Monday, December 30, 2024

Mengapa PPN harus naik?

 



Tahun 2020 dalam rangka menghadapi Pandemi COVID19, pemerintah keluarkan Perppu No. 1/2020. Esensi dari Perppu itu adalah memungkinkan pemerinah menaikan defisit diatas 3% PDB. Jadi lebih flexible. Namun dengan asumsi Pandemi sudah diatasi, maka tahun anggaran 2023 kembali ke 3% PDB batasan defisit.  Dalam mengatasi pandemi ini pemerintah keluarkan dana tidak sedikit. Total anggaran PEN ( Pemulihan Ekonomi Nasional) dari tahun 2020 hingga tahun 2022 adalah Rp1.645 Triliun.


Sumber pembiayaan PEN itu berasal dari penjualan SBN kepada BI. Dengan beban bunga bersama sama ditanggung pemerintah dan BI ( burden sharing.). Total nya mencapai Rp. 836,56 triliun. Bagaimana pemerintah membayar SBN ini? Dirancang lah UU HPP ( Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Artinya sumber pembayaran utang itu berasal dari pajak. Dalam UU HPP No. 7/2021 kajian akademis nya atas dasar asumsi tentang situasi ekonomi. 


Pada UU HPP, Pasal 7 Ayat (3) pada Bab IV, Pemerintah diberi hak oleh UU untuk menentukan tarif dengan range 5-15%. Artinya pemerintah bukan hanya punya hak menaikan tariff sampai 15%, tetapi juga bisa turunkan tarif sampai 5%.  Tentu tergantung situasi ekonomi. Tahun 2022 PPN naik 1% menjadi 11% dan tahun 2025 akan naik menjadi 12%. Apakah karena ekonomi Indonesia baik baik saja. ? Tentu tidak. Data terhadap daya beli yang merosot. Index Purchasing meneger yang kontraksi itu sudah cukup bukti. Makanya pemerintah keluarkan paket stimulus mengantisipasi mereka yang terdampak akibat kenaikan PPN itu.


Pemerintah sangat paham bahwa dalam kondisi ekonomi global dan prospek yang tidak baik baik saja karena ketidakpastian, menaikan PPN itu tentu tidak popular dan tidak bijak. Namun masalahnya, ini soal pilihan diantara pilihan yang semua buruk. Maklum ketahanan fiscal kita sangat rentan dan ruang sangat sempit. 


Perhatikan. 100% dari belanja APBN itu sudah dialokasikan untuk mandatory spending.

20% untuk Pendidikan.

25% untuk daerah.

10% untuk dana desa.

6% untuk Kesehatan.

Berapa total ? 61%.

Masih sisa 39%. Nah sisa itu untuk belanja rutin, bayar bunga 15%. Cicilan utang sebesar 30%. Jadi berapa sisa ? ya tekor alias defisit 6%. Itu belum termasuk anggaran kementrian, ASN, TNI dan POLRi dan bansos. Makanya pontensi defisit sangat besar. Apalagi realisasi penerimaan pajak tahun 2024 tidak tercapai sesuai target.


Memang dilemma. Misal, PPN tidak dinaikan. Maka defisit APBN akan melebar. UU tidak membenarkan defisit diatas 3% dari PDB. Kalaupun UU direvisi dan boleh defisit diatas 3%. Maka defisit itu akan ditutupi dengan hutang. Itu berat. Karena financial market tidak likuid dan bunga tinggi. Pada akhirnya utang ini akan ditanggung  oleh rakyat dimasa depan.  Kalau PPN dinaikan, defisit bisa dibawah 3% PDB. Utang baru tidak bertambah significant  dan tahun 2025 punya ruang untuk bayar bunga dan utang yang mencapai Rp1.350an triliun (lebih 1/3 APBN).


So, kembali kepada pertanyaan awal. Mengapa PPN naik? Ya kondisi fundamental kita terjebak dengan beban utang dan pagu defisit yang sudah dikunci oleh UU. Memang benar seharusnya  PPH yang diandalkan. Masalahnya, tax reform  engga bisa cepat. Butuh proses lama baik secara politik maupun administrasi. Tahun 2025 ini akan lanjut tax reform dengan adanya program CORETAX ( Core Tax Administration System.)


Dengan reformasi pajak ini akan meningkatkan tax ratio dan bisa mendukung agenda presiden meningkatkan pertumbuhan diatas 8%. Karena potensi penerimaan pajak akan meningkat lewat kenaikan tarif, peluasan wajib pajak dan lain lain.? Sepertinya yang disasar lebih dulu adalah bisnis rente sebagai sumber pajak. Karena setiap konsesi bisnis seperti HGU sawit, IUP minerall tambang, Kontrak revenue sharing migas kan semua berasal dari negara. Ya dari sana negara akan perketat pengawasan pajaknya lewat CORETAX. 


Potensi penermaan pajak dari rente itu sangat besar. Bisa diatas Rp. 3000 triliun. Selama ini memang dibancakin oleh oligarki. Contoh kasus ilegal mining. Fraud DMO sawit. Fraud alih fungsi lahan, ekspor illegal nikel dan lain lain. Semoga PS konsisten dan punya nyali besar menghadapi oligarki. Karena bagaimanapun pengusaha itu punya uang dan punya akses kekuasaan untuk menghindari pajak. Apalagi semua partai teman mereka. Kalau benar reformasi pajak ini menyasar kepada oligarki, pengorbanan rakyat atas kenaikan PPN,  fair enough.

Monday, December 23, 2024

DHE dan rezim devisa bebas.

 



Sebelum tahun 1970 kita menganut rezim devisa control. Setelah tahun 1970, Indonesia mulai melakukan deregulasi rezim devisa menuju diterapkannya rezim devisa bebas. Sejak itu mata uang kita selalu terdepresiasi dari tahun ke tahun.  1978 pemerintah melakukan kebijakan devaluasi rupiah sebesar 33,6% yaitu dari Rp 415 per dolar AS menjadi Rp 625 per USD. Puncaknya terjadi krisisi moneter tahun 1997. Kurs rupiah terjun bebas.


Sejak reformasi sampai kini, kita gagal mengelola system devisa bebas. Mengapa saya katakan gagal? Karena setiap pelemahan kurs tidak berdampak luas terhadap transformasi ekonomi dari SDA ke Industri. Padahal seharusnya saat IDR melemah, daya saing kita tinggi untuk dapatkan devisa ekspor yang akan memperkuat cadev dan pada waktu bersamaan barang impor jadi mahal. Industri domestic dapat proteksi untuk berkembang.


Memang dengan adanya resim devisa bebas kita dapat solusi mudah mendapatkan pinjaman luar negeri dan ketika ditukar ke IDR jadi banyak. Terasa efisien untuk mengeskalasi pertumbuhan ekonomi. Tapi yang terjadi, utang menjadi solusi terus menerus dan pada waktu bersamaan struktur ekonomi terdistorsi karena adanya rente dan subsidi. 


Di zaman Soeharto distorsi system itu tidak nampak. Karena kita menganut neraca berimbang. Tapi di era reformasi, mudah sekali mengetahuinya. Tanpa terasa, hutang semakin membesar dan struktur bangun ekonomi kita tetap tidak beranjak. Mengandalkan SDA. Bahkan sekarang terjadi deindustrialisasi.  Dan pemerintah mulai gamang. Makanya keluar  aturan DHE ( devisa Hasil ekspor). Mungkin karena likuiditas valas semakin mahal dan engga mudah lagi. 


Nyatanya aturan DHE ini tidak efektif menyerap devisa hasil ekspor. Hanya 10% dari total penerimaan devisa. Selebihnya parker di luar negeri. Karena  memang sebagaimana Undang-Undang nomor 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan valas.  Kalaupun kewenangan BI dalam pengaturan pengelolaan lalu lintas devisa, namun itu bukan merupakan kebijakan kontrol devisa. Karena diberlakukan hanya bagi resident. Kebijakan tidak berlaku bagi non-resident.


Sementara dalam penerapan sistem devisa bebas, aturan yang ada kalah cepat dengan perkembangan tekhnologi financial. Apalagi dengan adanya ekosistem financial peer to peer.  Sehingga sulit bagi BI memantau lalulintas devisa dan kadang dengan adanya instabilitas IDR terkesan tidak kredibel. Hal ini menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional.Contoh sederhana. Kasus TPPU ratusan triliun, ekspor illegal mining, Judi online, impor and ekspor emas. Semua dana Valas terbang ke LN. Kita hanya tahu catatan doang.


DHE bukan solusi. Abaikan saja aturan DHE itu. Karena justru membuat distrust pasar terhadap IDR. Dan lagi memang melanggar prinsip devisa bebas. Sebaiknya UU 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistim Nilai Tukar itu direvisi. Kita tidak mengubah system devisa bebas, namun memastikan sistem pembayaran via virtual account, API, ETF tidak  bebas bagi uang haram keluar masuk indonesia. SDA kita tidak di exploitasi berlebihan oleh komprador melalui skema trade financing, counter trade,  inkind loan, selling credit dll.  Sehingga pengelolaan lalu lintas devisa kita bebas namun bermartabat


“ Mengubah UU No. 24/1999 itu sama sulitnya dengan menggolkan UU terkait anti korupsi seperti UU Pembuktian terbalik dan UU perampasan Aset. Karena yang kuasai valas adalah oligarki dan mereka yang berkuasa. Engga mungkin UU itu diubah. Mungkin setelah IDR terjun bebas, baru bisa diubah.” Kata teman.

Monday, December 16, 2024

Ekonomi global suram, ekonomi kita kelabu

 





Ale, mengapa baik presiden maupun Menteri selalu bicara dengan nada kawatir terhadap ekonomi global. Dan diujung kekawatiran itu ada pesan bahwa saat sekarang ekonomi Indonesia masih tumbuh. Tetapi tidak mengurangi kesan engga ada hope. “ Tanya Ira.


China sedang membalik arah kapal besar ekonominya dari outward looking policy ke inward looking policy. Focus kepada pertumbuhan inklusif. Makanya  struktur ekonomi juga berubah. Dalam proses itu wajar kalau terjadi goncangan. Krisis property dan surat utang daerah terjadi. Sudah 2 tahun berlangsung sampai kini masih dalam proses recovery. Bulan lalu China sudah keluarkan dana stimulus sebesar Rp. 20.000 triliun. Dan sebentar lagi akan keluar lagi dana stimulus jilid 2 dalam bentuk devaluasi mata uang yuan. 


Tentu ini berdampak serius terhadap ekonomi negara mitra dagang China. Terutama Indonesia.  Mata uang yuan melemah akan membuat barang impor jadi mahal di Cina. Dan ini akan berdampak menurunnya harga dan permintaan atas komodiitas ekspor kita. Sementara 100% ekspor nikel dan 80% ekspor batubara ke China. Dua komoditi itu sangat penting menopang kekuatan devisa dan penyumbang surplus neraca perdagangan Indonesia. 


China sampai 5 tahun kedepan akan tetap focus kepada inward looking policy. Pertumbuhan yang beberapa decade dipicu ekspor, akan berubah kepasar domestic. Tentu berdampak kepada Indonesia. Selama 55 bulan trend surplus neraca perdagangan menurun. Data dari tahun 2022, batubara dan nikel terus menurun baik harga maupun volume eksport nya. Belum lagi supply chain industry dalam negeri banyak bergantung kepada China. Nilai impor akan meningkat. Surplus neraca perdagangan kita terancam.Fundamental ekonomi kita berderak. Kurs IDR akan terus terdepresiasi. 


Sama hal dengan AS. Focus kepada inward looking policy. Yang ditandai dengan kebijakan proteksionisme market. Dampak perubahan ini sangat sistemik terhadap perekonomian AS dari sebelumnya. Tentu berdampak luas kepada negara lain. Maklum AS tetap ekonomi nomor 1 dunia yang USD menjadi magnitude pertumbuhan dunia. Kurs USD akan terus menguat. Sehingga the Fed rate tidak lagi berpengaruh terhadap arus modal. Tetapi motive safe haven. Ini alarm akan terjadinya capital outflow bagi negara emerging market seperti Indonesia. Keruntuhan ekonomi hanya masalah waktu.


Kalau AS dan China menerapkan inward looking policy, mengapa kita tidak lakukan hal yang sama, kata Ira berusaha mencari solusi terhadap fenomena ekonomi global.AS dan China punya financial resource yang besar dan itu karena power ekonomi mereka juga besar. ibarat kapal besar, power mesin kapal mereka sangat besar. Kalau melakukan manuver tidak beresiko tenggelam walau tentu ada goncangan.


Lah, Indonesia?. Kapal besar, mesin kapal kecil. Mesin tempel. Kalau lakukan manuver, ya tenggelam. Kewajiban valas kita itu jauh lebih besar daripada asset valas kita. Selisihnya sebesar USD 274 miliar pada kwartal III tahun ini. USD 50 miliar aja capital outflow, rupiah jadi tissue toilet. Solusi sulit untuk diterapkan. Karena ekonomi Indonesia terjebak hutang. Hutang luar negeri saja sudah diatas 30% dari PDB. Belum lagi sebagian besar supply chain industri dari luar negeri.  Demikian penjelasan saya. 


Artinya, tahun depan dan tahun tahun berikutnya ekonomi Indonesia akan stuck dan bisa jadi kontraksi. Ini akan berlangsung lama. Ramalan JP Morgan, tahun depan IHSG akan akan drop dibawah 7000. Apa jadinya kalau stabilitas politik tidak konduksif karena dipicu oleh kelas menengah yang marah akibat bokek! … Ira tidak bisa melanjutkan kata katanya. Dia tahu bukan pemerintah tidak menyadari resiko tapi ibarat orang terlilit hutang memang jadi bego dan irasional bersikap. Saya ikut berempati. Tapi hanya empati doang dan tentu berdoa agar Indonesia baik baik saja.


***

Walau pemerintahan PS berambisi mencapai pertumbuhan diatas 8%. Namun untuk tahun depan cukup pada target 5% saja. Apakah 5% bisa dicapai? Menurut saya sulit. Mengapa ?


Pertama. Batubara dan Nikel udah mendekati sunset. Tahun depan harga international akan terus turun. Karena adanya program zero emisi karbon yang semakin meluas di negara negara konsumen batubara seperti China, Jepang. CPO tidak akan tumbuh. Laporan Fitch Ratings-Singapura-26 Desember 2024 menyebutkan harga CPO pada tahun 2025 akan drop. Karena kalah saing dengan minyak kedelai yang jauh lebih murah dan sehat.


Kedua. Tidak ada pusat pertumbuhan baru yang bisa dongkrak ekonomi. Rencana proyek hilirisasi 20 komoditas pertanian tidak akan jalan. Karena belum ada rencana konkrit pemerintah akan mereformasi tata niaga pertanian. Apanya yang mau dihilirisasi, kalau produksi bahan baku tidak terjamin pasokannya.


Ketiga. Financialisasi PDB untuk dasar menerbitkan SBN akan semakin sulit dapatkan likuiditas berhutang. Disamping suku bunga dan Yield  tinggi. SBN tidak lagi menarik bagi investor. Kecuali SRBI yang bertenor jangka pendek. Pemerintah akan bergantung kepada pasar sekunder  SBN dimana BI sebagai pembeli. Ini akan sangat beresiko terhadap stabilitas kurs.


Keempat. Defisit fiscal yang tertekan akibat beban pembayaran Bunga dan hutang tahun depan akan semakin menyulitkan pemerintah dalam mengelola pertumbuhan, apalagi daya beli menurun dan IPM akan terus kontraksi. Setiap tahun pembayaran bunga terus meningkat. Pada 2020, pembayaran bunga utang hanya Rp314,1 triliun, lalu naik menjadi Rp343,5 triliun di 2021 dan 2022 naik lagi menjadi Rp386,3 triliun. Kemudian pada 2023 naik lagi menjadi Rp439,9 triliun. 


Tahun 2025 , alokasi anggaran yang perlu disiapkan untuk pembayaran utang mencapai Rp1.350an triliun (lebih 1/3 APBN). Total utang jatuh tempo mencapai Rp800,33 triliun yang terdiri dari utang Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp705,5 triliun dan pinjaman Rp94,83 triliun. Dan bunga yang mencapai Rp552,9 triliun yang terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp497,62 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp55,23 triliun.


Jadi tahun depan akan sangat berat dan sulit bagi ekonomi Indonesia dan apalagi 5 tarif akan naik dan berlaku tahun depan. Akan semakin membebani rakyat. By system kita sudah terjajah oleh mindset too good to be true. Sulit untuk beranjak. Apalagi sebagian besar team kabinet sekarang adalah mereka yang bertanggung jawab atas rusaknya ekonoomi  era presiden sebelumnya.


Saturday, December 7, 2024

Pasar distrust kepada pemerintah.

 




Kalau anda baca berita tentang kurs rupiah. Lucu. Kadang beritanya, dollar mengganas, rupiah terkapar, rupiah perkasa, rupiah terlemah di asia.  Dari hari ke hari beritanya seperti drama sabun. Itu biasa saja. Karena menggambarkan situasi kurs yang volatile dari hari ke hari, tahun ke tahun. Tetapi kalau anda melihat trend kurs dari tahun 2013 sampai kini, itu trend nya melemah atau terdepresiasi.


Uang itu sudah seperti komoditas, dan memang komoditas. Ia diperdagangkan di pasar. Namanya market tentu berlaku hukum  demand and supply. Faktor yang mempengaruhi demand and supply itu bersifat kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatif itu tentu bisa dihitung dengan demand valas untuk belanja impor, investasi di luar negeri, bayar utang luar negeri, capital outflow. Dari sisi supply dihitung dari penerimaan devisa valas, capital inflow, utang luar negeri ( SUN Valas dan SRBI).


Namun yang kualitatif sulit di hitung. Karena ini berkaitan dengan trust. Misal, menurut OJK, system perbankan kita sangat kokoh. Karena capital adequacy ratio ( CAR) sebesar 26,69%  ( agustus 2024. ). Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 25,40% pada september 2024. Duit banyak, tapi suku bunga kredit perbankan tinggi ( rata rata diatas 9%, bahkan ada yang diatas 10%. ). Padahal kan engga semua penyaluran kredit berasal dari DPK, ada juga dari modal disetor. Seharusnya bunga rendah. Jangan jangan semua disedot SBN dan bank hidup dari Repo dengan BI. 


Data fundamental ekonomi kuat. Cadev kita besar dan prospek penerimaan devisa dari ekspor cerah. Sekian tahun mencatat surplus. Tetapi mengapa bunga SRBI tinggi diatas 7%. Mengapa yield SUN mendekati 7%. Tertinggi di ASEAN. Data bias ini menimbulkan distrust terhadap rupiah.


Distrust ini bisa dirasakan langsung. Misal, pemerintah keluarkan aturan DHE ( Devisa Hasil Ekspor ) harus parkir di Indonesia minimal sekian waktu. Itu membuktikan bahwa dunia usaha tidak sepenuhnya percaya kepada pemerintah. Mengapa?. Ya kalau memang trust negara itu tinggi, kan engga perlu ada aturan mengenai DHE. Berkali kali aturan itu diubah. Orang tetap tidak peduli. Parkir aja terus.


Bukan hanya pengusaha. Para koruptor juga tidak percaya. Uang suap atau komisi lebih sering  menggunakan valas. Itu membuktikan pejabat pemerintah sendiri tidak percaya dengan rupiah. Karena mereka sadar bahwa system menoter negara kita itu rapuh. Tentu mereka tidak aman simpan uang rupiah. 


Kalau dunia usaha dan pejabat sendiri tidak percaya kepada IDR, apalagi asing. Kalaupun mereka percaya, itu bukan karena trust yang tercermin dengan rendahnya suku bunga SRBI, tetapi karena bunga tinggi dan bersifat jangka pendek. Deposit on call. Kapan saja mereka bisa out. Mengapa ? ya mereka selalu berjaga jaga dari kemungkinan jatuhnya IDR. Sedikit aja ada sentimen negatif ya mereka pindahkan uangnya ke valas. Persepsi ini sudah terbentuk sedemikian rupa bagi mereka yang berduit.


Nah karena trust itu bersifat kapitalis, maka jangan kaget terbentuk bisnis moneter ( asset financial). " Daripada invest di pabrik, mending beli SRBI yang bunganya diatas 7%. Bisnis real belum tentu dapat net profit segitu. Bagi perbankan, daripada beri kredit yang pasti beresiko, mending beli SBN yang bunganya 6%. Lumayan dapat spread 2% dari bunga deposito. " Kata teman. Akibatnya, orang kaya semakin kaya. Dan orang miskin semakin miskin. Karena putaran uang lebih banyak di moneter daripada di sector real.


Dari uraian diatas, kita bisa pahami dengan sederhana. Bahwa tidak mungkin bisni non rent ( tradable) bisa tumbuh berkelanjutan. Karena IDR  sebagai alat investasi semakin tidak diminati. Kalaupun diminati, cost of fund sudah mahal.  Tentu berimplikasi kepada business model. Ya hanya bisnis rente yang diminati. Yang bisa cuan diatas 10% seperti ekstraksi SDA. Tapi  tidak berdampak significant terhadap penyerapan Angkatan kerja dan tentu  beresiko terhadap kerusakan lingkungan. State capture semakin dapat ruang. Ambisi petumbuhan ekonomi 8% itu terlalu tinggi ngayalnya. Mari focus kepada petumbuhan berkeadilan.


***

Bagi pemain pasar uang. Kondisi negara yang kurs nya stabil, engga menarik untuk medan main. Itu artinya volatilitas nya rendah. Dapat cuan sedikit. Tapi bagi negara yang volatilitas nya tinggi, menarik. Mudah dapat cuan gede. Negara yang volatilitas tinggi itu seperti Brazil, Argentina, Indonesia, Turki, Afrika Selatan dan lain lain , ya yang termasuk dalam emerging market.


Ciri khas negara berkembang atau emerging market adalah negara yang memilih pasar uang sebagai sumber pembiayaan menutupi defisit APBN nya. Mengapa? Kalau negara berhutang lewat pasar uang, bunga relative rendah dan tidak ada politik. Dana utang  itu bisa digunakan untuk mendongkrakt fiskalnya. Memacu pertumbuhan.


Faktanya tidak ada satupun negara berkembang yang bisa sustain dan inklusif pertumbuhan ekonominya karena menerbitkan surat utang. Malah negara tersebut terjebak dalam instabilitas mata uang. Operasi moneter menjaga stabilitas kurs ongkosnya jauh lebih mahal dari bunga yang dibayar. Belum lagi semakin lama keseimbangan primer terancam. APBN defisit akibat beban bunga dan cicilan.


Contoh. Investor menjual SUN yang dia pegang sebesar Rp. 100. Pada waktu bersamaan dia beli USD di pasar uang. Kurs IDR cenderung melemah akibatnya. Setelah kurs berada pada ambang bawah, BI pasti intervensi dengan menarik aliran modal lewat kenaikan suku bunga SRBI. Ya dia beli SRBI. Capital inflow terjadi. Rupiah menguat lagi.


Nah bayangkan. Dari melemah dan kemudian menguat lagi kurs. Bolak balik begitu aja.  Itu kan ada band  ( pita-jarak) nya. Diantara Atas -Bawah itu disebut band currency. Dari band itulah dia dapat cuan besar. Belum lagi dapat bunga tinggi dari SRBI. Mengapa semudah itu? Dia udah hitung dampak kurs akibat capital outflow. Dia juga tahu titik keseimbangan pada kurs berapa terjadi. Jadi kesimpulannya, menguat dan melemah kurs itu memang permainan dari pemain hedge fund, untuk dapat uang mudah. Kas negara digergaji. Dampak significant dari debt trap.