Saturday, January 18, 2025

Javier Milei

 




Javier Milei, pria kelahiran Buenos Aires-Argentina tahun 1970. Gayanya yang sedikit urakan dengan rambut agak panjang tak terurus. Walau orang menyebut dia gila. Namun dia menyebut dirinya singa. Terlepas soal itu. Dia adalah Pakar ekonomi pertumbuhan. Guru besar ekonomi. Menulis banyak buku soal pertumbuhan dengan falsafah anarko kapitalis. Memang agak laen kalau dibandingkan dengan ekonom status quo yang berlindung kepada kekuasaan negara untuk mengendalikan pasar dan proteksionisme. Dia justru anti statusquo. Politisi yang libertian sayap kanan.


Tahun 2021 Milei jadi anggota Dewan. Kondisi ekonomi Argentina sangat buruk. Supermarket Argentina menaikkan harga hampir setiap hari. Keluarga kelas menengah berusaha menghabiskan uang peso mereka yang terdepresiasi dengan cepat secepat mereka mendapatkannya. Sebagai pakar ekonom. Dia kritik pemerintah. Yang sekian decade berbohong atas data moneter dan fiskal. Hanya ingin mempertahankan statusquo. Pada akhirnya pasar menghukum. Negara berada di ambang hiperinflasi. Jejak reformasi ekonomi yang gagal.


Tahun 2023 Milei terpilih sebagai presiden. Dia mewarisi ekonomi dengan tingkat inflasi tahunan tertinggi di dunia: 211 persen. Harga naik dari bulan ke bulan sebesar 13 persen, melonjak menjadi 25 persen pada bulan Desember 2023. Lawan politiknya bekata “ Coba buktikan omongan lue selama ini yang kritik pemerintah. Paling jadi penguasa, korupsi juga.” Nada skeptis itu wajar. Karena membalikan situasi ekonomi Argentina ke arah perbaikan, seperti mission impossible. Karena sudah begitu parah kerusakannnya. 


Nah apa yang Milei lakukan? Dia buka borok peso lewat devaluasi mata uang. Dampaknya sangat buruk bagi rakyat. Namun itu lebih baik daripada menyimpan kebohongan. Selama ini anggaran habis hanya untuk subsidi dan Bansos guna menutupi kebobrokan pemerintah yang korup. Bagi Milei, koruptor terbesar adalah bank central dan lebih buruk lagi karena kebijakan fiscal yang korup dan terdistorsi.


Setelah itu, Milei, penggal 40% APBN. Menghapus semua bentuk subsidi. Dampak kebijakan ini tentu menimbulkan biaya sosial yang besar, memicu resesi , peningkatan pengangguran, dan penurunan upah riil baik di sektor publik maupun swasta. Kemiskinan melonjak hingga 53 persen pada paruh pertama tahun 2024, naik dari 40 persen pada tahun 2023 – lonjakan tertinggi yang tercatat dalam dua dekade. 


Semua terukur dan Milei yakin dengan kebijakannya. Apa hasilnya ? APBN surplus di penghujung tahun 2024. Ini kali pertama terjadi. Kebijakan stabilitas ekonomi makro nya mengubah persepsi Argentina di pasar. JP Morgan menilai Indeks risiko negara, dari 2000 menjadi 750. Terendah dalam lima tahun. Inflasi bulanan pada November 2024, berada pada angka 2,4 persen. Merupakan angka terendah dalam lebih dari empat tahun. Belanja konsumen dan manufaktur menunjukkan peningkatan.  Pada bulan September 2024. Pertumbuhan upah melampaui inflasi selama enam bulan berturut-turut. 


Secara keseluruhan, menurut Bank Dunia diperkirakan resesi tahun 2024 akan menghasilkan ekspansi ekonomi sebesar 5 persen pada tahun 2025. Tentu pertumbuhan inklusif bukan absurd seperti sebelumnya. Luar biasa memang. “ Argentina itu punya SDA yang sangat besar. Selama sekian decade ekonomi diurus oleh para oportunis. Namun sekali lahir pemimpin benar, tidak butuh lama untuk recovery. Nothing to impossible bagi Argentina “ Kata teman lewat chat forum financial.


Kehebatan Milei dalam mengelola ekonomi Argentina dari terpuruk menjadi bangkit dengan percaya diri telah menjadi inspirasi banyak pemimpin dunia. Bahkan, Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump, berulang kali memuji Milei, menyebutnya sebagai "presiden favoritnya". Elon Musk dan  Vivek Ramaswamy terobsesi mengikuti gaya kepemimpinan Milei yang punya nyali besar merampingkan APBN dan sekaligus mampu memitigasi dampak politik dari kebijakannya itu. Tentu karena dia cepat sekali membuktikan janjinya.

Thursday, January 2, 2025

Ekonomi Indonesia hopeless ?

 





Gerakan rakyat bersuara lewat media social sangat massive. Konten soal kenaikan PPN 12% viral berhari hari. Padahal kenaikan tahun 2022 dari 10 % ke 11 % engga ada yang ribut. Entah apakah ada agenda politik dibalik itu atau tidak. Tapi dengan melemahnya daya beli rakyat terutama kelas menengah, sepertinya issue kenaikan PPN 12% itu bergaung lebih karena ungkapan frustrasi. Engga tahu harus teriak gimana lagi. 


Kalaupun akhirnya kenaikan PPN 12% batal naik untuk konsumsi umum kecuali barang mewah, pendapatan dan daya beli tetap rendah. Karena jumlah PHK tahun ini akan terus bertambah. Diperkirakan akan mencapai 250.000 orang kehilangan pekerjaan. Itu sama saja 1 juta orang Indonesia hopeless di hari hari mendatang.


Mengapa ? 


Ada tiga masalah  yang membuat kita sulit bergerak ke depan secara real dan memastikan bahwa keadaan ekonomi kita sedang tidak baik baik saja.


Pertama. Pada 24 Juni 2024, Presiden Jokowi meminta relaksasi restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 diperpanjang hingga tahun 2025.  Itu penundaan ketiga kalinya.  Menurut   OJK per Maret 2024 total relaksasi kredit mencapai Rp 228 triliun. Padahal udah dingatkan oleh IMF agar tidak boleh diperpanjang. Apa alasan IMF.? perpanjangan program restrukturisasi kredit bisa terus menumbuhkan 'perusahaan zombie'. Bisa jadi, perbankan menyimpan bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Artinya dengan diperpanjang terus menerus, sebenarnya debitor sudah tidak mampu bayar alias macet. Mereka seperti deadduck. Potensi kredit macet itu.


Kedua. Likuiditas dalam negeri seret. Biang keroknya. SBN menyerap dana perbankan dan Lembaga keuangan non bank. Sementara BI melalui instrument SRBI juga menyerap dana bank dan Lembaga keuangan non bank, termasuk dana asing. Dana public masuk kas negara untuk belanja dan masuk kas BI untuk menjaga stabilitas Rupiah. Apa yang terjadi? Dana untuk sector real lewat pemberian kredit modal kerja dan investasi jadi berkurang. Kalaupun ada, suku bunga sudah tinggi. Dengan situasi pasar global suram, cost of fund yang tinggi akan mengurangi minat orang untuk ekspansi. 


Ketiga. Mengutip publikasi BI, total utang sektor publik Indonesia sampai akhir kuartal III-2024, telah mencapai Rp16.601,02 triliun. Itu setara dengan 79,5% terhadap PDB. Utang sektor publik terdiri atas utang Pemerintah (pusat dan daerah) senilai Rp8.607,64 triliun, lalu utang BUMN nonkeuangan Rp1.021,02 triliun. Juga, utang BUMN sektor keuangan sebesar Rp6.972,35 triliun. Sebagai perbandingan, 10 tahun lalu, rasio utang publik terhadap PDB Indonesia baru di angka 57,02%. 


Yang memberatkan sekali adalah sebesar 26,2% adalah utang dalam denominasi valuta asing. Sementara utang publik di mana krediturnya adalah nonresiden (asing), porsinya mencapai 25,53%. Artinya lebih separuh utang ke asing. 15% dari total utang luar negeri adalah berjangka pendek. Apa jadinya kalau terjadi capital outflow ? Bisa tumbang rupiah. Nah untuk menjaga tidak terjadi capital outflow dan kurs tetap stabil,  walau tingkat inflasi rendah namun BI terus pertahankan suku bunga tinggi  dan tentu prospek bisnis sekarang dan akan datang suram.


Dengan tiga masalah itu, agar bank bisa melaksanakan tugas intermediasinya. BI telah membuat Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). BI injek uang ke perbankan lewat REPO line dan pelonggaran GWM, LTV dan lain lain. Namun tidak jelas hasilnya. Mungkin ketidakjelasan wewenang BI dalam hal ini. Karena untuk memastikan bahwa resiko sistemik dikelola dengan baik, tidak ada system  kelembagaan yang bertugas melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap KLM ini. Apalagi sumber uang BI dari sekuritasi SBN yang dibeli dari pemerintah. Sangat beresiko terjadi moral hazard.


Pemerintah tetap mengandalkan APBN ekspansif sebagai lokomotif pertumbuhan. Mengeluarkan dana stimulus sekitar Rp 500 triliun agar daya beli rumah tanngga meningkat dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. Sementara pembayaran utang dan bunga lebih dari 1/3 APBN. Jadi praktis tidak ada dampak pertumbuhan inklusif terhadap belanja APBN, kecuali utang terus bertambah dan ruang fiscal semakin menyempit. Apalagi kedepan, harga komoditas utama Indonesia jatuh di pasar dunia. Penerimaan pajak tidak tercapai. Kita bukan hanya krisis moneter tetapi spiral krisis.


Solusinya?

Pemerintah harus penggal APBN sampai 30%. Restruktur cabinet agar ramping. Sehingga birokrasi jadi efisien dan gesit. Abaikan infrastruktur ekonomi dan proyek marcusuar seperti IKN. Focus aja ke proyek yang dirasakan langsung oleh rakyat seperti pengadaan rumah bagi orang miskin dan swasembada pangan serta hilirisasi pertanian lewat ecologi pertanian.


Untuk anggaran pembiayaan sumber dananya alihkan ke thematic bond. Optimalkan keberadaan INA sebagai sovereign wealth fund atas dasar project derivative value lewat securitisasi cadangan Mineral tambang dan migas. Optimalkan reformasi pajak yang menyasar kepada pengusaha rente yang dapat konsesi HGU Sawit, HGB property, IUP tambang. Kalau itu dilakukan, kita bukan hanya bisa lunasi utang dengan cepat tetapi juga membuat ekonomi tumbuh secara inklusif dan sustain.


***

Selama ini kita menilai kinerja ekonomi negara atas dasar pertumbuhan PDB. Cara ngitungnya menggunakan model statistic  berdasarkan data akuntasi negara. Namun pertumbuhan PDB tinggi tidak inline dengan kesejahteraan. Prabowo mengatakan dalam pertemuan di Lima, Peru. Walau Indonesia tergabung dalam kelompok negara 1 trilon dollar AS PDB namun Prabowo akui kemiskinan di Indonesia masih dalam skala besar. 


Buku The Financialization of GDP: Implications for economic theory and policy (Routledge Advances in Heterodox Economics) oleh Yacob Assa, berusaha membongkar teori PDB. Assa berusaha menelusuri semua aspek dari teori dan kebijakan terkait financialisasi PDB itu. Dia berpendapat PDB tidak clean sebagai indicator ekonomi. Mengapa? PDB tidak memasukan biaya pencemaran lingkungan, dan tidak menghitung pekerjaan yang tidak dibayar.


Mengapa negara berusaha menggenjot eksploitasi SDA dengan berani mengorbankan resiko lingkungan. Eksploitasi hutan jadi tanaman monokultur  ( sawit dan estate food) yang berdampak kepada pemanasan global. Pemberian konsesi IUP dalam skala sangat luas untuk tumbuhnya industry ekstraksi. Itu semua tidak lain cara pemerintah menjadikan potensi SDA itu menjadi potensi ekonomi dan bisa dihitung secara financial. 


Sehingga hitungan PDB itu bisa dijadikan underlying untuk mengakses sumber daya keuangan lewat pasar uang. Dengan akses besar itu pemerintah tetap bisa mempertahankan APBN yang ekspansif. Walau hutang bertambah, kelak PDB akan bertambah juga. Tentu akan semakin besar akses kepada sumber daya keuangan. Begitu cara berpikir sederhananya. Ya tak ubanya dengan skema ponzy.


Yang jadi masalah, PDB hanya akuntasi dan statistic, sementara hutang adalah real. Benar benar ada dan jelas tanggung jawabnya. Yaitu bayar bunga dan utang. Nah pas bayar kan tidak bisa dari angka PDB, tentu harus dari kinerja real berupa pajak dan pendapatan devisa dari ekspor. Yang  jadi masalah pertumbuhan ekonomi lewat financialisasi PDB itu justru semakin lama membuat fundamental ekonomi real negara jadi berkurang. Itu ditandai semakin besarnya belanja yang didominasi oleh pembayaran utang dan bunga. Akibatnya mengurangi kemampuan negara create job.


Jadi paham ya mengapa pemerintah Prabowo mulai tahun ini melarang BPS mengeluarkan laporan indicator ekonomi yang sudah berlangsung sejak tahun 1970. Karena memang laporan itu bias dan absurd. Contoh BPS melaporkan tingkat inflasi terendah bulan desember. Pemerintah bangga. Tapi yang dirasakan rakyat justru harga harga pada naik. Nah mana yang benar? Kan jadi polemic omong kosong. Sementara data BPS tidak pernah jadi solusi agar rakyat tidak bokek. Kecuali hanya onani doang.



Wednesday, January 1, 2025

Ekonomi Vietnam VS Indonesia.

 



Perang Vietnam berlangsung 20 tahun. Berakhir tahun 1975. Perang itu memakan ongkos materi dan non materi serta nyawa yang tidak sedikit. Praktis usai perang. Vietnam kekurangan segala galanya. Banyak orang pintar yang gugur dalam perang. Ada juga yang terpaksa eksodus  ke luar negeri. Data fundamental ekonomi tahun 1980an. PDB per kapita berada di kisaran $200 dan $300. Konsolidasi politik dan perancanaan disusun untuk masa depan. Tahun 1986 pemerintah memperkenalkan “Đổi Mới”, serangkaian reformasi ekonomi dan politik, dengan tema “ekonomi pasar berorientasi sosialis”.


Apa yang dilakukan Vietnam? Pertama, mereka tanpa ragu mengadopsi liberalisasi perdagangan dengan penuh semangat. Berbagai perjanjian perdagangan bebas  ditandatangani. Tahun 1986 UU PMA dibuka luas. Pada tahun 1995, Vietnam bergabung dalam ASEAN. Pada tahun 2000, Vietnam menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan AS, dan pada tahun 2007 bergabung dalam WTO. Vietnam juga ikut dalam kesepakatan Free Trade Area:  ASEAN Free trade Area, Tiongkok, India, Jepang, dan Korea.


Kemitraan Trans-Pasifik yang diamandemen mulai berlaku . Efek kumulatif dari semua perjanjian ini adalah penurunan bertahap tarif yang dikenakan pada impor dan ekspor ke dan dari Vietnam. Secara tidak langsung Vietnam jadi kawasan bebas pajak. Kemudian secara gradual, pemerintah terus memperbaiki UU PMA dan debirokratisasi agar semakin besar peluang modal asing masuk ke dalam negeri.


Apa yang terjadi ? Semua index Ekonomi membaik. Daya Saing Global menurut versi Forum Ekonomi Dunia, naik dari peringkat ke 77 pada tahun 2006 ke peringkat 55 pada tahun 2017. Index easy doing business peringkat 104 pada tahun 2007 ke peringkat 68 pada tahun 2017. Selanjutnya kemajuan terus meningkat significant. Karena kemajuan itu juga ditandai semakin inklusif nya ekonomi yang bisa diakses oleh rakyat. Ekonomi jadi efisien dalam segala hal. Hutang terhadap PDB rendah. Hanya 33,5% ( tahun 2023).


Kedua. Pada waktu bersamaan Vietnam banyak berinvestasi dalam sumber daya manusia dan infrastrukturnya. Vietnam melakukan investasi publik yang besar dalam Pendidikan. Bukan hanya sekolah wajib 9 tahun tetapi penyediaan Lembaga vokasi yang sangat massive dengan beragam keahlian. Kampus terbaik dibidang sains dan tekhnologi juga dikembangkan. Kemitraan international dalam riset kampus dengan swasta local, asing dilaksanakan lewat insentif pajak.


Investasi tersebut membuahkan hasil. Dihitung dari tingkat output dan upah yang dbayar. Menurut laporan McKinsey (2023), pekerja Vietnam memiliki efisiensi kerja 20% dari Indonesia. Kombinasi produktivitas tinggi dan biaya rendah ini, menjadikan Vietnam pilihan utama bagi banyak perusahaan global. Sebagian besar branded dunia diproduksi dan dimanufakur di vietnam. Dari Industri highTech seperti Telp Selular, elekronik, komputer, permesina, otomatif dan sparepart,  sampai yang mass product seperti alas kaki, tabeware dan TPT. Industri dasar seperti Petrokimia yang didukung dengan downstream seperti plastik dan barang barang plastik. 


Dari SDA yang Vietnam miiki juga dikembangkan dengan mindset industri. Vietnam menjadi produsen dan eksportir terbesar untuk hasil laut, seperti udang, cumi, kepiting, dan lobster, Beras. Kontribusi pertanian dan perikanan terhadap PDB 20%. Sementara Share industry dan manufaktur terhadap PDB sebesar 24,8% ( tahun 2022). Vietnam mencatat growth Industrinya, sementara indonesia terjadi deindusrialiasi. Era pak Harto growth Industri diatas 20%. Kini turun jadi 18,52 % yang sebagian besar didominasi oleh industry ekstrasi, bukan industry kreatif.


Nilai perdagangan luar negeri Vietnam pada tahun 2023 mencapai USD 683 miliar. Bandingkan aja dengan Indonesia yang total ekspor migas dan non migas pada tahun yang sama sebesar US$259 miliar. Padahal kekayaan SDA dan jumlah penduduk, Indonesia lebih besar. Indonesia masuk G20. Mengapa ? Tingkat produktivitas pekerja Indonesia dalam periode 2010-2017 hanya tumbuh 3,8%, lebih lambat jika dibandingkan dengan Vietnam 5,8%. Bahkan indikator Total Factor Productivity (FTP) Indonesia pada periode yang sama tumbuh -1,5%. Sementara Vietnam 1,8%


Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Vietnam sejak 2014, selalu lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia kecuali pada 2021. Bahkan yang menarik di saat ekonomi dunia mengalami kepanikan akibat pandemi Covid-19 di 2020, pertumbuhan PDB Vietnam masih berada dalam teritori positif 2,91%. Berbeda halnya dengan Indonesia yang mengalami resesi dan PDB di 2020 terkontraksi menjadi -2,07% dari yang sebelumnya 5,02% pada 2019.


Pertumbuhan PDB per kapita Vietnam juga terlihat lebih cepat dibandingkan Indonesia dalam rentang periode 2014-2022. PDB per kapita Indonesia di tahun 2014 sebesar US$3.531,5 sementara di tahun 2022 menjadi US$4.783,9 atau tumbuh 35,46% dalam delapan tahun. Berbeda halnya dengan Vietnam, PDB per kapitanya tumbuh lebih tinggi yakni 49,13% dalam periode tersebut meskipun secara nominal, PDB per kapita Vietnam lebih rendah dibandingkan Indonesia. Tentu dengan tingginya pertumbuhan ekonomi tidak sulit bagi Vietnam menyalip Indonesia.


Berdasarkan index Pembangunan inklusif yang dilaporkan oleh Forum Ekonomi Dunia, Vietnam merupakan bagian dari kelompok ekonomi yang telah berhasil membuat proses pertumbuhan lebih inklusif dan berkelanjutan. Indicator nya bisa dilihat dari kesetaraan gender. Menurut Bank Dunia, tingkat pekerjaan wanita berada dalam kisaran 10% dari kaum laki-laki dan rumah tangga yang dipimpin perempuan cenderung tidak miskin dibandingkan rumah tangga yang dipimpin laki-laki, meskipun ketimpangan masih ada.


Tahun lalu saya ke Hanoi. Saya  merasakan energi tak terbatas di mana-mana. Orang-orang berlalu-lalang dengan skuter, membeli dan menjual segala hal mulai dari ponsel hingga makanan di toko-toko kecil yang tak terhitung jumlahnya, dan berlari ke sana kemari untuk pergi ke sekolah atau bekerja. Vietnam masih muda, sedang berkembang, dan segala sesuatu terasa mungkin. 


Bagaimana dengan adanya fenomena proteksionisme market domestic bagi negara maju terhadap ekspor Vietnam? Tanya saya kepada teman di Vietnam. “ Dari awal kami konsisten dengan kesepakatan pasar bebas dan Free trade agreement. Tidak pernah ikutan membuat kebijakan tarif proteksionisme. Jadi kami tidak pernah ada masalah dengan perang dagang. Justru karena perang dagang itu, terjadi relokasi industry dari China, Eropa, Korea dan Jepang ke Vietnam. Mereka ingin terhindar dari perang tarif.


Sementara itu, kami rumah produksi bagi banyak PMA negara AS, Cina, Korea, Eropa , Jepang. Semua ekspor oriented. Engga mungkin mereka proteksi pasarnya. Kan pabrik di Vietnam itu korporat mereka sendiri. Kalau kena proteksi, yang rugi mereka sendiri. Dan lagi kami tidak pernah proteksi pasar domestic. Jadi tidak mungkin ada tarif tandingan dari neagara lain. Kami patuh dengan kesepakatan pasar international” Kata teman menjawab secara diplomasi. 


“ Tentu kami sudah persiapkan dengan matang. Sudah ada  jadwalnya kapan saatnya kami akan focus kepada inward looking policy. Setelah Asset financial luar negeri kami cukup kuat, ya kami tidak akan lagi sepenuhnya bergantung kepada PMA dan ekspor. Semua butuh waktu berproses dan semua akan indah pada akhirnya kalau dikerjakan dengan sungguh sungguh dan niat baik “ Lanjut teman. Kunci kemajuan Vietnam adalah ndex korupsi terus membaik dari tahun ke tahun. Kini yang pasti jauh lebih baik dari Indonesia. Mungkin tahun 2025 Vietnam akan jadi naga di Asia Tenggara. 

Monday, December 30, 2024

Mengapa PPN harus naik?

 



Tahun 2020 dalam rangka menghadapi Pandemi COVID19, pemerintah keluarkan Perppu No. 1/2020. Esensi dari Perppu itu adalah memungkinkan pemerinah menaikan defisit diatas 3% PDB. Jadi lebih flexible. Namun dengan asumsi Pandemi sudah diatasi, maka tahun anggaran 2023 kembali ke 3% PDB batasan defisit.  Dalam mengatasi pandemi ini pemerintah keluarkan dana tidak sedikit. Total anggaran PEN ( Pemulihan Ekonomi Nasional) dari tahun 2020 hingga tahun 2022 adalah Rp1.645 Triliun.


Sumber pembiayaan PEN itu berasal dari penjualan SBN kepada BI. Dengan beban bunga bersama sama ditanggung pemerintah dan BI ( burden sharing.). Total nya mencapai Rp. 836,56 triliun. Bagaimana pemerintah membayar SBN ini? Dirancang lah UU HPP ( Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Artinya sumber pembayaran utang itu berasal dari pajak. Dalam UU HPP No. 7/2021 kajian akademis nya atas dasar asumsi tentang situasi ekonomi. 


Pada UU HPP, Pasal 7 Ayat (3) pada Bab IV, Pemerintah diberi hak oleh UU untuk menentukan tarif dengan range 5-15%. Artinya pemerintah bukan hanya punya hak menaikan tariff sampai 15%, tetapi juga bisa turunkan tarif sampai 5%.  Tentu tergantung situasi ekonomi. Tahun 2022 PPN naik 1% menjadi 11% dan tahun 2025 akan naik menjadi 12%. Apakah karena ekonomi Indonesia baik baik saja. ? Tentu tidak. Data terhadap daya beli yang merosot. Index Purchasing meneger yang kontraksi itu sudah cukup bukti. Makanya pemerintah keluarkan paket stimulus mengantisipasi mereka yang terdampak akibat kenaikan PPN itu.


Pemerintah sangat paham bahwa dalam kondisi ekonomi global dan prospek yang tidak baik baik saja karena ketidakpastian, menaikan PPN itu tentu tidak popular dan tidak bijak. Namun masalahnya, ini soal pilihan diantara pilihan yang semua buruk. Maklum ketahanan fiscal kita sangat rentan dan ruang sangat sempit. 


Perhatikan. 100% dari belanja APBN itu sudah dialokasikan untuk mandatory spending.

20% untuk Pendidikan.

25% untuk daerah.

10% untuk dana desa.

6% untuk Kesehatan.

Berapa total ? 61%.

Masih sisa 39%. Nah sisa itu untuk belanja rutin, bayar bunga 15%. Cicilan utang sebesar 30%. Jadi berapa sisa ? ya tekor alias defisit 6%. Itu belum termasuk anggaran kementrian, ASN, TNI dan POLRi dan bansos. Makanya pontensi defisit sangat besar. Apalagi realisasi penerimaan pajak tahun 2024 tidak tercapai sesuai target.


Memang dilemma. Misal, PPN tidak dinaikan. Maka defisit APBN akan melebar. UU tidak membenarkan defisit diatas 3% dari PDB. Kalaupun UU direvisi dan boleh defisit diatas 3%. Maka defisit itu akan ditutupi dengan hutang. Itu berat. Karena financial market tidak likuid dan bunga tinggi. Pada akhirnya utang ini akan ditanggung  oleh rakyat dimasa depan.  Kalau PPN dinaikan, defisit bisa dibawah 3% PDB. Utang baru tidak bertambah significant  dan tahun 2025 punya ruang untuk bayar bunga dan utang yang mencapai Rp1.350an triliun (lebih 1/3 APBN).


So, kembali kepada pertanyaan awal. Mengapa PPN naik? Ya kondisi fundamental kita terjebak dengan beban utang dan pagu defisit yang sudah dikunci oleh UU. Memang benar seharusnya  PPH yang diandalkan. Masalahnya, tax reform  engga bisa cepat. Butuh proses lama baik secara politik maupun administrasi. Tahun 2025 ini akan lanjut tax reform dengan adanya program CORETAX ( Core Tax Administration System.)


Dengan reformasi pajak ini akan meningkatkan tax ratio dan bisa mendukung agenda presiden meningkatkan pertumbuhan diatas 8%. Karena potensi penerimaan pajak akan meningkat lewat kenaikan tarif, peluasan wajib pajak dan lain lain.? Sepertinya yang disasar lebih dulu adalah bisnis rente sebagai sumber pajak. Karena setiap konsesi bisnis seperti HGU sawit, IUP minerall tambang, Kontrak revenue sharing migas kan semua berasal dari negara. Ya dari sana negara akan perketat pengawasan pajaknya lewat CORETAX. 


Potensi penermaan pajak dari rente itu sangat besar. Bisa diatas Rp. 3000 triliun. Selama ini memang dibancakin oleh oligarki. Contoh kasus ilegal mining. Fraud DMO sawit. Fraud alih fungsi lahan, ekspor illegal nikel dan lain lain. Semoga PS konsisten dan punya nyali besar menghadapi oligarki. Karena bagaimanapun pengusaha itu punya uang dan punya akses kekuasaan untuk menghindari pajak. Apalagi semua partai teman mereka. Kalau benar reformasi pajak ini menyasar kepada oligarki, pengorbanan rakyat atas kenaikan PPN,  fair enough.

Monday, December 23, 2024

DHE dan rezim devisa bebas.

 



Sebelum tahun 1970 kita menganut rezim devisa control. Setelah tahun 1970, Indonesia mulai melakukan deregulasi rezim devisa menuju diterapkannya rezim devisa bebas. Sejak itu mata uang kita selalu terdepresiasi dari tahun ke tahun.  1978 pemerintah melakukan kebijakan devaluasi rupiah sebesar 33,6% yaitu dari Rp 415 per dolar AS menjadi Rp 625 per USD. Puncaknya terjadi krisisi moneter tahun 1997. Kurs rupiah terjun bebas.


Sejak reformasi sampai kini, kita gagal mengelola system devisa bebas. Mengapa saya katakan gagal? Karena setiap pelemahan kurs tidak berdampak luas terhadap transformasi ekonomi dari SDA ke Industri. Padahal seharusnya saat IDR melemah, daya saing kita tinggi untuk dapatkan devisa ekspor yang akan memperkuat cadev dan pada waktu bersamaan barang impor jadi mahal. Industri domestic dapat proteksi untuk berkembang.


Memang dengan adanya resim devisa bebas kita dapat solusi mudah mendapatkan pinjaman luar negeri dan ketika ditukar ke IDR jadi banyak. Terasa efisien untuk mengeskalasi pertumbuhan ekonomi. Tapi yang terjadi, utang menjadi solusi terus menerus dan pada waktu bersamaan struktur ekonomi terdistorsi karena adanya rente dan subsidi. 


Di zaman Soeharto distorsi system itu tidak nampak. Karena kita menganut neraca berimbang. Tapi di era reformasi, mudah sekali mengetahuinya. Tanpa terasa, hutang semakin membesar dan struktur bangun ekonomi kita tetap tidak beranjak. Mengandalkan SDA. Bahkan sekarang terjadi deindustrialisasi.  Dan pemerintah mulai gamang. Makanya keluar  aturan DHE ( devisa Hasil ekspor). Mungkin karena likuiditas valas semakin mahal dan engga mudah lagi. 


Nyatanya aturan DHE ini tidak efektif menyerap devisa hasil ekspor. Hanya 10% dari total penerimaan devisa. Selebihnya parker di luar negeri. Karena  memang sebagaimana Undang-Undang nomor 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan valas.  Kalaupun kewenangan BI dalam pengaturan pengelolaan lalu lintas devisa, namun itu bukan merupakan kebijakan kontrol devisa. Karena diberlakukan hanya bagi resident. Kebijakan tidak berlaku bagi non-resident.


Sementara dalam penerapan sistem devisa bebas, aturan yang ada kalah cepat dengan perkembangan tekhnologi financial. Apalagi dengan adanya ekosistem financial peer to peer.  Sehingga sulit bagi BI memantau lalulintas devisa dan kadang dengan adanya instabilitas IDR terkesan tidak kredibel. Hal ini menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional.Contoh sederhana. Kasus TPPU ratusan triliun, ekspor illegal mining, Judi online, impor and ekspor emas. Semua dana Valas terbang ke LN. Kita hanya tahu catatan doang.


DHE bukan solusi. Abaikan saja aturan DHE itu. Karena justru membuat distrust pasar terhadap IDR. Dan lagi memang melanggar prinsip devisa bebas. Sebaiknya UU 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistim Nilai Tukar itu direvisi. Kita tidak mengubah system devisa bebas, namun memastikan sistem pembayaran via virtual account, API, ETF tidak  bebas bagi uang haram keluar masuk indonesia. SDA kita tidak di exploitasi berlebihan oleh komprador melalui skema trade financing, counter trade,  inkind loan, selling credit dll.  Sehingga pengelolaan lalu lintas devisa kita bebas namun bermartabat


“ Mengubah UU No. 24/1999 itu sama sulitnya dengan menggolkan UU terkait anti korupsi seperti UU Pembuktian terbalik dan UU perampasan Aset. Karena yang kuasai valas adalah oligarki dan mereka yang berkuasa. Engga mungkin UU itu diubah. Mungkin setelah IDR terjun bebas, baru bisa diubah.” Kata teman.

Monday, December 16, 2024

Ekonomi global suram, ekonomi kita kelabu

 





Ale, mengapa baik presiden maupun Menteri selalu bicara dengan nada kawatir terhadap ekonomi global. Dan diujung kekawatiran itu ada pesan bahwa saat sekarang ekonomi Indonesia masih tumbuh. Tetapi tidak mengurangi kesan engga ada hope. “ Tanya Ira.


China sedang membalik arah kapal besar ekonominya dari outward looking policy ke inward looking policy. Focus kepada pertumbuhan inklusif. Makanya  struktur ekonomi juga berubah. Dalam proses itu wajar kalau terjadi goncangan. Krisis property dan surat utang daerah terjadi. Sudah 2 tahun berlangsung sampai kini masih dalam proses recovery. Bulan lalu China sudah keluarkan dana stimulus sebesar Rp. 20.000 triliun. Dan sebentar lagi akan keluar lagi dana stimulus jilid 2 dalam bentuk devaluasi mata uang yuan. 


Tentu ini berdampak serius terhadap ekonomi negara mitra dagang China. Terutama Indonesia.  Mata uang yuan melemah akan membuat barang impor jadi mahal di Cina. Dan ini akan berdampak menurunnya harga dan permintaan atas komodiitas ekspor kita. Sementara 100% ekspor nikel dan 80% ekspor batubara ke China. Dua komoditi itu sangat penting menopang kekuatan devisa dan penyumbang surplus neraca perdagangan Indonesia. 


China sampai 5 tahun kedepan akan tetap focus kepada inward looking policy. Pertumbuhan yang beberapa decade dipicu ekspor, akan berubah kepasar domestic. Tentu berdampak kepada Indonesia. Selama 55 bulan trend surplus neraca perdagangan menurun. Data dari tahun 2022, batubara dan nikel terus menurun baik harga maupun volume eksport nya. Belum lagi supply chain industry dalam negeri banyak bergantung kepada China. Nilai impor akan meningkat. Surplus neraca perdagangan kita terancam.Fundamental ekonomi kita berderak. Kurs IDR akan terus terdepresiasi. 


Sama hal dengan AS. Focus kepada inward looking policy. Yang ditandai dengan kebijakan proteksionisme market. Dampak perubahan ini sangat sistemik terhadap perekonomian AS dari sebelumnya. Tentu berdampak luas kepada negara lain. Maklum AS tetap ekonomi nomor 1 dunia yang USD menjadi magnitude pertumbuhan dunia. Kurs USD akan terus menguat. Sehingga the Fed rate tidak lagi berpengaruh terhadap arus modal. Tetapi motive safe haven. Ini alarm akan terjadinya capital outflow bagi negara emerging market seperti Indonesia. Keruntuhan ekonomi hanya masalah waktu.


Kalau AS dan China menerapkan inward looking policy, mengapa kita tidak lakukan hal yang sama, kata Ira berusaha mencari solusi terhadap fenomena ekonomi global.AS dan China punya financial resource yang besar dan itu karena power ekonomi mereka juga besar. ibarat kapal besar, power mesin kapal mereka sangat besar. Kalau melakukan manuver tidak beresiko tenggelam walau tentu ada goncangan.


Lah, Indonesia?. Kapal besar, mesin kapal kecil. Mesin tempel. Kalau lakukan manuver, ya tenggelam. Kewajiban valas kita itu jauh lebih besar daripada asset valas kita. Selisihnya sebesar USD 274 miliar pada kwartal III tahun ini. USD 50 miliar aja capital outflow, rupiah jadi tissue toilet. Solusi sulit untuk diterapkan. Karena ekonomi Indonesia terjebak hutang. Hutang luar negeri saja sudah diatas 30% dari PDB. Belum lagi sebagian besar supply chain industri dari luar negeri.  Demikian penjelasan saya. 


Artinya, tahun depan dan tahun tahun berikutnya ekonomi Indonesia akan stuck dan bisa jadi kontraksi. Ini akan berlangsung lama. Ramalan JP Morgan, tahun depan IHSG akan akan drop dibawah 7000. Apa jadinya kalau stabilitas politik tidak konduksif karena dipicu oleh kelas menengah yang marah akibat bokek! … Ira tidak bisa melanjutkan kata katanya. Dia tahu bukan pemerintah tidak menyadari resiko tapi ibarat orang terlilit hutang memang jadi bego dan irasional bersikap. Saya ikut berempati. Tapi hanya empati doang dan tentu berdoa agar Indonesia baik baik saja.


***

Walau pemerintahan PS berambisi mencapai pertumbuhan diatas 8%. Namun untuk tahun depan cukup pada target 5% saja. Apakah 5% bisa dicapai? Menurut saya sulit. Mengapa ?


Pertama. Batubara dan Nikel udah mendekati sunset. Tahun depan harga international akan terus turun. Karena adanya program zero emisi karbon yang semakin meluas di negara negara konsumen batubara seperti China, Jepang. CPO tidak akan tumbuh. Laporan Fitch Ratings-Singapura-26 Desember 2024 menyebutkan harga CPO pada tahun 2025 akan drop. Karena kalah saing dengan minyak kedelai yang jauh lebih murah dan sehat.


Kedua. Tidak ada pusat pertumbuhan baru yang bisa dongkrak ekonomi. Rencana proyek hilirisasi 20 komoditas pertanian tidak akan jalan. Karena belum ada rencana konkrit pemerintah akan mereformasi tata niaga pertanian. Apanya yang mau dihilirisasi, kalau produksi bahan baku tidak terjamin pasokannya.


Ketiga. Financialisasi PDB untuk dasar menerbitkan SBN akan semakin sulit dapatkan likuiditas berhutang. Disamping suku bunga dan Yield  tinggi. SBN tidak lagi menarik bagi investor. Kecuali SRBI yang bertenor jangka pendek. Pemerintah akan bergantung kepada pasar sekunder  SBN dimana BI sebagai pembeli. Ini akan sangat beresiko terhadap stabilitas kurs.


Keempat. Defisit fiscal yang tertekan akibat beban pembayaran Bunga dan hutang tahun depan akan semakin menyulitkan pemerintah dalam mengelola pertumbuhan, apalagi daya beli menurun dan IPM akan terus kontraksi. Setiap tahun pembayaran bunga terus meningkat. Pada 2020, pembayaran bunga utang hanya Rp314,1 triliun, lalu naik menjadi Rp343,5 triliun di 2021 dan 2022 naik lagi menjadi Rp386,3 triliun. Kemudian pada 2023 naik lagi menjadi Rp439,9 triliun. 


Tahun 2025 , alokasi anggaran yang perlu disiapkan untuk pembayaran utang mencapai Rp1.350an triliun (lebih 1/3 APBN). Total utang jatuh tempo mencapai Rp800,33 triliun yang terdiri dari utang Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp705,5 triliun dan pinjaman Rp94,83 triliun. Dan bunga yang mencapai Rp552,9 triliun yang terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp497,62 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp55,23 triliun.


Jadi tahun depan akan sangat berat dan sulit bagi ekonomi Indonesia dan apalagi 5 tarif akan naik dan berlaku tahun depan. Akan semakin membebani rakyat. By system kita sudah terjajah oleh mindset too good to be true. Sulit untuk beranjak. Apalagi sebagian besar team kabinet sekarang adalah mereka yang bertanggung jawab atas rusaknya ekonoomi  era presiden sebelumnya.