Indonesia tengah menikmati ledakan investasi di sektor smelter dan industri hilir sumber daya alam (SDA). Puluhan fasilitas pemurnian besar berdiri, berstatus foreign direct investment (FDI), berpayung badan hukum Indonesia. Secara politis, ini dipuji sebagai bukti keberhasilan strategi industrialisasi—menarik modal, menciptakan lapangan kerja, dan “mengikat” investor asing ke ekonomi domestik.
Namun jika kita mengurai skema investasi di balik pabrik-pabrik itu, citra gemerlap itu cepat pudar menjadi realitas yang lebih serius: banyak dari fasilitas tersebut faktanya menjadi ekstensi dari market offtake asing—bukan transformasi nilai tambah yang benar-benar berpusat di Indonesia.
Praktiknya, pembeli utama—umumnya dari China atau Jepang—telah mengunci pasokan melalui offtake agreement sebelum smelter beroperasi. Yang berarti Investor asing telah menjamin pembelian seluruh output komoditas. Operator fasilitas smelter dikontrol oleh pihak offtaker atau entitas yang ditunjuknya. Dari hulu ke hilir, keputusan strategis tetap berada di tangan non-domestik. Di dalam praktik ekonomi global, ini bukan sekadar “pembeli biasa.” Ini adalah offtaker market—pasar yang menguasai sisi permintaan dan menentukan seluruh parameter nilai komoditas.
Uniknya, modal investasi untuk pembangunan smelter dan kawasan industri itu sering tidak dibayar dalam bentuk simple “uang masuk, pabrik dibangun.” Struktur pembayarannya adalah cash counter trade: Investasi dibayar dengan hasil produksi. Artinya secara arus kas nilai tambah terbesar dari hilirisasi SDA berjalan ke rekening investor di luar negeri. Uang yang mengalir ke Indonesia terbatas pada biaya operasional lokal—upah buruh, listrik, pembelian jasa lokal—bukan arus devisa bersih.
Ini bukan praktek transfer pricing. Ini adalah skema investasi yang disetujui pemerintah sejak awal, lengkap dengan insentif fiscal, tax holiday, fasilitas kemudahan investasi, dan izin lingkungan yang kadang dipermudah. Pemerintah menyetujuinya bukan tanpa alasan. Kita tidak punya modal sendiri, tidak punya teknologi tinggi, dan tidak bisa mengunci pasar global. Banyak izin keluar dengan argumen klasik: “Ini untuk menyerap tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.” Tapi data empiris menunjukkan. Saat era tanpa smelter (masa SBY), pertumbuhan ekonomi mampu melampaui 6%. Setelah smelter marak pencapaian 6% menjadi sulit diraih.
Nah, ketika investasi smelter sudah berjalan dan ekspor komoditas meningkat, pemerintah baru menyadari satu hal yang ironis: Devisa Hasil Ekspor (DHE) tidak masuk ke sistem keuangan nasional secara signifikan. Reaksi legislatif dan eksekutif pun muncul sebuah kebijakan: wajibkan repatriasi sebagian DHE ke bank domestik. Ini adalah momen yang layak dicatat dalam sejarah kebijakan. Ketika pemerintah mencoba mengatur arus valas tanpa memahami struktur arus itu sendiri. Aturan DHE itu persis seperti melarang angsa berenang di Parigi. Anda bisa saja menulis larangan di kertas, tapi angsa tetap akan berenang karena itu memang habitat alaminya.
Fasilitas seperti offtake agreements dan cash counter trade bukan sekadar instrumen perdagangan. Mereka adalah mekanisme keuangan global terintegrasi dengan kontrak investasi. Itu terjadi melalui instrumen pasar uang global yang melibatkan Bank international sebagai mengelola settlement yang jauh dari jangkauan bank domestic. Kapital keluar masuk mengikuti logika efisiensi risiko, bukan peraturan administratif.
Mengapa ? Ini terjadi karena Indonesia menjalankan rezim kurs mengambang, Open capital account dan berpartisipasi dalam pasar derivatif offshore. Di bawah rezim ini, kapital bersifat mobil—berpindah ke tempat yang memberikan return terbaik dan risiko terkecil. Tidak masuk akal ketika peraturan memaksakan “penahanan devisa di bank domestik” sementara rezim moneter memberi sinyal sebaliknya: bebas dan efisien.
Apa yang sebenarnya terjadi? Elite politik memandang DHE sebagai masalah administrasi. “ Jika devisa tidak masuk, kita wajibkan pemerintah memasukkan devisa. Tekhnorat pasar melihat arus valas sebagai fenomena structural. Arus valas ditentukan oleh kontrak global, settlement internasional, dan pilihan efisiensi eksportir.
Artinya ? Kebijakan dibuat bukan berdasarkan pengetahuan yang mendalam tentang arsitektur finansial global, tetapi didorong oleh tujuan politik oportunis yang tidak cukup smart. Akibatnya? SDA dikorbankan, risiko lingkungan ditanggung lokal, nilai tambah mengalir ke luar negeri dan Cadangan devisa tetap dicari melalui utang, bukan surplus ekspor.
Kesimpulan
Aturan DHE yang baru hanyalah simbol dari sebuah masalah yang lebih besar: gap knowledge struktural antara pembuat kebijakan politik dan realitas pasar global. Ketika kebijakan dibuat tanpa memahami mekanisme teknis global, hasilnya bukan hanya gagal—melainkan kontraproduktif. Ini bukan soal “siapa pintar siapa tidak”. Ini soal mengakui kompleksitas pasar global dan merumuskan kebijakan yang berdampak nyata, bukan hanya terlihat bagus di headline.





