Thursday, May 29, 2025

Terjajah ...

 


Ira minta ketemu saya. Katanya ada relasinya yang mau dia kenalkan. Sebagai sahabat sejak tahun 90an. Ira banyak sekali membantu terutama kenalkan saya dengan elite dan kalangan akademis. Biasanya kalau dia yang atur pertemuan, dia sendiri yang tentukan tempatnya. Saat ini saya harus meluncur ke SCBD. Di cafe sambil bersantai. Ternyata relasinya itu adalah Adi. 25 tahun lalu saya pernah ke rumahnya. Ayahnya perwira TNI. Saat itu dia masih kuliah di PTN. 


“ Kejutan kan. “ kata Ira tersenyum meliat Adi menyalami saya sambil mencium punggung tangan saya namun langsung saya rangkul. 


“ Ayahnya mentor saya. Terutama dalam memaknai berbangsa dan berbakti kepada negara. “ Kata saya kepada Ira. Adi senyum aja. Saya tahu Ayahnya meninggal beberapa tahun lalu saat saya sedang di luar negeri. Namun saya minta Awi dan Yuni datang ke rumah duka dan mengirim bunga.


” Saya masih ingat nasehat ayahnya. “ Lanjut saya. Keliatan Adi siap menyimak. Sama sepeti dulu saya menyimak ketika ayahnya bicara. “ Tidak ada dikotomi sipil dan militer dalam bela negara. Di era Soekarno tidak ada istilah TNI. Yang ada ABRI, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Kalau ada Angkatan bersenjata tentu ada Angkatan yang tidak bersenjata. Medan perang setelah kemerdekeaan, bukan hanya perang militer tetapi juga perang pemikiran dan ekonomi. Jadi semua anak bangsa harus punya mindset bela negara dan merasa berada dalam suasana perang. Mengapa ? karena kolonialism itu tidak pernah padam. Hanya berubah ujud menjadi neokolonialism”  Kata saya. 


“Sayangnya era Soekarno tidak ada pembangunan ekonomi. Dia jatuh karena gagal mengelola ekonomi.” Kata Ira tersenyum.


“ Gagal itu kalau sudah dilaksanakan. " Sanggah saya dengan tersenyum.


Ira mengerutkan kening.


" Kita baru merdeka secara legitimasi lewat PBB tahun 1949. Masih ada pengaruh Belanda dalam system RIS. Masih perlu perjuangan politik untuk persatuan Indonesia. Tahun 1950 kita kembali kepada NKRI. Itupun tidak mudah dapat pengakuan international. Tahun 1955 kita sukses melakukan Pemilu petama kali.  System negara kesatuan established. Namun setelah itu terjadi pemberontakan PRRI/Permesta. Nah barulah tahun 1960an kita punya design pembangunan. Namanya Pola Pembangunan Semesta Berencana.  Walau kita masih disibuk kan dengan pemberontakan DII/TII, rebut Irian Jaya, Konflik dengan Malaysia, namun saat itu kita sudah mulai bangun Smelter Baja, Krakatau Steel. Tahun 1965 Soekarno dijatuhkan. Ya praktis belum berbuat significant“ Argumen saya kepada ira. 


" Apa esensi dari Pola Pembangunan Semesta Berencana itu? tanya Adi.


“ Percis sama dengan design pembangunan China yang dicanangkan Mao tahun 1949. Apa itu ? desain pembangunan berbasis kepada Manifesto Politik, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional.  Beda dengan era Soeharto dimana manipol dihapus diganti dengan P4 dan era reformasi berubah lagi, yaitu berbasis kepada ekonomi semata atau ekonomi liberal” kata saya


Ira terdiam sambil menatap Adi. Sepertinya dia tidak tertarik dengan celoteh tentang Soekarno. “ Ale, kamu kan banyak bisnis di China. Adi mau tanya soal bagaimana China membangun industrinya. “ Kata ira.


Saya tatap Adi dengan tersenyum.


“ Kemajuan China terutama industrialisasi nya sangat teruji dan lentur. Kemarin dalam trade war, mata dunia terbuka. Betapa hebatnya China dan AS harus menerima kalah dengan damai. Gimana awalnya China membangun industrinya? Tanya Adi.


“ China itu awalnya membangun industri hulu substitusi impor hanya untuk pasar domestik. Seperti baja, aluminium, semen, kaca, dan bahan konstruksi, kimia, tenun, alat berat , bahan baku  pharma atau API, telekomunikasi, alutsista termasuk dirgantara. Ya samalah dengan Pola Pembangunan Semesta Berencana ala Soekarno. Yaitu By design dibawah kepemimpinan pusat. Tapi kita  berubah setelah Soekarno jatuh. Walau ekonomi era Soeharto terpimpin namun karena terjebak IGGI dia tidak bisa sepenuhnya  kendalikan asing. Sementara China membangunnya  berkelanjutan. Siapapun presidennya. Itu berlangsung sejak tahun 1950 era Mao sampai berakhir era Dengxiaoping atau tahun 1990an.


Tahun 90an mulai mengalir FDI dengan deras. Mengapa? karena industri hulu tersedia di  dalam negeri dan dilarang ekspor. Negara menjual dengan harga subsidi, ya otomatis industri hilir tumbuh cepat sekali. Terutama datang  dari investor asing yang punya branded dan market global. Mereka berinvestasi mendirikan manufaktur di China dengan tujuan memanfaatkan harga bahan baku yang disubsidi dan upah murah. Keberadaan manufaktur asing itu cepat sekali direspons pengusaha China. Mereka jadi pemasok dengan harga murah. Pemerintah china juga merespons dengan memberikan insentif kepada PMA atas dasar TKDN. 


By the time lambat laun usaha supply chain industry berkembang pesat. Umumnya mereka kelas UKM. Belum terorganisir dengan baik. Ya usaha spontanitas saja. Makanya jangan kaget mereka berproduksi dengan meniru produk merek asing. Itupun bukan inisiatif mereka. Tapi karena ada demand dari pengusaha maklon atau contract manufacturing dari Asia, Eropa dan AS. Lagi lagi alasannya karena bahan baku murah dan upah murah.  Makanya kualitas rendah. Ya business as usual.  “ kata saya 


“ Bagaimana bisa cepat sekali terjadi transformasi dari mindset tukang jahit, tukang tiru, suplier , akhirnya menjadi produsen supply chain global ? Tanya Adi.


“ Masuk tahun 2000an. Supply Chain industry itu  sudah dikelola dengan standar internasional. Kualitas sudah lebih baik dan penguasaan jenis produk juga sudah beragam dan sophisticated. Awal tahun 2000 AS mengubah arah ekonominya dari low technologi ke high tech dan berfocus kepada design. Peluang ini dimanfaatkan China dengan smart.  Membangun industri yang ditinggalkan AS. Tahun itu juga ilmu ekonomi tentang supply chain dan resource global (SRG) yang berbasis bahan baku SDA   bertransformasi menjadi Global Supply Chain Management.  “ Kata saya.


“ Oh saya ingat. Tahun 2000an Ale kan sempat ikut program short course Global Supply Chain Management. di Cambridge dan Erasmus Belanda” Kata ira. Saya senyum aja. 


“ Terus, apa itu Global Supply Chain Management atau GSCM? Tanya ira.


“ Tidak lagi sederhana prosesnya.  Ini meliputi integrasi teknologi, peningkatan proses produksi lewat R&D, penguasaan logistic dan penyesuaian strategi untuk memenuhi tantangan dan peluang di pasar global.” Kata saya.


“ Bisa jelaskan  secara konkrit  ? tanya Adi.


“ Baik saya jelaskan secara sederhana. “ Kata saya seraya seruput kopi. “ SRG itu sama dengan supplier biasa. Kalau suplier kita harus tunduk dengan ketentuan sepihak dan berjuang dapatkan PO dari pembeli. Kapan saja kita bisa ditendang oleh pembeli. Tetapi kalau GSCM, kita bagian dari proses produksi itu sendiri. Antara pembeli dan penjual terikat dalam ekosistem. Contoh China butuh Steel Cold Rolled Coils (CRC) dan Stainless Steel Hot Rolled Coils (HRC). Itu karena mereka kuasai market end user CRC dan HRC dalam skala global. Mereka juga kuasai sumber daya nikel” Kata saya


“ Kenapa smelter mau saja produksi CRC dan HRC” Tanya Adi.


“ Karena GSCM jamin pasokan Nikel, yang  bukan dari satu sumber saja tapi dari seluruh dunia. Smelter juga tahu bahwa GSCM akan jamin sustainable karena GSCM kuasai tekhonologi proses produksinya, termasuk modal “ Kata saya.


“ Gimana dengan modal ? tanya Adi lagi. Ini pertanyaan yang sangat antusias diketahui anak muda.


“ Ya bukan masalah. Lembaga keuangan tidak ragu menjadi financil resource GSCM. “ jawab saya singkat.


“ Kok mau? 


“ Ya secure. Semua terkunci dalam satu ekosistem yaitu market, tehnologi dan sumber daya. Beragam produk China di produksi  lewat GSCM. Dari upstream, midstream sampai downstream . “ kata saya.


Setelah mereka paham yang saya maksud. Maka sampailah kepada jawaban pertanyaan Adi “ Nah bagitulah cara China mengembangkan industrinya. Berawal dari industry substitusi, berkembang menjadi industry kreatif, dan terus bertransformasi menjadi supply chain global. Dan setelah itu China focus kepada produk branded. Sampai kini. Kita bisa lihat merek mendunia seperti Huawei, Xiaomi, DJI, Lenovo, BYD, OPPO, Vivo, Realme, OnePlus, ZTE dan lain lain. “ Kata saya seraya seruput kopi.


“ Nah bagaimana dengan Indonesia? Tanya saya. Mereka terdiam. “  Di Indonesia bisnis dan industry masih dengan standar SRG. Dari sejak era Pak Harto sampai sekarang,  pemainnya hanya itu itu aja. Dan lucunya mereka kuasai dari hulu sampai hilir. Dampaknya jelas tidak efisien dan menciptakan rente. “ Kata saya tersenyum.


“ Bayangkan. “ Lanjut saya. “ Kita produsen CPO tetapi ekosistem financial dikuasai Singapore dan market dikuasai Malaysia. Rakyat sebagai konsumen migor jadi korban. Kita punya nikel tapi market, tekhnologi, financial tergantung kepada asing.  Makanya industri di Indonesia tidak tumbuh. Karena kita tidak punya pola pembanguan semesta berencana yang berbasis kepada Manipol kemandirian dan berkpribadian. " Lanjut saya. Mereka terhenyak.


Kita memilih liberalism namun lucunya walau kita suka kebebasan  namun no enough smart to choice.  Padahal free of choice itu hanya untuk peradaban bagi masyarakat yang mayoritas smart, bukan bagi masyarakat yang mayoritas tidak tamat SMA seperti Indonesia dan China. 


Apa sebenarnya masalah negeri kita ini? Tanya Ira. 


Daripada jawab pertanyaannya, lebih baik senyum aja.  Karena kita tidak pernah curiga dengan negara lain. Dan tidak setuju dengan neokolonialisme. Akhirnya kita sangat bergantung kepada asing. Beda dengan China. Dari awal mereka tidak pernah percaya dengan Barat dan AS. Dan sejak awal mereka membangun dengan mindset perang. Seluruh rakyat adalah angkatan perang dan Manipol jadi dinding tebal menghadang segala pengaruh yang ingin menguasai China secara langsung ataupun tidak langsung. China punya  dignity dan respect sebagai bangsa. Itu juga alasan mereka memerangi korupsi dengan hukuman mati dan law enforcement tanpa pandang bulu, 

4 comments:

Anonymous said...

Menyadarkan dari tidur lelap

Anonymous said...

waduhhh .. berapa generasi lagi dibutuhkan yaa ... ???

depatiayam said...

Komplit penjelasannya Babo

Sultan Tamara said...

Mindset perang, kemandirian dan berkepribadian. Semua bekerjasam mebentengi kedaulatan negara