Saturday, February 10, 2024

Yaman dan geostrategis

 




“ Houthi di Yaman itu apa pah? tanya Oma kemarin waktu temanin saya ke mall. Saya sudah tebak. Bahwa pasti dia akan bertanya soal ini. Karena pembicaraan di mejelis ta’lim soal perang Houthi, Yaman dengan AS dan inggris di laut merah memang paling sering dibahas. “ Houthi itu adalah nama klan yang ada di utara Yaman. Mereka menganut sekte Islam Syiah Zaydi, yang pernah memerintah Yaman sampai tahun 1962. Tahun 1990an mereka mendirikan gerakan politik guna membendung masuknya gerakan Wahabi dan Salafi yang ingin mendomanisasi wilayah utara Yaman.


Tapi mungkin karena kemiskinan dan merasa tidak diperlakukan adil oleh penguasa Suni yang mayoritas, pada 2014, milisi ini melakukan kudeta terhadap pemerintahan transisi Yaman pimpinan Abed Rabbo Mansour Hadi, hingga menyebabkan perang saudara. Koalisi Arab Saudi ambil bagian dalam konflik ini dengan membantu Hadi. Sementara Houthi dibantu oleh Iran. Tetapi tahun lalu perang ini berakhir damai berkat peran China sebagai mediator perjanjian normalisasi Saudi-Iran.


Mngapa Houthi bantu Palestina ? tanya Oma.  Memang pertanyaan yang membingungkan. Houthi dalam keadaan miskin dan tidak punya sumber daya militer untuk perang lawan Israel. Apalagi jarak Yaman -israel itu 1000 mil. Kelompok milisi Houthi Yaman membajak sebuah kapal kargo, Galaxy Leader yang sedang berlayar di Laut merah, itu sebenarnya gerakan spontan sebagai bentuk solidaritas Houthi kepada perlawanan rakyat palestina terhadap Israel. Tetapi disikapi oleh AS dengan berlebihan. AS dan Inggris mengirim pesawat tempurnya menyerang Yaman. Ya Perang terbuka jadinya.


Mengapa AS dan Inggris sampai terlibat langsung? tanya Oma lagi. Pertanyaan ini bisa mengarah kepada stigma AS adalah israel. Tetapi sebenarnya ini masalah geostrategis AS dan Eropa yang terancam dengan hegemoni politik China di Yaman terutama timur tengah.  Sejak China menjadi tuan rumah KTT Tiongkok-Arab dan KTT Dewan Kerjasama Tiongkok-Teluk, pengaruh China dikawasan ini semakin significant. Apalagi terkesan China ada dibalik gerakan Houthi. Jelas Yaman atau Houthi bukan tandingan AS. Serangan udara AS dan Inggris, sebenarnya cara AS untuk mendelegitimasi  perdamaian di Yaman, 


Mengapa China ingin mendominasi Yaman ? tanya oma. Sebagian besar perdagangan Tiongkok dengan Eropa melewati Teluk Aden dan Laut Merah, sementara China mengimpor minyak dari Timur Tengah dan Afrika transit melalui Bab el Mandeb dan Selat Hormuz. Dan ini bagian dari program Bell Road initiative China untuk menguasai jalur perdagangan global. Ya maklum. China penduduknya lebih 1 miiar. Mereka harus amankan akses terhadap sumber daya dan pasar.


Jadi perang itu karena masalah rebutan pengaruh antara AS dan China? kata Oma. Ya. Bagi Yaman yang ditakdirkan letak geographi nya sangat pital terhadap jalur perdagangan minyak timur tengah, wajar saja dia harus kelola geopolitiknya untuk kepentingan nasionalnya. Selama kekuasaan Suni di Yaman, keuntungan geopolitik ini tidak ada. Karena dominasi Arab Saudi bersama AS. Yaman tidak dapat apapun dan tetap miskin. Sama seperti Indonesia. Keuntungan geopolitik atas Selat Malaka hanya dinikmati Singapore sebagai satelite AS dan Eropa. Kita hanya dapat sampah doang.


Memang di era globalisasi yang serba terbuka dan mendunia, setiap negara harus smart mengelola geopolitiknya.  Bukan sekedar netral seperti Indonesia, yang akhirnya terjerat konvensi international yagn pro Kapitalisme Barat dan AS. Tetapi harus punya kekuatan tawar mengatur ritme permainan geostrategis kawasan untuk kepentingan nasional. Walau harus siap berperang sekalipun. Engga bisa hanya dibujuk dengan utang China atau AS. Setelah itu duduk manis menonton kapal dagang china dan AS hilir mudik di selat melaka menuju LCS.


Kan kita non blok ? Sergah Oma. 


Prinsip non blok Indonesia yang ada pada UUD 45 bukan berarti kita tidak memihak tetapi kita harus ambil bagian dalam penentuan geostrategis. Posisi geographi selat malaka dan LCS kan sangat strategis. Misal, kita bisa memaksa AS dan Eropa mengeluarkan dana replace pembangkit batubara ke energi terbarukan untuk mengurangi emisi karbon. Kita juga bisa memaksa  Eropa untuk lakukan transfer tekhnologi oleo chemical agar downstream CPO bisa diperluas di dalam negeri. Kita juga bisa paksa China untuk transfer tekhnologi Partikel nano nickle agar downstream nikel kita lebih besar nilai tambahnya. Memaksa China transfer riset biotekhnologi agar produksi pertanian kita melimpah. Tetapi sejak reformasi, belum ada presiden yang sehebat Soekarno dalam mengelola geopolitik

No comments: