Thursday, February 1, 2024

Mind Corruption Minerba.

 





Tadi saya dan Abeng ke kantor notaris ketemu dengan Darma untuk buat akad depan notaris. Saya didampingi team shadow saya, Marina. Maklum ini kerjaan mantiko. Beli aset murah dari aset sitaan negara lewat skema lelang yang diatur. Exit nya jual lagi ke Singapore dengan harga dua kali lipat. Lumayan untuk modal dagang sempak. Sambil menanti notaris datang. Kami ngobrol santai.


“ Sekarang ini ada istilah  state capture. Apa sih itu ? tanya Darma. 


“ Oh itu korupsi yang bukan sekedar suap atau ambil  uang APBN, tetapi sudah sistematis. “ Kata saya.


“ Maksudnya sistematis itu apa ? tanya darma lagi.


“ Contoh. Untuk dapatkan IUP kan perlu AMDAL. Nah syarat AMDAL itu dibuat sederhana aturannya. Bisa saja aturan menteri dalam bentuk Permen atau Perpres, Sehingga memudahkan korporat  dapatkan izin. Padahal AMDAL itu sangat significant soal keadilan dan kelestarian  lingkungan. Ini terjadi karena dominasi korporat dalam mempengaruhi pembuat  aturan yang  menguntungkan mereka. “ Kata saya.


“ Kan setiap aturan menteri atau Presiden harus sesuai dengan UU yang ada. “ Tangkisnya.


“ Ya benar. Makanya pemerintah rajin ajukan revisi UU ke DPR. Seperti UU Minerba, dan terakhir UU Ciptakerja.” kata saya.


“ Gila ya.Pasti dominasi korporate itu karena uang, Engga mungkin mereka bisa atur kekuasaan tanpa uang. “  Kata Darma. Saya senyum aja. “ Kalaupun UU itu dbuat dengan draft dari korporat, kan kita punya MK untuk mengawal konstitusi. Terus gimana peran MK kalau ada gugatan dari masyarakat civil atas UU itu ? Tanya Darma lagi.


“ MK juga dibayar korporat. Sehingga membuat keputusan bias. Engga bisa dikatakan salah dan juga tidak bisa dikatakan benar. Tuh buktinya. Sudah jelas UU Ciptakerja itu cacat prosedural. Tetapi keputusan MK itu memberi peluang presiden mengeluarkan PERPPU dan akhirnya disahkan juga oleh DPR. Korporat juga yang menang“ Kata saya.


“Tapi kan walau IUP dengan segala kemudahan Amdal itu, kan masih ada kontrol pemerintah  lewat rencana kerja dan biaya  atau RKAB bagi setiap pemilik IUP. Itu gimana ?


“ Itu juga menjadi sumber pendapatan rutin pejabat setiap tahun. Ya karena uang, mereka tutup mata aja dengan RKAB yang dibuat penuh rekayasa. Sama saja dengan kasus laporan DMO batubara dan Sawit. Itu kan dibuat kebanyakan falsu. Tetapi karena ada endorsed dari instansi terkait, jadi asli.” Kata saya.


“ Kan kita masih punya aparat pemda dan polisi untuk mengawasi pelanggaran itu “ 


“ Sejak disahkan nya UU CIptakerja, hak pemda tidak ada lagi soal IUP. Dan berdasarkan UU juga kalau ada rakyat protes lahannya dibebaskan untuk tambang, itu  bisa dikriminnalisasi. “


“ Duh segitunya ya korporat mendominasi. Sama saja dengan era kolonial.” Kata Darma. Saya senyum aja. Abeng berkerut kening. “ Lue tanya, Ale  jawab. Itu kerjaan kita kita. Ya gimana. Sejak merdeka, hanya di era Jokowi kita pesta. Orang jarah, ayolah rame rame jarah. Tinggal tunggu rakyat marah. Kalau chaos ya tinggal angkat koper ke luar negeri. “ Kata Abeng


***

Mind corruption pada bisnis minerba terjadi sejak proses mendapatkan IUP lewat praktek suap bernuansa KKN, pembebasan lahan dengan perampasan lahan rakyat dan adat atas nama UU, sampai kepada exploitasi yang degradasi terhadap lingkungan. Dalam bisnis process biasanya, semua infrastruktur tambang seperti hauling road, jetty, stockfile dimiliki oleh keluarga dari pemilik IUP. Tentu mereka pemilik infrastruktur itu membebankan biaya semaunya. Secara tidak langsung mereka berusaha memindahkan laba dari kantong kanan ke kantong kiri agar terhindar dari pajak. 


Itupun masih kurang. Pemilik IUP juga lakukan misinvoicing. Harga jual dibuat rendah melalui afiliasi di luar negeri untuk kemudian dijual ke penjual akhir dengan harga sebenarnya. Global Financial Integrity mencatat aliran dana haram lewat bisnis process misinvoicing ekspor import mencapai US$6.5 billion pertahun, yang setara dengan 6% dari total tax revenue Indonesia tahun 2016.  Sekarang mungkin jumlahnya berlipat. Perlu dicatat bahwa atas ekspor batu bara, Indonesia mengenakan PPh sebesar 1,5% plus royalti 5%. Akibat under-invoicing, terdapat kehilangan penerimaan dari ekspor batu bara senilai Rp.6,7 triliun per tahun. 


Dalam temuan yang diolah oleh Direktorat DNA KPK, terdapat temuan dugaan ekspor nikel di luar ketentuan. Dengan asumsi bahwa nikel yang diekspor merupakan low grade (kadar <1,7%), terdapat selisih atau kelebihan ekspor pada 2017 dan 2019, dengan nilai total 358 ribu WMT. Sehingga dimungkinkan tidak hanya nikel kadar rendah, namun terdapat nikel kadar tinggi yang diekspor pada periode relaksasi 2017-2019.


Data hasil analisis lainnya, ditemukan bahwa dari sampling 400 vessel di pelabuhan bongkar China pada tahun 2017-2019, hasil temuan Surveyor SGS menyimpulkan 62% dari 248 vessel memuat nikel dengan kadar nikel di atas 1,7%, sementara 25% dari 100 vessel memuat nikel dengan kadar di atas 1,8%. Dari jumlah tersebut terdapat 18 vessel dari Indonesia yang mengangkut kurang lebih 31 juta ton nikel dengan kadar di atas 1,7%.  Makanya tidak sulit untuk tahu kalau tidak tercapainya tax ratio itu disebabkan oleh mind corruption, khususnya Minerba.


Kalau anda ingin hancurkan negara, tidak perlu pakai senjata dan bom atau komunis atau khilafah. Cukup dengan cara merusak aparat hukumnya. Itulah yang terjadi. TPPU 349 trilun, illegal export 5 jtua ton Nickel. Itu hanya yang nampak dipermukaan. Di bawahnya itu banyak sekali, dan tak terjangkau untuk dihitung. Para komprador itu ada di ring 1 presiden, di DPR, di kementrian, Pemda. Pemrof dan mereka membukus dirinya sebagai pengusaha atau politisi yang cinta NKRI. Indonesia memang sedang tidak baik baik saja. Karena orang baik diam!


***

Negara kita sangat kaya akan sumber daya alam. Terutama sumber daya mineral dan batubara. Yang jadi masalah adalah sejak era Orba sampai dengan sekarang, paradigma pengolahan SDA itu lebih kepada kepentingan ekonomi semata, terutama untuk mendatangkan devisa. Maklum negara ini terjebak dengan utang yang bunganya setiap tahun terus meningkat. Makanya terjadi dalam praktiknya, kegiatan di sektor ini selalu menimbulkan gesekan antara masyarakat, pengusaha, dan Pemerintah selaku pemegang izin. ). 


Ada empat hal pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang memang pemerintah tidak punya niat baik mengelola SDA atas dasar prinsip UUD 45 pasal 33 dan lebih kepada praktek mind corruption. 


Pertama. Mengenai dimensi pengalihan kewenangan pemerintah. Jika dicermati lintasan sejarahnya, sebaran kewenangan pemerintah dalam pengelolaan mineral dan batubara telah mengalami perubahan. Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Mineral dan Batubara telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah pusat untuk mengelola Mineral dan Batubara tanpa campur tangan Pemerintah daerah. 


Kedua. Adanya imunitas pemerintah dalam pemberian izin pertambangan. Imunitas terhadap kekuasaan tampaknya selalu menjadi prioritas para legislator akhir-akhir ini. Pemerintah tidak mau disalahkan dan berlindung di bawah payung norma. Terbukti ketentuan Pasal 165 UU Minerba terkait sanksi pidana yang menjerat Pemerintah karena menyalahgunakan kewenangan penerbitan IUP, IUP Rakyat, dan IUPK dihapuskan dengan UU Minerba yang baru. Tentu saja norma ini akan menjadi sumber korupsi dan konflik kepentingan bagi Pemerintah dalam memberikan izin kepada para taipan pertambangan yang ingin mempermudah memperoleh izin.


Ketiga. Yang sangat kontroversial adalah isu ancaman lingkungan dan masyarakat terhadap aktivitas pertambangan.Perubahan UU Minerba nampaknya sudah tidak lagi memperdulikan dampak yang merenggut nyawa masyarakat. Misalnya ketentuan Pasal 1 ayat 28 huruf a yang mengatur bahwa Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh ruang daratan, ruang laut, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, yaitu kepulauan Indonesia, perairan darat. Artinya, kegiatan pertambangan mineral dan batubara akan menutupi ruang hidup masyarakat. 


Begitu pula dengan Pasal 162 dan Pasal 164, dimana Pasal ini membuka peluang kriminalisasi terhadap masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap kegiatan pertambangan. Tentu saja secara tidak langsung norma tersebut telah bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 dan UU 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup karena dianggap sebagai norma perusak lingkungan hidup.


Keempat. Yang dianggap sangat berbahaya adalah persoalan keistimewaan bagi para konglomerat pertambangan dalam perizinan dan melakukan kegiatan pertambangan. Dimensi ini merupakan pintu masuk menuju oligarki kekuasaan dan perusahaan. Misalnya, Pasal 42 UU Minerba tentang penguasaan tanah yang sebelumnya baru diberikan dua tahun lalu dengan UU Minerba yang baru, penguasaan tanah skala besar oleh pengusaha pertambangan minimal delapan tahun. Itu dapat diperpanjang selama satu tahun setiap kali.


Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga mencatat ada 10 juta hektare (ha) konsesi lahan pertambangan di Indonesia. Mengacu data Kementerian ESDM per Agustus 2023 yang mencatat 31 pemegang Kontrak Karya (KK), 59 Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B), 9 Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), 852 IUP Produksi Mineral, 908 IUP Produksi Batubara. Sekitar 21% konsesi tersebut dikuasai oleh 10 grup usaha.10 perusahaan dengan lahan pertambangan terluas di Indonesia per Juli 2022 .

 .



  1. PT Timah Tbk (BUMN) terhitung luas mencapai 487,52 ribu ha per Juli 2022, tersebar di Bangka NBelitung, Riau, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, serta Cilegon, Banten. 
  2. PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. Total luas lahan pertambangan mencapai 454,88 ribu ha, terdiri dari nikel, emas, perak, bauksit, serta batubara. 
  3. PT Adaro Energy Indonesia Tbk atau Adaro total luas lahan pertambangan sebesar 307,95 ribu ha. Pemegang saham pengendali adalah Boy Thohir.
  4. PT Bumi Resources Tbk. Perusahaan ini berhasil menguasai 257,24 ribu ha luas lahan pertambangan di tanah air. Kini dikuasai keluarga Salim.
  5. PT Dian Swastatika Sentosa Tbk atau yang kerap disingkat DSSA, milik keluarga Eka Cipta ( SinarMas Group). Dengan total lahan konsensi seluas 164,94 ribu ha.
  6. PT Freeport Indonesia mencatatkan dengan lahan pertambangan tembaga dan emas terluas di Indonesia. Mengantongi IUP untuk lahan seluas 126,90 ribu ha. Mayoritas saham dikuasai PT. Mind ( BUMN)
  7. PT Vale Indonesia Tbk. Adapun total luas lahan pertambangan yang dimiliki ialah sebesar 118,10 ribu ha. Sekarang mayoritas saham dikuasai Mind ID ( BUMN).
  8. Kelurga Lim Tju King, Harita Nickel dengan lahan pertambangan nikel paling luas di Indonesia. Total lahan konsensi milik Harita Nickel pun tercatat mencapai 94,99 ribu ha.
  9. PT Bayan Resources Tbk milik keluarga Low Tuck Kwong. Total luas lahan pertambangan sebesar 91,90 per Juli 2022.
  10. PT Indika Energy Tbk. Pemilik, keluarga Sudwikatmono dan  Arsjad Rasji, Adapun Indika telah mengantongi IUP dengan total lahan seluas 91,44 ribu ha.

Saran dan solusi.

Perlu diingat bahwa sektor pertambangan merupakan sektor strategis yang diincar investor, sehingga diperlukan peran Pemerintah untuk membuat regulator dalam memanfaatkan sektor pertambangan ini. Amanat Konstitusi telah diwujudkan melalui Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), dengan tegas menyatakan bahwa: “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kepentingan sebesar-besarnya, “kemakmuran rakyat”.


Mahkamah Konstitusi juga telah menafsirkan rumusan konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01–021-022/PUU-I/2003 yaitu klausul “dikuasai oleh negara” yang mencakup pengertian penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bermula dan bersumber dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia terhadap keseluruhan sumber kekayaan “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pengertian kepemilikan umum oleh kolektif rakyat atas sumber-sumber kekayaan yang bersangkutan.


Permasalahan korupsi pada sektor mineral dan batubara perlu mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak. Pasalnya, rentetan kasus sektor minerba yang berulang menunjukkan bahwa sektor padat modal ini rawan korupsi. Apalagi rentetan korupsi sektor minerba ini merupakan kasus berkategori ‘state capture’. Oleh karena itu, kegiatan usaha di sektor mineral tambang, batubara/ Minerba harus didukung dengan peraturan yang memadai dan tegaknya law enforcement agar tidak merugikan masyarakat. Tentu dasarnya pengelolaan SDA mineral tambang itu dengan  paradigma kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan. 



No comments: