Saturday, December 13, 2025

Sistem pembangunan masa lalu sudah gagal.

 



Pendahuluan.

Indonesia memang tidak dilintasi siklon tropis. Namun menganggap negeri ini aman dari dampaknya adalah kekeliruan ilmiah yang berbahaya. Dalam dinamika atmosfer modern, siklon tropis tidak berhenti dampaknya pada pusat pusaran, melainkan meninggalkan gangguan sistemik yang memengaruhi pola hujan regional, termasuk di wilayah khatulistiwa seperti Indonesia.


Aktivitas siklon tropis di Samudra Hindia dan Pasifik Barat dalam beberapa bulan terakhir telah memodifikasi sirkulasi atmosfer tropis. Dampaknya terasa dalam bentuk penguatan hujan yang menetap dan berulang, bukan hujan ekstrem sesaat. Inilah yang oleh sebagian ahli disebut sebagai remote impact—efek tidak langsung siklon yang justru sering lebih merusak bagi negara equatorial.


Secara sains, mekanismenya jelas. Siklon tropis bekerja sebagai mesin pemindah energi dan uap air. Ketika aktif di selatan atau utara Indonesia, siklon menarik massa udara lembap dari wilayah tropis dan mengubah pola tekanan udara regional. Akibatnya, ITCZ (Intertropical Convergence Zone) menguat, monsoon trough memanjang, dan interaksi dengan Madden–Julian Oscillation (MJO) menjadi lebih intens. Kombinasi ini menghasilkan hujan lebat yang bertahan lama dan meluas.


Yang sering luput dipahami publik: dampak ini tidak berhenti dalam hitungan minggu, melainkan dapat berlanjut hingga musim berikutnya. Atmosfer tropis memiliki “memori”. Ditambah dengan suhu permukaan laut yang masih di atas normal, suplai uap air tetap tersedia, sehingga potensi hujan tinggi akan terus muncul hingga tahun depan.


Risiko ini tidak terbatas pada Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Wilayah lain seperti Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi juga berada dalam zona rawan. Faktor penentunya bukan semata curah hujan, tetapi akumulasi hujan di atas ekosistem yang telah kehilangan daya serap. Banjir bandang dan longsor adalah fenomena hidrologi, bukan sekadar peristiwa cuaca. Ketika hutan di hulu rusak, sungai dangkal oleh sedimen, dan tata ruang mengabaikan daya dukung lingkungan, hujan yang secara klimatologis tergolong “normal” pun bisa berujung bencana.


Menyederhanakan situasi ini sebagai “cuaca ekstrem” adalah kesalahan fatal. Sains iklim telah lama menegaskan: hujan adalah variabel alam, tetapi banjir adalah produk interaksi alam dan kebijakan manusia. Mengabaikan aspek tata kelola lingkungan sama artinya dengan menyerahkan keselamatan publik pada keberuntungan semata.


Tahun depan bukanlah masa jeda, melainkan fase ujian kesiapan nasional. Pertanyaannya bukan apakah hujan akan turun—itu keniscayaan di negeri khatulistiwa—melainkan apakah kita masih membiarkan air jatuh ke tanah yang sudah kehilangan kemampuan menahannya. Di Indonesia, bencana jarang datang dengan angin besar. Ia datang perlahan, melalui hujan yang dibiarkan tanpa jalan keluar.


Sains kebencanaan modern membedakan dengan tegas antara bencana episodik dan bencana sistemik. Gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami adalah contoh bencana episodic, yang merupakan kejadian ekstrem. Setelah fase darurat dan rekonstruksi, memungkinkan wilayah terdampak dipulihkan dan difungsikan kembali. Risiko tetap ada, tetapi tidak bersifat kumulatif dan progresif dalam jangka pendek. Sebaliknya, banjir bandang dan longsor di wilayah-wilayah tersebut telah berubah menjadi bencana sistemik berbasis degradasi ekologi. Tidak bisa penyelesaiannya sepeti kasus bencana episodic. 


Dangerous Place

Aceh, Sumut, dan Sumbar serta beberapa wilayah lain di Indonesia berada pada bentang alam yang sensitive. Pegunungan curam, DAS besar, dan curah hujan tinggi khas khatulistiwa. Dalam kondisi ekologis yang sehat, karakter ini bukan masalah, karena hutan hujan tropis berfungsi sebagai penyangga hidrologi alami.


