Wednesday, February 14, 2024

Akhir cerita...


 

Jam 7 Felix minta bertemu di ruang Sauna dengan saya di Spa Ritz  Singapore jam 8 malam. Saya masuk ruang Sauna sudah ada dia dan koleganya yang juga banker first class. Mereka berdua tersenyum. “Anda tidak berubah sejak terakhir ketemu di Geneva. Apa kabar B? 


“ Kabar baik. “ Kata saya ambil tempat duduk disebelah Felix.


“ B, pada tahun 1986, Presiden AS Ronald Reagan bergurau bahwa sembilan kata yang paling menakutkan dalam bahasa Inggris adalah, “Saya dari Pemerintah, dan saya di sini untuk membantu.” Di Inggris, Margaret Thatcher percaya kekuasaan negara harus dilucuti secara UU,  sehingga memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk melakukan perubahan dan menyediakan barang dan jasa. Kita menikmati euforia pasar saat itu. " Kata Felix. Dia menatap kosong dan akhirnya wajahnya berubah kesal. 


Dia berdiri menghadap kami berdua. " Waktu telah berubah. Pemerintah tidak akan lagi menyerahkan inovasi dan ekonomi ke pasar. Itu hanya menguntungkan China. Tahun 2023 akan menjadi titik balik bagi doktrin baru yang saya sebut "pemerintahan katalis”. Tidak ada lagi free market. Yang ada adalah market regulated. Pemerintah akan kembali lead dalam menghela perubahan disegala sektor. Nah kita, harus kuasai Presiden terpilih. Agar agenda tahun 2023 bisa terlaksana. Pemerintah yang bekerja tapi kita yang mengarahkan.  


Saat sekarang focus kepada mempertahankan energy fosil dan pada waktu bersamaan mendorong pengolahan dan Industri downstream di negara penghasil tambang. Biarkan mereka menikmati nilai tambah dari smelting dan peluang peningkatan lapangan kerja. Ya, sebagai kompensasi kerusakan lingkungan dan hancurnya ekosistem kehidupan penduduk setempat. Dan lagi toh value added ada pada tekhnologi dan modal. Dan mereka tidak akan pernah punya tekhnologi dan modal. Kita kuasai tekhnologi  dan modal. Pada akhirnya kita yang akan dapatkan nilai tambah berlipat. “ Kata Felix. Saya menyimak paparan dari pemain hedge fund kelas dunia.


***

'Banyak bentuk pemerintahan telah dicoba, dan akan dicoba di dunia yang penuh dosa dan kesengsaraan ini. Tidak ada seorang pun yang berpretensi bahwa demokrasi itu sempurna atau serba bijaksana. Memang benar telah dikatakan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling buruk, kecuali semua bentuk lain yang telah dicoba dari waktu ke waktu.…’ Itu kata Winston S Churchill, 11 November 1947. Sampai kini ada kesepakatan yang hampir universal bahwa sistem demokrasi tidak berfungsi dengan baik—khususnya, sistem ini tidak memberikan hasil yang diinginkan masyarakat. 


Dalam demokrasi bahwa Mayoritas menentukan pemenang. Itu juga bias. Pemenang satu hal dan yang menentukan lain hal. Benar, pemenang itu adalah suara mayoritas. Tetapi pada akhirnya yang menentukan kemenangan itu adalah minoritas yang menguasai sumber daya keuangan. Ingat kata Boy Thohir. “ Kami yang mewakili 1/3 ekonomi Indonesia memilih paslon 2. “ Kalau anda mengatakan bahwa dalam demokrasi suara rakyat adalah suara Tuhan. Maka itu artinya anda sedang berpikir utopia.  Demokrasi ini masalah dunia. Bukan ruang antara anda dan Tuhan. Tetapi ruang antara kami yang cerdas dan anda yang tolol. Siapa memakan siapa. Siapa losser dan siapa predator. 


Antara yang kalah dan menang berproses tidak di ruang hampa. Di dalamnya ada “permainan”, yang membuka peluang konsesus, transaksional bisik bisik-pun terjadi. PDIP kalah dalam Pilpres, tetapi mendapatkan kemenangan pada Pileg. Jokowi kehilangan akses politik parlementer kalau terbukti PSI gagal masuk parlemen. Walau sebesar apapun effort Jokowi ingin jadi king maker,  tidak lebih hanya menggolkan konsesus tersembunyi itu saja. Dia masuk perangkap permainan elite politik. Apalagi kalau suara Golkar  dalam Pileg peringkat 2, Value golkar sudah bubble price. Too expensive untuk diakuisisi oleh sekelas Jokowi.


