Monday, December 16, 2024

Ekonomi global suram, ekonomi kita kelabu

 





Ale, mengapa baik presiden maupun Menteri selalu bicara dengan nada kawatir terhadap ekonomi global. Dan diujung kekawatiran itu ada pesan bahwa saat sekarang ekonomi Indonesia masih tumbuh. Tetapi tidak mengurangi kesan engga ada hope. “ Tanya Ira.


China sedang membalik arah kapal besar ekonominya dari outward looking policy ke inward looking policy. Focus kepada pertumbuhan inklusif. Makanya  struktur ekonomi juga berubah. Dalam proses itu wajar kalau terjadi goncangan. Krisis property dan surat utang daerah terjadi. Sudah 2 tahun berlangsung sampai kini masih dalam proses recovery. Bulan lalu China sudah keluarkan dana stimulus sebesar Rp. 20.000 triliun. Dan sebentar lagi akan keluar lagi dana stimulus jilid 2 dalam bentuk devaluasi mata uang yuan. 


Tentu ini berdampak serius terhadap ekonomi negara mitra dagang China. Terutama Indonesia.  Mata uang yuan melemah akan membuat barang impor jadi mahal di Cina. Dan ini akan berdampak menurunnya harga dan permintaan atas komodiitas ekspor kita. Sementara 100% ekspor nikel dan 80% ekspor batubara ke China. Dua komoditi itu sangat penting menopang kekuatan devisa dan penyumbang surplus neraca perdagangan Indonesia. 


China sampai 5 tahun kedepan akan tetap focus kepada inward looking policy. Pertumbuhan yang beberapa decade dipicu ekspor, akan berubah kepasar domestic. Tentu berdampak kepada Indonesia. Selama 55 bulan trend surplus neraca perdagangan menurun. Data dari tahun 2022, batubara dan nikel terus menurun baik harga maupun volume eksport nya. Belum lagi supply chain industry dalam negeri banyak bergantung kepada China. Nilai impor akan meningkat. Surplus neraca perdagangan kita terancam.Fundamental ekonomi kita berderak. Kurs IDR akan terus terdepresiasi. 


Sama hal dengan AS. Focus kepada inward looking policy. Yang ditandai dengan kebijakan proteksionisme market. Dampak perubahan ini sangat sistemik terhadap perekonomian AS dari sebelumnya. Tentu berdampak luas kepada negara lain. Maklum AS tetap ekonomi nomor 1 dunia yang USD menjadi magnitude pertumbuhan dunia. Kurs USD akan terus menguat. Sehingga the Fed rate tidak lagi berpengaruh terhadap arus modal. Tetapi motive safe haven. Ini alarm akan terjadinya capital outflow bagi negara emerging market seperti Indonesia. Keruntuhan ekonomi hanya masalah waktu.


Kalau AS dan China menerapkan inward looking policy, mengapa kita tidak lakukan hal yang sama, kata Ira berusaha mencari solusi terhadap fenomena ekonomi global.AS dan China punya financial resource yang besar dan itu karena power ekonomi mereka juga besar. ibarat kapal besar, power mesin kapal mereka sangat besar. Kalau melakukan manuver tidak beresiko tenggelam walau tentu ada goncangan.


Lah, Indonesia?. Kapal besar, mesin kapal kecil. Mesin tempel. Kalau lakukan manuver, ya tenggelam. Kewajiban valas kita itu jauh lebih besar daripada asset valas kita. Selisihnya sebesar USD 274 miliar pada kwartal III tahun ini. USD 50 miliar aja capital outflow, rupiah jadi tissue toilet. Solusi sulit untuk diterapkan. Karena ekonomi Indonesia terjebak hutang. Hutang luar negeri saja sudah diatas 30% dari PDB. Belum lagi sebagian besar supply chain industri dari luar negeri.  Demikian penjelasan saya. 


Artinya, tahun depan dan tahun tahun berikutnya ekonomi Indonesia akan stuck dan bisa jadi kontraksi. Ini akan berlangsung lama. Ramalan JP Morgan, tahun depan IHSG akan akan drop dibawah 7000. Apa jadinya kalau stabilitas politik tidak konduksif karena dipicu oleh kelas menengah yang marah akibat bokek! … Ira tidak bisa melanjutkan kata katanya. Dia tahu bukan pemerintah tidak menyadari resiko tapi ibarat orang terlilit hutang memang jadi bego dan irasional bersikap. Saya ikut berempati. Tapi hanya empati doang dan tentu berdoa agar Indonesia baik baik saja.

Saturday, December 7, 2024

Pasar distrust kepada pemerintah.

 




Kalau anda baca berita tentang kurs rupiah. Lucu. Kadang beritanya, dollar mengganas, rupiah terkapar, rupiah perkasa, rupiah terlemah di asia.  Dari hari ke hari beritanya seperti drama sabun. Itu biasa saja. Karena menggambarkan situasi kurs yang volatile dari hari ke hari, tahun ke tahun. Tetapi kalau anda melihat trend kurs dari tahun 2013 sampai kini, itu trend nya melemah atau terdepresiasi.


Uang itu sudah seperti komoditas, dan memang komoditas. Ia diperdagangkan di pasar. Namanya market tentu berlaku hukum  demand and supply. Faktor yang mempengaruhi demand and supply itu bersifat kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatif itu tentu bisa dihitung dengan demand valas untuk belanja impor, investasi di luar negeri, bayar utang luar negeri, capital outflow. Dari sisi supply dihitung dari penerimaan devisa valas, capital inflow, utang luar negeri ( SUN Valas dan SRBI).


Namun yang kualitatif sulit di hitung. Karena ini berkaitan dengan trust. Misal, menurut OJK, system perbankan kita sangat kokoh. Karena capital adequacy ratio ( CAR) sebesar 26,69%  ( agustus 2024. ). Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 25,40% pada september 2024. Duit banyak, tapi suku bunga kredit perbankan tinggi ( rata rata diatas 9%, bahkan ada yang diatas 10%. ). Padahal kan engga semua penyaluran kredit berasal dari DPK, ada juga dari modal disetor. Seharusnya bunga rendah. Jangan jangan semua disedot SBN dan bank hidup dari Repo dengan BI. 


Data fundamental ekonomi kuat. Cadev kita besar dan prospek penerimaan devisa dari ekspor cerah. Sekian tahun mencatat surplus. Tetapi mengapa bunga SRBI tinggi diatas 7%. Mengapa yield SUN mendekati 7%. Tertinggi di ASEAN. Data bias ini menimbulkan distrust terhadap rupiah.


Distrust ini bisa dirasakan langsung. Misal, pemerintah keluarkan aturan DHE ( Devisa Hasil Ekspor ) harus parkir di Indonesia minimal sekian waktu. Itu membuktikan bahwa dunia usaha tidak sepenuhnya percaya kepada pemerintah. Mengapa?. Ya kalau memang trust negara itu tinggi, kan engga perlu ada aturan mengenai DHE. Berkali kali aturan itu diubah. Orang tetap tidak peduli. Parkir aja terus.


Bukan hanya pengusaha. Para koruptor juga tidak percaya. Uang suap atau komisi lebih sering  menggunakan valas. Itu membuktikan pejabat pemerintah sendiri tidak percaya dengan rupiah. Karena mereka sadar bahwa system menoter negara kita itu rapuh. Tentu mereka tidak aman simpan uang rupiah. 


Kalau dunia usaha dan pejabat sendiri tidak percaya kepada IDR, apalagi asing. Kalaupun mereka percaya, itu bukan karena trust yang tercermin dengan rendahnya suku bunga SRBI, tetapi karena bunga tinggi dan bersifat jangka pendek. Deposit on call. Kapan saja mereka bisa out. Mengapa ? ya mereka selalu berjaga jaga dari kemungkinan jatuhnya IDR. Sedikit aja ada sentimen negatif ya mereka pindahkan uangnya ke valas. Persepsi ini sudah terbentuk sedemikian rupa bagi mereka yang berduit.


Nah karena trust itu bersifat kapitalis, maka jangan kaget terbentuk bisnis moneter ( asset financial). " Daripada invest di pabrik, mending beli SRBI yang bunganya diatas 7%. Bisnis real belum tentu dapat net profit segitu. Bagi perbankan, daripada beri kredit yang pasti beresiko, mending beli SBN yang bunganya 6%. Lumayan dapat spread 2% dari bunga deposito. " Kata teman. Akibatnya, orang kaya semakin kaya. Dan orang miskin semakin miskin. Karena putaran uang lebih banyak di moneter daripada di sector real.


Dari uraian diatas, kita bisa pahami dengan sederhana. Bahwa tidak mungkin bisni non rent ( tradable) bisa tumbuh berkelanjutan. Karena IDR  sebagai alat investasi semakin tidak diminati. Kalaupun diminati, cost of fund sudah mahal.  Tentu berimplikasi kepada business model. Ya hanya bisnis rente yang diminati. Yang bisa cuan diatas 10% seperti ekstraksi SDA. Tapi  tidak berdampak significant terhadap penyerapan Angkatan kerja dan tentu  beresiko terhadap kerusakan lingkungan. State capture semakin dapat ruang. Ambisi petumbuhan ekonomi 8% itu terlalu tinggi ngayalnya. Mari focus kepada petumbuhan berkeadilan.


***

Bagi pemain pasar uang. Kondisi negara yang kurs nya stabil, engga menarik untuk medan main. Itu artinya volatilitas nya rendah. Dapat cuan sedikit. Tapi bagi negara yang volatilitas nya tinggi, menarik. Mudah dapat cuan gede. Negara yang volatilitas tinggi itu seperti Brazil, Argentina, Indonesia, Turki, Afrika Selatan dan lain lain , ya yang termasuk dalam emerging market.


Ciri khas negara berkembang atau emerging market adalah negara yang memilih pasar uang sebagai sumber pembiayaan menutupi defisit APBN nya. Mengapa? Kalau negara berhutang lewat pasar uang, bunga relative rendah dan tidak ada politik. Dana utang  itu bisa digunakan untuk mendongkrakt fiskalnya. Memacu pertumbuhan.


Faktanya tidak ada satupun negara berkembang yang bisa sustain dan inklusif pertumbuhan ekonominya karena menerbitkan surat utang. Malah negara tersebut terjebak dalam instabilitas mata uang. Operasi moneter menjaga stabilitas kurs ongkosnya jauh lebih mahal dari bunga yang dibayar. Belum lagi semakin lama keseimbangan primer terancam. APBN defisit akibat beban bunga dan cicilan.


Contoh. Investor menjual SUN yang dia pegang sebesar Rp. 100. Pada waktu bersamaan dia beli USD di pasar uang. Kurs IDR cenderung melemah akibatnya. Setelah kurs berada pada ambang bawah, BI pasti intervensi dengan menarik aliran modal lewat kenaikan suku bunga SRBI. Ya dia beli SRBI. Capital inflow terjadi. Rupiah menguat lagi.


Nah bayangkan. Dari melemah dan kemudian menguat lagi kurs. Bolak balik begitu aja.  Itu kan ada band  ( pita-jarak) nya. Diantara Atas -Bawah itu disebut band currency. Dari band itulah dia dapat cuan besar. Belum lagi dapat bunga tinggi dari SRBI. Mengapa semudah itu? Dia udah hitung dampak kurs akibat capital outflow. Dia juga tahu titik keseimbangan pada kurs berapa terjadi. Jadi kesimpulannya, menguat dan melemah kurs itu memang permainan dari pemain hedge fund, untuk dapat uang mudah. Kas negara digergaji. Dampak significant dari debt trap.