Namun, ketika deforestasi terjadi dari hulu ke hilir, kawasan lindung terfragmentasi, pertambangan, perkebunan, dan pembukaan lahan tidak terkendali, maka wilayah tersebut berubah secara structural  menjadi zona berisiko tinggi permanen. Dalam terminologi kebencanaan internasional, ini bukan lagi hazard-prone area, melainkan dangerous place—wilayah di mana probabilitas bencana meningkat dari waktu ke waktu karena kerusakan sistem penyangga alam. Di wilayah seperti ini, membangun kembali rumah dan infrastruktur tanpa memulihkan ekologi sama dengan menyusun ulang properti di jalur longsor aktif.


Mengapa ? 


Dalam banyak laporan pascabencana, rekonstruksi kerap dipuji sebagai simbol ketangguhan: jalan dibangun kembali, jembatan diperbaiki, permukiman direlokasi sementara, lalu kehidupan “kembali normal”. Namun sains lingkungan menunjukkan kenyataan yang jauh lebih mengganggu. Normalitas yang dipulihkan itu sendiri telah menjadi bagian dari masalah. Pendekatan rekonstruksi konvensional gagal bukan karena kekurangan sumber daya, melainkan karena ia mengabaikan hukum dasar sistem bumi.


Ekosistem memiliki kapasitas terbatas untuk menyerap gangguan. Dalam hidrologi dan ekologi, kapasitas ini dikenal sebagai daya dukung lingkungan dan dibatasi oleh ambang batas non-linear. Ketika tutupan vegetasi menurun, struktur tanah rusak, dan DAS terfragmentasi, kemampuan lanskap untuk menyerap hujan runtuh.


Akibatnya, curah hujan yang sebelumnya bersifat normal kini berubah menjadi limpasan destruktif. Ini bukan fenomena cuaca ekstrem semata, melainkan pergeseran rezim hidrologi. Pada titik ini, membangun kembali infrastruktur tanpa memulihkan fungsi ekosistem sama artinya dengan menempatkan struktur rapuh di atas fondasi yang telah runtuh.


Paradigma lama memandang bencana sebagai kejadian insidental. Ilmu risiko modern membantah asumsi ini. Dalam sistem lingkungan yang terdegradasi, setiap kejadian hujan besar mempercepat erosi, memperdalam sungai, dan melemahkan lereng. Waktu pemulihan ekologis lebih panjang daripada jeda antar-kejadian ekstrem.


Dengan demikian, risiko bersifat kumulatif dan bergantung pada lintasan sejarahnya. Setiap rekonstruksi yang mengabaikan proses ini tidak mengurangi risiko, melainkan mewariskan risiko yang lebih besar ke kejadian berikutnya. Bencana berikutnya datang lebih cepat, dengan intensitas yang lebih parah, meskipun hujan tidak selalu lebih ekstrem.


Jalan, jembatan, dan tanggul adalah pencapaian teknik sipil, tetapi bukan solusi ekologi. Infrastruktur keras dirancang untuk beroperasi dalam kondisi lingkungan yang relatif stabil, bukan untuk menahan kegagalan sistem hidrologi dan geomorfologi. Dalam lanskap yang telah kehilangan fungsi alaminya, struktur ini justru mempercepat aliran air, menyempitkan sungai, dan memindahkan risiko ke wilayah lain. 


Siklus yang dihasilkan menjadi tragis dan berulang: bencana, rekonstruksi, bencana kembali. Dalam literatur kebijakan publik, pola ini dikenal sebagai normalization of failure—ketika kegagalan sistemik diterima sebagai kondisi rutin yang harus dikelola, bukan diselesaikan.


Pemulihan sejati tidak berarti membangun kembali apa yang hancur, tetapi mengembalikan fungsi sistem dan menurunkan risiko jangka panjang. Ini menuntut pergeseran paradigma: dari respons pascabencana ke pendekatan preventif berbasis ekosistem, dari infrastruktur keras ke restorasi lanskap, dan dari pertumbuhan spasial ke pengakuan batas ekologis. Tanpa perubahan ini, rekonstruksi akan terus berperan sebagai ritual administratif yang memberi kesan aksi, namun gagal menghentikan spiral kerusakan.


Kesalahan mendasar kebijakan publik adalah memperlakukan semua bencana seolah setara. Negara menggunakan pendekatan pasca-gempa untuk bencana berbasis ekologi. Ini salah kategori. Gempa dan tsunami tidak dipicu oleh tata kelola manusia, tidak bersifat progresif, tidak “diproduksi ulang” oleh kebijakan salah. Banjir dan longsor dipicu dan diperparah oleh keputusan ekonomi dan politik, meningkat seiring waktu, dan sepenuhnya bisa diprediksi. Pertanyaan yang tersisa bukan lagi bagaimana kita membangun kembali dengan cepat, tetapi apakah kita berani mengakui bahwa sebagian “normalitas” harus ditinggalkan agar masa depan tidak terus dibangun di atas kegagalan yang sama. 


Solusi. 


Dalam ilmu lingkungan modern, satu kesepakatan telah lama tercapai: alam tidak beroperasi berdasarkan kompromi politik. Ia tunduk pada hukum fisika, biologi, dan kimia yang bekerja tanpa memperhatikan kepentingan elektoral, investasi, atau stabilitas jangka pendek. Ketika kerusakan ekosistem telah melampaui ambang batasnya, pilihan kebijakan menyempit—bukan karena ideologi, tetapi karena realitas ilmiah.


Lima langkah kebijakan berikut bukanlah seruan moral atau aktivisme, melainkan konsekuensi langsung dari sains sistem bumi (Earth system science).


Moratorium total di DAS kritis.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah unit ekologis yang terikat secara kausal. Kerusakan di hulu secara deterministik akan dimanifestasikan di hilir melalui banjir bandang, longsor, sedimentasi, dan kegagalan sistem air. Dalam kondisi DAS kritis, fungsi hidrologis telah mengalami degradasi struktural: infiltrasi menurun drastis, limpasan meningkat, dan stabilitas lereng melemah.


Pada titik ini, pendekatan berbasis izin atau mitigasi parsial kehilangan relevansi ilmiah. Teori ecological thresholds menunjukkan bahwa sistem yang telah melampaui ambang batas tidak akan pulih melalui pengurangan tekanan bertahap. Moratorium total tanpa pengecualian bukan kebijakan ekstrem, melainkan satu-satunya respons yang konsisten dengan ilmu ketahanan ekosistem (resilience theory).


Restorasi bentang alam.

Reboisasi sering disalahartikan sebagai penanaman pohon dalam skala administratif. Namun dalam ekologi hutan, pohon hanyalah elemen struktural dari sistem yang jauh lebih kompleks. Hutan berfungsi sebagai pengatur iklim mikro, penyangga hidrologis, penstabil tanah, dan reservoir keanekaragaman hayati.


Pendekatan ilmiah menuntut restorasi berbasis bentang alam (forest landscape restoration), yang memulihkan konektivitas habitat, struktur vertikal vegetasi, serta interaksi tanah–air–organisme. Proyek simbolik tidak akan mengembalikan fungsi ekosistem. Yang dibutuhkan adalah pemulihan sistemik, terukur, dan lintas wilayah.


Relokasi permanen.

Dalam ilmu kebencanaan, risiko merupakan hasil perkalian bahaya, paparan, dan kerentanan. Ketika bahaya bersifat permanen dan struktural—seperti longsor berulang atau banjir bandang—maka tidak ada rekayasa teknis yang dapat meniadakan risiko tersebut secara berkelanjutan. 


Relokasi permanen dari zona berisiko tinggi, atau managed retreat, sering dipersepsikan sebagai kegagalan pembangunan. Sebaliknya, dalam perspektif etika kebijakan berbasis sains, mempertahankan populasi di wilayah yang secara ilmiah tidak layak huni adalah bentuk pengabaian tanggung jawab negara. Ketidakpopuleran politik tidak membatalkan validitas ilmiah.


Tata ruang berbasis risiko.

Paradigma tata ruang modern masih didominasi logika pertumbuhan ekonomi dan ekspansi wilayah. Namun krisis ekologis menuntut pergeseran paradigma menuju perencanaan berbasis risiko (risk-informed spatial planning). Wilayah dengan risiko tinggi harus diakui secara legal sebagai tidak layak huni atau tidak layak dikembangkan, tanpa manipulasi zonasi. Pendekatan ini sejalan dengan kerangka internasional seperti Sendai Framework for Disaster Risk Reduction dan laporan IPCC, yang menekankan bahwa adaptasi tidak selalu berarti bertahan di tempat yang sama, melainkan menyesuaikan keberadaan manusia dengan batas ekologis.


Pengakuan krisis ekologis nasional.

Dalam teori kebijakan publik, pengakuan masalah adalah langkah awal dari transformasi kebijakan. Tanpa pengakuan resmi bahwa kerusakan lingkungan telah mencapai skala krisis nasional, respons pemerintah akan tetap terfragmentasi, sektoral, dan kosmetik.


Krisis ekologis bukan sekadar isu lingkungan; ia adalah ancaman terhadap ketahanan pangan, air, energi, kesehatan publik, dan stabilitas sosial. Mengabaikannya berarti membiarkan kebijakan berjalan dalam ilusi normalitas, sementara sistem alam telah berubah secara permanen.


Penutup.


Ketika ekosistem runtuh, pilihan kebijakan bukan lagi soal preferensi, melainkan soal kepatuhan terhadap hukum alam. Menunda pengakuan atau melembutkan respons hanya akan memindahkan biaya ke masa depan—dalam bentuk bencana yang lebih sering, lebih mahal, dan lebih mematikan. Pada akhirnya, pertanyaan yang dihadapi bukanlah apakah kebijakan ini terlalu keras, melainkan apakah kita berani menyesuaikan ambisi manusia dengan batas bumi sebelum bumi memaksakan batas itu sendiri.


Terus membangun di wilayah yang secara ekologis telah runtuh bukanlah tanda ketangguhan negara, melainkan penyangkalan struktural. Negara yang matang tidak hanya tahu cara membangun kembali, tetapi juga tahu kapan harus berhenti dan mengubah arah. Negeri ini butuh keberanian politik untuk mengakui bahwa model pembangunan lama telah gagal. Jika ini terus diabaikan, maka setiap banjir dan longsor berikutnya bukan lagi bencana alam, melainkan kejahatan kebijakan yang berulang—dan negara tidak bisa lagi bersembunyi di balik kata “cuaca ekstrem”.



Wednesday, December 10, 2025

DHE ?


 



Indonesia tengah menikmati ledakan investasi di sektor smelter dan industri hilir sumber daya alam (SDA). Puluhan fasilitas pemurnian besar berdiri, berstatus foreign direct investment (FDI), berpayung badan hukum Indonesia. Secara politis, ini dipuji sebagai bukti keberhasilan strategi industrialisasi—menarik modal, menciptakan lapangan kerja, dan “mengikat” investor asing ke ekonomi domestik.


Namun jika kita mengurai skema investasi di balik pabrik-pabrik itu, citra gemerlap itu cepat pudar menjadi realitas yang lebih serius: banyak dari fasilitas tersebut faktanya menjadi ekstensi dari market offtake asing—bukan transformasi nilai tambah yang benar-benar berpusat di Indonesia.


Praktiknya, pembeli utama—umumnya dari China atau Jepang—telah mengunci pasokan melalui offtake agreement sebelum smelter beroperasi. Yang berarti Investor asing telah menjamin pembelian seluruh output komoditas. Operator fasilitas smelter dikontrol oleh pihak offtaker atau entitas yang ditunjuknya. Dari hulu ke hilir, keputusan strategis tetap berada di tangan non-domestik. Di dalam praktik ekonomi global, ini bukan sekadar “pembeli biasa.” Ini adalah offtaker market—pasar yang menguasai sisi permintaan dan menentukan seluruh parameter nilai komoditas.


Uniknya, modal investasi untuk pembangunan smelter dan kawasan industri itu sering tidak dibayar dalam bentuk simple “uang masuk, pabrik dibangun.” Struktur pembayarannya adalah cash counter trade: Investasi dibayar dengan hasil produksi. Artinya secara arus kas nilai tambah terbesar dari hilirisasi SDA berjalan ke rekening investor di luar negeri. Uang yang mengalir ke Indonesia terbatas pada biaya operasional lokal—upah buruh, listrik, pembelian jasa lokal—bukan arus devisa bersih.


Ini bukan praktek transfer pricing. Ini adalah skema investasi yang disetujui pemerintah sejak awal, lengkap dengan insentif fiscal, tax holiday, fasilitas kemudahan investasi, dan izin lingkungan yang kadang dipermudah. Pemerintah menyetujuinya bukan tanpa alasan. Kita tidak punya modal sendiri, tidak punya teknologi tinggi, dan tidak bisa mengunci pasar global. Banyak izin keluar dengan argumen klasik: “Ini untuk menyerap tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.” Tapi data empiris menunjukkan. Saat era tanpa smelter (masa SBY), pertumbuhan ekonomi mampu melampaui 6%. Setelah smelter marak pencapaian 6% menjadi sulit diraih.


Nah, ketika investasi smelter sudah berjalan dan ekspor komoditas meningkat, pemerintah baru menyadari satu hal yang ironis: Devisa Hasil Ekspor (DHE) tidak masuk ke sistem keuangan nasional secara signifikan. Reaksi legislatif dan eksekutif pun muncul sebuah kebijakan: wajibkan repatriasi sebagian DHE ke bank domestik. Ini adalah momen yang layak dicatat dalam sejarah kebijakan. Ketika pemerintah mencoba mengatur arus valas tanpa memahami struktur arus itu sendiri. Aturan DHE itu persis seperti melarang angsa berenang di Parigi. Anda bisa saja menulis larangan di kertas, tapi angsa tetap akan berenang karena itu memang habitat alaminya.


Fasilitas seperti offtake agreements dan cash counter trade bukan sekadar instrumen perdagangan. Mereka adalah mekanisme keuangan global terintegrasi dengan kontrak investasi. Itu terjadi melalui instrumen pasar uang global yang melibatkan Bank international sebagai  mengelola settlement yang jauh dari jangkauan bank domestic. Kapital keluar masuk mengikuti logika efisiensi risiko, bukan peraturan administratif.


Mengapa ? Ini terjadi karena Indonesia menjalankan rezim kurs mengambang, Open capital account dan berpartisipasi dalam pasar derivatif offshore. Di bawah rezim ini, kapital bersifat mobil—berpindah ke tempat yang memberikan return terbaik dan risiko terkecil. Tidak masuk akal ketika peraturan memaksakan “penahanan devisa di bank domestik” sementara rezim moneter memberi sinyal sebaliknya: bebas dan efisien.


Apa yang sebenarnya terjadi? Elite politik memandang DHE sebagai masalah administrasi. “ Jika devisa tidak masuk, kita wajibkan pemerintah memasukkan devisa. Tekhnorat pasar melihat arus valas sebagai fenomena structural. Arus valas ditentukan oleh kontrak global, settlement internasional, dan pilihan efisiensi eksportir.


Artinya ? Kebijakan dibuat bukan berdasarkan pengetahuan yang mendalam tentang arsitektur finansial global, tetapi didorong oleh tujuan politik oportunis yang tidak cukup smart. Akibatnya? SDA dikorbankan, risiko lingkungan ditanggung lokal, nilai tambah mengalir ke luar negeri dan Cadangan devisa tetap dicari melalui utang, bukan surplus ekspor.


Kesimpulan

Aturan DHE yang baru hanyalah simbol dari sebuah masalah yang lebih besar: gap knowledge struktural antara pembuat kebijakan politik dan realitas pasar global. Ketika kebijakan dibuat tanpa memahami mekanisme teknis global, hasilnya bukan hanya gagal—melainkan kontraproduktif. Ini bukan soal “siapa pintar siapa tidak”. Ini soal mengakui kompleksitas pasar global dan merumuskan kebijakan yang berdampak nyata, bukan hanya terlihat bagus di headline.


Sunday, December 7, 2025

Iran mengelola SDA secara islami.



REE adalah 17 unsur logam yang memiliki sifat magnetik, elektronik, dakatalitik yang sangat unik. Unsur-unsur ini meliputi 15 lantanida + 2 unsur tambahan: Yttrium (Y) dan Scandium (Sc). Meski disebut “rare,” yang langka bukan unsurnya, tetapi deposit yang layak ditambang. REE adalah fondasi teknologi modern — dari smartphone hingga jet tempur, dari energi hijau hingga kecerdasan buatan. Karena itu, REE dianggap mineral strategis yang menentukan kekuatan industri dan geopolitik suatu negara.


Ketika banyak negara pemilik sumber daya alam berlomba membuka pintu bagi investasi asing, Iran mengambil jalur yang berbeda. Dalam pengelolaan logam tanah jarang (rare earth elements / REE), Iran memilih strategi jangka panjang: kemandirian teknologi, industrialisasi bertahap, dan pengelolaan SDA berdasarkan etika Islam. Keputusan itu bukan sekadar ekonomi — tetapi ekspresi dari kosmologi, amanah, dan tanggung jawab spiritual manusia terhadap bumi.

Pada awal dekade 2010-an, melalui Geological Survey of Iran (GSI) dan Kementerian Industri, Iran mulai memetakan mineral kritis yang sebelumnya tersembunyi di bawah tanah. Pada periode 2012–2014, Iran mengumumkan bahwa mereka menemukan potensi REE di berbagai wilayah. Torfeh, Semnan. Khorasan Razavi. Yazd dan Nehbandan. Langkah ini menandai babak baru dalam upaya Iran membaca “kitab alam”. Sebuah ekspresi teknis dari prinsip Quranik: “perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.”


Pada fase berikutnya, Iran melaporkan bahwa mereka telah menemukan cadangan REE berskala besar, termasuk cerium, lanthanum, yttrium, dan neodymium. GSI menyebut deposit ini sebagai salah satu yang terbesar di Asia Barat. Namun Iran tidak tergesa-gesa. Eksplorasi tetap bersifat preliminary. Model ekstraktif tidak langsung dibuka. Ada kesabaran filosofis di balik keputusan teknis itu.


Setelah cadangan diumumkan, China dan Prancis menawarkan investasi, teknologi, dan konsesi penambangan. Negara lain mungkin langsung menerima. Tetapi Iran memilih sesuatu yang jarang dilakukan negara berkembang, yaitu menolak ekstraksi cepat, menghindari ketergantungan teknologi,dan membangun riset domestik terlebih dahulu. Keputusan ini hanya bisa dipahami jika dilihat dari akar filsafat Islam yang melekat dalam visi pembangunan Iran.


Perspektif Filsafat Islam dalam Pengelolaan SDA

Dalam filsafat Islam, bumi bukan objek eksploitasi, tetapi bagian dari tatanan Ilahi. Segala unsur alam—tanah, air, mineral—adalah ayat, tanda-tanda Tuhan.


Kosmologi Tauhid

Tauhid mengajarkan bahwa alam semesta adalah satu kesatuan kosmik, bukan sekadar sumber daya. Bagi Iran, REE bukan hanya mineral strategis, tetapi bagian dari amanah Ilahi yang tidak boleh diperlakukan secara serakah. Barang siapa merusak alam, ia sedang merusak ayat-ayat Tuhan. Karena itu, pilihan untuk tidak langsung menambang adalah pilihan moral.


Manusia dan Amanah.

Al-Farabi dan Miskawayh menempatkan manusia bukan sebagai penguasa mutlak, tetapi penerima amanah. Qur’an mengingatkan bahwa amanah pernah ditawarkan kepada langit dan bumi tetapi ditolak namun manusia menerimanya. Amanah berarti tidak mengekstraksi tanpa batas, menjaga keseimbangan, memaksimalkan nilai, bukan merusak.Karena itu, industrialisasi REE tanpa ekstraksi berlebihan adalah bentuk ta’dib — adab ekologis.


Alam Sebagai Mitra.

Ibnu Sina melihat alam sebagai organisme kosmik. Merusak satu unsur berarti mengguncang keseluruhan. Dalam kerangka ini menebang hutan demi tambang adalah memutus nadi bumi, mencemari sungai adalah merusak urat saraf kehidupan, mengekstraksi mineral secara rakus adalah mengkhianati amanah. Iran memilih jalan industri, bukan eksploitasi.


Industrialisasi sebagai Ibadah Sosial

Islam tidak menolak teknologi. Islam menolak teknologi tanpa nilai. Dalam kerangka Iqbal, kemajuan harus berkeadilan, berkelanjutan, memberi maslahat, menjaga ciptaan. Maka bagi Iran,  Industri adalah ibadah bila menjaga bumi; industri menjadi dosa bila merusaknya. Model bisnis REE Iran lahir dari etika ini.


Kerusakan Alam: Gejala Kerusakan Ruhani

Dalam moral Islam, keserakahan adalah pangkal kerusakan ekologis. Ketika nafsu menguasai kebijakan, lingkungan menjadi korban. Pengelolaan REE yang serakah bukan hanya kesalahan teknis, tetapi kerusakan spiritual. Iran ingin menghindari dosa ekologis itu.


Mini-Plant 2025: Simbol Jalan Tengah Iran

Pada tahun 2025, Iran mengumumkan keberhasilan membangun pilot plant pengolahan REE berkualitas tinggi. Ini adalah puncak riset domestik, bukti kemandirian teknologi, dan langkah awal industrialisasi beretika. Pilot plant ini adalah tajalli — manifestasi kecil dari strategi besar. Mengolah tanpa merusak, memanfaatkan tanpa mengeksploitasi.


Industrialisasi Tanpa Ekstraksi.

Inilah inti strategi Iran. Mereka tidak membuka ekstraksi besar-besaran. Tidak menjual REE mentah atau setengah jadi. Tidak menyerahkan kontrol teknologi kepada asing. Mengutamakan riset dan industrialisasi. Dengan kata lain,  SDA Iran tidak dieksploitasi; SDA Iran di-ta’dib-kan — diberi adab melalui teknologi berbasis nilai. Iran “menjaga bumi” sambil membangun masa depan industrinya.


Kesimpulan.

Pengelolaan REE Iran bukan sekadar kebijakan industri, tetapi perwujudan dari filsafat Islam tentang amanah, tauhid, dan hubungan manusia dengan alam. Bahwa menambang tidak selalu berarti memakmurkan. Industrialisasi tidak selalu berarti merusak. Kemandirian teknologi bisa menjadi ibadah ekologis. Bagi Iran, bumi bukan warisan dari generasi sebelumnya, tetapi amanah Ilahi yang harus dijaga untuk generasi berikutnya. Pada akhirnya, siapa yang menjaga bumi, menjaga dirinya. Siapa yang merusak bumi, merusak amanah Tuhan.




Thursday, December 4, 2025

Mengapa bukan bencana Nasional.?

 



Banjir bandang meluluhlantakkan kampung-kampung, longsor menelan rumah dan jalan raya, ribuan warga mengungsi, ekonomi daerah lumpuh. Namun status yang muncul tetap itu-itu saja. Bencana daerah.  Merujuk data BNPB per 4 Desember 2025: 776 jiwa meninggal. 564 orang hilang, 2.600 orang terluka. 10.400 rumah rusak.50 kabupaten terdampak di beberapa provinsi. Bendungan jebol, infrastruktur runtuh, roda ekonomi berhenti total. Jika mengacu pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan aturan BNPB, seluruh indikator bencana nasional sudah jelas terpenuhi. 




Nah, menurut UU Penanggulangan Bencana, status bencana nasional berarti pemerintah pusat wajib mengambil alih penanganan, membiayai seluruh pemulihan, memulihkan infrastruktur, dan menanggung masa depan warga yang terdampak. Dengan kata lain, negara harus mengakui bahwa pemerintah daerah—dan bahkan pusat—gagal melindungi rakyatnya. Dalam dunia politik, pengakuan seperti itu terlalu mahal.


Status Nasional Membuka Kotak Pandora.


Realitas pahitnya adalah sebagian besar bencana ekologis di Indonesia bukan murni “bencana alam”. Mereka bencana kebijakan. Banjir disebabkan pembalakan hutan untuk sawit, tambang yang merusak DAS, pembangunan kawasan industri di zona rawan, sedimentasi sungai akibat hilangnya tutupan lahan, food estate yang membabat hutan lindung. 


Jika pemerintah menetapkan bencana nasional, maka seluruh izin konsesi harus diaudit, perusahaan besar dapat dimintai pertanggungjawaban, pejabat pemberi izin dapat disorot, oligarki SDA bisa terseret ke meja publik. Dan inilah batas merah yang tak berani dilampaui. Karena sebagian besar elite politik punya saham pada konsesi Sawit, tambang dan HTI. Menyatakan bencana nasional sama saja seperti menyalakan lampu sorot ke wajah mereka sendiri dan juga kepada para pemain besar ekonomi-politik negeri ini yang menjadi sponsor Pemilu.


Risiko Fiskal.


Puluhan triliun rupiah dibutuhkan untuk rehabilitasi DAS, perbaikan infrastruktur, pembangunan hunian, pemulihan ekonomi lokal, jaminan hidup korban. Saat ruang fiskal negara sudah sempit—defisit APBN, beban bunga utang, dan belanja birokrasi—pemerintah enggan menanggung konsekuensi fiskal sebesar itu. Status “bencana daerah” memungkinkan beban itu diserahkan ke pemda, dibagi-bagi dengan masyarakat, dan dilupakan perlahan-lahan ketika berita sudah tenggelam.


Stabilitas Politik.


Narasi resmi negara selama ini sengaja dibangun pemerintah adalah  " pembangunan berjalan baik, pertumbuhan ekonomi kuat, hilirisasi berhasil mengurangi risiko ekologis, Indonesia semakin maju dan modern”


Deklarasi bencana nasional merusak seluruh narasi tadi. Ia mengirim sinyal ke publik dan internasional bahwa pembangunan berjalan tanpa kontrol. Tidak ada pemerintah yang ingin memukul wajahnya sendiri.


So..


Penetapan bencana nasional dapat menyebabkan ketimpangan kebijakan palu-godam gubernur dan bupati terbongkar, pejabat pusat ikut terseret karena kebijakan tata ruang dan izin berada di tangan kementerian, sponsor politik terganggu, korporasi yang selama ini menjadi donatur pemilu merasa terancam. Ini bukan soal manajemen bencana. Ini soal ekonomi politik kekuasaan.


Kesimpulan.


Bencana boleh disebut “daerah”, tetapi luka dan kematian rakyat di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah tragedi nasional. Ketika banjir bandang menelan kampung, longsor memutus jalan, ribuan warga kehilangan rumah, dan ekonomi daerah lumpuh total, negara seharusnya tidak bersembunyi di balik kalimat administratif: “Belum memenuhi syarat bencana nasional.”


Padahal hukum kita jelas, pemerintah pusat wajib mengambil alih apabila skala bencana melampaui kapasitas daerah. Ketika itu tidak dilakukan, muncul pertanyaan konstitusional, apakah negara menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur UUD 1945? Di titik inilah rakyat memiliki hak hukum yang tidak boleh diremehkan.


Mahkamah Konstitusi tidak bisa menerima class action, tetapi ia bisa menerima gugatan uji materiil terhadap undang-undang atau pasal-pasal yang diselewengkan dalam implementasi. Dalam konteks ini, masyarakat sipil dapat menguji: Kelalaian pemerintah dalam menerapkan UU Penanggulangan Bencana.Keputusan administratif yang bertentangan dengan mandat konstitusiPenafsiran negara yang merugikan hak hidup warga. Jika MK memutus bahwa pemerintah melanggar konstitusi, maka pemerintah wajib tunduk.


Dan bila pemerintah tetap tidak melaksanakan, konsekuensinya sangat serius. UUD 1945 Pasal 7A–7B menyebutkan: Presiden dan Wapres dapat diberhentikan jika melanggar hukum atau UUD 1945. Mengabaikan kewajiban negara dalam melindungi rakyat dari bencana, atau mengabaikan putusan MK, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran konstitusi.


Prosesnya jelas: MK memutus bahwa pemerintah melanggar UU. DPR mengajukan pendapat bahwa Presiden/Wapres melanggar konstitusi. MK memeriksa. Jika terbukti, MPR dapat menggelar Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden/Wapres Artinya,  mengabaikan bencana bisa berujung pada pemasjulan. Itu kalau demokrasi sehat. Sayangnya demokrasi kita cacat lahir batin. Live in dangeros place..