Bagaimana dengan legitimasi terhadap Pemilu yang curang? Menganalisis semua jajak pendapat tentang persepsi penghitungan suara di AS antara tahun 2000 dan 2012, Sances dan Stewart (2015) menemukan “efek pemenang” yang konsisten dimana pendukung kandidat yang kalah (menang) kurang (lebih) percaya pada hasil pemilu. Daniller dan Mutz (2019) menemukan hasil serupa dengan menggunakan survei panel pada pemilu tahun 2008, 2012, dan 2016. Juga menggunakan survei panel; Sinclair dkk. (2018) dan Levy (2021) sama-sama menemukan “efek pemenang” yang signifikan pada pemilu 2016. Pemilu 2019 di Indonesia memakan korban mereka yang protes di depan gedung MK, tetapi tetap saja yang kalah mengakui dan Prabowo bersedia masuk Kabinet.


I think the decline of democracy is a mortal threat to the legitimacy and health of capitalism.” Kata Rebecca Henderson, Harvard Business School. Terkesan bias. Mengapa ? Demokrasi itu adalah Vehicle dari sistem kapitalisme. Pada kenyataannya semua ruang dan jasa publik harus bayar. Anda tidak ada uang, maka penduduk negara yang bukan WNI dan tidak ikut Pemilu lebih berhak dapatkan konsesi dan proteksi. Apa artinya? Demokrasi dibentuk untuk melanggengkan kekuasan global dari sistem kapitalisme itu. Semua negara harus membuat UU untuk meratifikasi ketentuan WTO yang berkaitan dengan perdagangan, investasi, financial, wisata. Harus meratifikasi sistem perbankannya sesuai dengan kuridor risk management dari Bank international for settlement.  


Siapapun presiden terpilih dan bagaimana proses pemilu itu terjadi, tidak penting lagi. Selagi  ada konsesus UU Cipta Kerja, UU Migas  tidak dibatalkan, silahkan terus berkuasa. Rezim yang terdiri dari partai dan presiden akan mudah dapatkan legitimasi dari modal. Legitimasi dari selain pemodal, tu sampah.Apa artinya? selagi sistem demokrasi diterapkan sesuai dengan kehendak kapitalisme, maka suara minoritas, bahkan mayoritas sekalipun yang kecewa tidak penting. Semua tahu, pemilu Singapore itu curang. Tahu juga kan pemilu di Turki juga curang.  Di AS juga sama saja. Eropa juga begitu. Lantas dimana demokrasi untuk transfarance, penegakan hukum dan kekuatan civil society? 


Jangan baper! Transfaransi itu tidak ditujukan kepada anda yang bokek. Transfaransi itu hanya ada pada mereka yang bermain di pasar modal dan pasar uang. Dan Civil society yang dimaksud bukan kalangan kampus dan terpelajar. Tetapi mereka yang menjadi members pemain bursa dan  yang menggerakan M2. Selebihnya sampah. Penegakan hukum itu bukan soal keadilan. Tetapi bagaimana UU yang meratifikasi WTO, BIS dan lainnya ditegakan. Lihat aja. Indonesia ngeyel soal Hilirisasi pro China, apakah China mampu melawan London Metal Echange yang menjatuhkan harga nikel sampai 50%. Itu artinya separuh sumber daya nikel kita lenyap olah kekuasaan bursa.


Negara demokrasi besar bukan karena SDA tetapi karena kemampuan mereka melakukan leverage sumber daya keuangan atau M2. Singapore negara liliput bagaikan dot dalam peta dibandingkan dengan wilayah Indonesia. Tetapi sebagian besar utang LN Indonesia berasal dari Singapore. Hampir semua sumber daya dari CPO, Batubara, Migas, bahkan nikel itu terhubung dengan Singapore. Nah Singapore itu terhubung dengan Financial center di Hong Kong, NY dan Boston. Paska Crisis Lehman, AS cepat melakukan transformasi dari negara fund provider menjadi loan provider. Setelah itu utang AS, Jepang, China dan Eropa meningkat pesat untuk membiayai APBN yang boros. Semakin besar debt to ratio semakin berkuasa mereka yang ada di Puncak piramida dari sistem kapitalisme global, yang jumlahnya hanya 12 orang.


