insentif berupa subsidi dan dukungan pasar dalam negeri bukan hanya kepada pengusaha dalam negeri tetapi juga kepada investor asing. Nah kebijakan ini mendorong terjadinya arus investasi asing EV ke China. Umumnya ingin memanfaatkan pasar domestik China. Tapi karena supply chain sebagian besar berasal dari dalam negeri CHina, lambat laut, industri EV lokal tumbuh juga. Seperti awalnya Tesla dapat karpet merah kala investasi di China. Kini produk Tesla seperti jadul di China. Kalah bersaing dengan merek lokal.
Ketiga. China memberikan subsidi dan insentif kepada produsen EV dalam bentuk kemudahan mendapatkan lahan dan perizinan. Tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah pemerintah memberikan pasar lewat belanja APBN dan APBD untuk pergantian kendaraan publik dari gas ke EV. Produsen EV dapat pengurangan pajak atas biaya riset yang mereka keluarkan. Sementara konsumen mendapatkan pembabasan pajak PPN 10%. Di kota besar seperti Beijing, nomor kendaraan dilelang. Harganya sudah sangat mahal. Tapi khusus EV, bisa langsung dapat nomor kendaraan. Bebas bayar ongkos toll. Transfer Cash tunai atas pemakaian pada kilometer tertentu dan pada setiap jenis EV. Misal jarak tempuh 150 Km dapat cash transfer ( refund ) sebesar USD 5.
Per 1 Januari, pemerintah China tidak lagi memberikan subsidi kepada pembeli kendaraan listrik (EV), namun digantikan dengan mekanisme pasar credit carbon. Sistem kredit mobil hijau yang menetapkan persyaratan kepatuhan tahunan untuk pembuat mobil. Perusahaan yang melebihi target proporsi EV dapat menjual kelebihan kredit, sedangkan yang gagal harus membeli kredit atau membayar denda. Kebijakan ini secara tidak langsung melarang penjualan kendaraan berbahan bakar.
Keempat. China memberikan insentif kepada swasta atau BUMD membangun stasiun pengisian ulang baterai di seluruh kota. Sehingga memberikan rasa aman dan nyaman bagi konsumen untuk isi ulang dimana saja. Ini sangat penting mendorong konsumen tidak ragu untuk membeli EV. China juga memperdalam riset baterai lithium besi fosfat, yang dikenal sebagai teknologi LFP. Awalnya memang baterai LFP memiliki kepadatan energi yang jauh lebih rendah dan kinerjanya buruk pada suhu rendah. Perusahaan baterai China, Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL), menghabiskan satu dekade untuk riset baterai LFP dan berhasil mempersempit kesenjangan kepadatan energi.
Kini terbukti Baterai LFP lebih aman dan lebih murah dibandingkan baterai lithium nikel mangan kobalt (NMC) yang populer di Barat. Saat ini, industri EV dunia kembali mengakui keunggulan baterai LFP. Sepertiga produksi EV menggunakan baterai LFP. Nah karena china unggul dalam tekhnologi baterai LFP, yang murah dan aman, telah membawa Industri EV China ke garis depan dalam kompetisi global.
Tapi bagaimanapun sukses China tidak lepas nama Wan Gang, seorang insinyur otomotif yang telah bekerja untuk Audi di Jerman selama satu dekade. Wan adalah penggemar berat EV dan ketua tim penguji model EV pertama Tesla, Roadster, pada tahun 2008, tahun peluncurannya. Ia diangkat menjadi menteri sains dan teknologi China. Kehebatan China dalam industri EV, tidak bisa lepas dari kehebatan visi Wan yang membuat keputusan nasional untuk menggunakan kendaraan listrik secara menyeluruh. Sejak saat itu, pengembangan EV secara konsisten diprioritaskan dalam perencanaan ekonomi nasional China.
Bagimana Indonesia ?
Pemerintah Indonesia lebih focus kepada subdisi produsen berdasarkan kuota. Skemanya, pemerintah akan memberikan bantuan subsidi untuk pembelian motor listrik roda dua sebesar Rp 7 juta per unit. Sementara untuk bantuan subsidi roda empat atau mobil listrik , ada 2 merek yang sudah dipastikan mendapatkan subsidi ini. Yaitu Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air Ev. Untuk Hyundai Ioniq 5, bocoran nilai subsidi yang diberikan antara Rp 70 juta hingga Rp 80 jutaan. Sedang Wuling Air Ev antara Rp 25 juta hingga Rp 35 juta.
Sementara hal yang berkaitan dengan ekosistem EV tidak ada. Seperti penyediaan pasar domestik lewat APBN/D, insentif riset baterai yang murah dan aman, pengadaan infrastruktur pengisian ulang disetiap sudut kota, dan political will untuk mengurangi hegemoni kendaraan bahan bakar. Jadi bisa disimpulkan subsidi EV itu tidak berdampak apapun untuk pengembangan Industri EV dalam negeri. Itu hanya cara lain menghamburkan APBN berdasarkan kuota. Soal hasil ? EGP aja. Dan lagi apa berani lawan ASTRA atau Jepang yang produksi kendaraan BBM. Prioritas untuk memperluas armada kendaraan listrik tidak bisa bergantung pada subsidi tapi ekosistem.
Masalah utama di Indonesia, tidak ada menteri yang visioner bidang EV. Mereka low class dalam industri EV. Hanya jadi pengekor tapi hanya sebatas kulit saja, dan itupun caranya rente, mainannya subsidi doang.