Pada tahun lalu kita menikmati durian runtuh akibat Harga komoditas terbang sebagai imbas dari perang Rusia-Ukraina. Pada waktu itu pemerintah sepertinya euforia. Kita akan jadi negara maju pada tahun 2045. Kita sangat yakin akan masa depan karena faktor ekternal itu. Namun kemudian, harga komoditas andalan Indonesia seperti batu bara, minyark sawit, hingga nikel perlahan-lahan melandai tahun ini. Sementara windfall yang membuat surplus neraca perdagangan tahun tahun lalu, malah DHE lebih banyak parkir di luar negeri. Pelemahan harga komoditas terus terjadi.
Merujuk data Refinitiv, harga batu bara pada penutupan perdagangan Rabu (25/10/2023) ditutup di posisi US$ 133,25 per ton, anjlok 64,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) juga jatuh. Harga CPO ditutup di posisi MYR 3,679 per ton, 10,7% lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Bila dirata-rata, harga batu bara pada Oktober 2023 tercatat US$ 144,75 per ton, jauh lebih rendah dibandingkan Oktober 2022 di angka US$ 389,78 per ton. Harga CPO mencapai MYR 3.690,67 per ton pada Oktober 2023, lebih rendah dibandingkan Oktober tahun lalu di angka MYR 3.892,1 per ton. Harga komoditas andalan Indonesia lainnya yakni nikel juga terus turun. Harga nikel kini berada di kisaran US$ 18.000 per ton, jauh dibandingkan pada level tertingginya pada Maret 2022 yang tercatat US$ 48.241 per ton.
Teori ekonomi. N = Px/Pm. N, merupakan TOT ( term of trade ), indeks harga ekspor (Px) berbanding terbalik dengan indeks harga impor (Pm). Dengan rumus itu artinya kenaikan N, karena perubahan harga ekspor yang lebih besar relatif terhadap harga impor. Indonesia, ekspor kita didominasi SDA, memiliki volatilitas TOT yang 3 kali lebih volatil dibandingkan negara-negara yang mengekspor barang manufaktur. Selain besaran pergerakan TOT, volatilitas ini juga mempengaruhi nilai tukar riil suatu negara. Makanya secara belahan mulai nilai tukar rupiah melemah. Apalagi the Fed bertekad akan tetap mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi. Ini membuat imbal hasil SBN semakin tipis terhadap T-bill AS. Capital outflow terjadi sepanjang bulan ini dan diperkirakan akan terus berlanjut sampai 6 bulan kedepan.
Upaya BI menahan pelemahan rupiah lewat operasi pasar, seperti Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI), sebelumnya juga udah keluarkan SBRi. Tetap tetap saja tidak mampu menahan pelemahan rupiah. Akhirnya BI terpaksa menaikan suku bunga acuan. Namun tidak juga efektif saat the Fed naikan juga suku bunga. Apalagi serangan AS terhadap Iran memberikan sinyal harga minyak akan naik, tentu akan menguras devisa untuk impor BBM. Belum lagi ancaman perubahan iklim dan bencana elNino telah membuat produksi pangan turun. Harga pangan dunia naik dan konyolnya kita masih impor pangan. Lengkap sudah sentimen negatif terhadap rupiah. Support apapun tidak banyak membantu, apalagi MK tidak lagi dipercaya sebagai penganwal konstitusi, tidak ada jaminan stabilitas politik. Kapanpun bisa chaos.
Saya sudah menulis meragukan jargon kita akan jadi negra maju tahun 2045. Tapi banyak orang tuduh saya membenci Jokowi. Bulan ini, Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengingatkan potensi Indonesia gagal menjadi negara maju pada 2045. Potensi itu diungkapkan dalam White Paper bertajuk Dari LPEM bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029. Dalam White Paper tersebut terungkap bahwa Indonesia belum memenuhi syarat cukup dan syarat perlu untuk menuju negara berpendapatan tinggi layaknya China, Malaysia, Korea Selatan, Thailand, dan Brazil, ketika mereka pertama kali masuk dalam kelompok negara berpendapatan tinggi.
Artinya kita hanya maju karena omongan doang. Data sengaja disembunyikan untuk memperkuat persepsi bahwa rezim ini sukses. Padahal kita tidak bergerak selangkahpun, bahwa kalau mengacu sumbangan Industri terhadap PDB malah kita mundur. Jadi sebenarnya kita sedang tidak baik baik saja. Namun hebatnya kita tidak pernah mengakui bahwa semua itu karena kepemimpinan yang tidak visioner melakukan tranformasi ekonomi. Kita masih saja sibuk menyalahkan faktor ekternal. Memang kita pantas disebut bangsa yang gemar mencari kambing hitam daripada jenial menemukan solusi yang efektif dan melakukannya secara komprehensif dengan berani…
No comments:
Post a Comment