Mungkin anda anggap saya terjebak dalam teori konspirasi. Tidak. itu pengalaman praktis saya dalam dunia hedge fund. Demokrasi yang tidak berjalan dengan kuridor pemodal adalah ancaman. “  which is why business leaders and institutional investors cannot afford to remain on the sidelines when such threats”  Ya lawan! Mengapa begitu perkasanya mereka? karena ini memang target dari end of history, seperti yang ditulis secara apik oleh Francis Fukuyama. Pengakuan diri akan superioritas terhadap mereka yang inferiorr karena kemiskinan dan kebodohan. Nah kalau eskalasi arus demokrasi mengabaikan ini, maka akan timbul paradox terhadap idealisme demokrasi, ya seperti nasip Venezuela dan Nikaragua dan lainnya. Bokek bareng.


***

Ada dua hal yang bisa cermati dari hasil Pemilu sekarang. 

Pertama. Bulan maret nanti pengumuman KPU akan keluar siapa yang resmi sebagai pemenang.  Soal ada yang tidak puas, itu tidak penting lagi.  Silahkan gugat ke MK. Namun pada bulan maret juga relaksasi perbankan COVID 19 dan restruktur kredit perbankan  dalam PEN juga berakhir. Nah ini berpotensi menimbulkan masalah bagi pasar. Kalau diperpanjang lagi oleh pemerintah seperti tahun 2022 dan 2023, pasti pasar akan bereaksi terutama kepada emiten yang punya utang besar di bank. Tsunami ekonomi akan berdampak sistemik.


Kedua. Agar pertumbuhan ekonomi bisa dipertahakan sesuai dengan fostur APBN 2024, maka mau tidak mau, BI harus turunkan suku bunga dan OJK buat aturan pelonggaran kredit. Ini akan berdampak inflasi. Wajar saja karena 2% dari PDB dikorbankan untuk bansos. Trade off nya rakyat harus bayar lewat kenaikan harga. Otherwise  fostur APBN tahun 2025 tidak punya ruang fiskal untuk nambah utang. Tanpa utang tidak bisa jalan ekonomi.


Masalah pada point pertama, satu satunya cara mengatasi dampak sistemik ketidak siapan bank menyelesaikan restruktur kredit adalah dengan menerbitkan surat utang dimana BI sendiri sebagai pembeli atau bahasa vulgarnya adalah cetak uang. Uang ini digunakan untuk relaksasi perbankan me-write off karedit macet. Tujuan investor dibalik kemenangan Pilpres tercapai. Toh semua kebagian. Rakyat kecl dapat bansos, PNS dan aparat yang membantu kemenangan Paslon 2 dapat cuan. Partai dapat dana mahar dari caleg dan paslon koalisi Pilpres. Semua happy kok.


Masalah pada point kedua, satu satunya cara adalah melakukan perubahan APBN atau atau APBN-P. Dengan memenggal dana Bansos. Sehingga bisa memberikan ruang fiskal untuk melakukan ekspansi fiskal. Otherwise, kenaikan inflasi akan sulit dikendalikan. Artinya uang harus didistribusikan ke sektor produksi yang punya trade off mendatangkan pajak bagi korporat dan orang kaya. 


Hanya dengan dua hal itu agar Prabowo dan Gibran  bisa melenggang ke istana dengan sambil bersiul dan joget gemoy. Masalahnya adalah dua hal itu perlu dukungan DPR. Maklum keduanya berkaitan dengan hak budget.  Nah kalau koalisi 03 dan 01 bersatu melakukan perlawanan terhadap kecurangan pemilu. maka dua hal itu akan stuck. Pembahasan APBN-P dan relaksasi kredit tidak bisa dilaksanakan. Chaos ekonomi lebih ditakutkan daripada chaos politik.


Pendapat saya pribadi. Mending damai sajalah. Anggap selesai ajalah. Kita kita harus amankan sumber daya  bisnis dan keuangan agar pesta bisa lanjut tanpa jeda. Rakyat udah beri mandat lewat pemilu. Toh kalau inflasi dan harga melambung kan yang korban rakyat kecil dan mereka udah biasa jadi kambing korban. 

 


No comments: