Monday, January 16, 2023

Drama Politik Dana Rp. 11.000 Triliun di luar negeri ?





Pada suatu hari setelah Pilpres 2014, teman minta bertemu dengan saya. Saat itu saya sedang busines trip di Malaysia. Dia perlihatkan bukti dokumen tentang aset orang indonesia yang ada di Eropa. Saya tidak baca lebih jauh. Saya hanya focus baca ringkasan saja dan total uang yang ada sebesar USD 800 miliar. Itupun berdasarkan data riset ( bukan fakta hukum). Lembaga kajian McKinsey, misalnya, melaporkan, harta warga negara Indonesia (WNI) yang disimpan di luar negeri mencapai Rp 3.250 triliun. Adapun data yang dilansir Credit Suisse Global menyebutkan, dia mencapai Rp 11,125 triliun.


Hanya kurang lima menit saya katakan, “ It is better to focus on the legal aspects. First, in the context of illicit funds, make sure there is a law that allows us to cooperate mutually with countries suspected of being places where money is stored. Second, make sure former president Seoharto is found legally guilty. "


" Why? 


" The flow of funds originated from the Sorharto era which has developed through conglomerate businesses until the SBY era. Now if there is no court decision that Soeharto is guilty, then the money cannot be considered illegal.."


“ Apa ada cara lain? Tanya teman.  


“ Cara lain engga ada. Kecuali kita engga kerja untuk negara. Dengan dukumen Itu bisa diakali. “


“ Ok, caranya ? 


“ Curi ! Tetapi kan dosa. Dan lagi apa iya mereka diam saja. Jangan jangan kita diburu mereka.” Kata saya.  Usai pertemuan itu saya berkali kali diundangnya untuk rapat. Tetapi saya menolak. Karena dasar hukumnya tidak ada. Walau wacana itu dilempar Jokowi saat kampanye 2014, saya anggap itu hanya idea saja. 


Ternyata tidak mudah mendapatkan dukungan legitimasi atas asset yang diduga Rp. 11.000 triliun ada di negara bebas pajak seperti Swiss. Banyak betul perdebatan dan keraguan dari elite poltik,  juga kalangan menteri. Menteri keuangan punya cara melalui rekonsiliasi nasional, yaitu Tax Amnesty. Menkumham mengusulkan Perburuan aset melalui hukum dan kerjasama dengan negara dimana uang dicurigai tempatkan. Jokowi perintahkan, Dua duanya jalan. 


Tahun 2015, Perjanjian Mutual Legal Assistance in Criminal Matters - MLA RI-Swiss tahap MOU ditanda tangani di Bali. Tapi belum bisa masuk ke MLA. Masih perlu dibahas pasal demi pasal. Tahun 2016 Tax Amnesty jilid 1 digelar. Apa hasilnya hanya dapat  dana  repatriasi Rp146,6 Triliun. Masih jauh dari Rp. 11.000 triliun. Kemudian pada tahun 2017 di Bern, Swiss dilakukan pembahasan pasal-pasal yang belum disepakati dalam MLA. Akhirnya  tahun 2019, Jokowi perintahkan Menkumham segera tanda tangani Perjanjian MLA ( Mutual Legal Assistance in Criminal Matters ).  Selesai ? Belum.


MLA ini bersifat retroaktif atau berlaku mundur. Namun MLA baru efektif setelah dilegalisir oleh DPR. Itu juga alot pembahasannya. Masing fraksi mempertanyakan banyak aspek atas MLA ini. Barulah  2 juli 2020, MLA diratifikasi oleh DPR. Itu baru swiss, belum negara Eropa lainnya. Dan negara bebas pajak lainnya. Ibarat bangun jalan, ini baru sejengkal dalam ukuran kilometer jarak jalan.


Proses berikutnya adalah penyelesaian kesepatan soal procedure internal masing masing, ya semacam Master Settlement Agreement. Barulah tahun 2021 Bulan september kesepatakan itu ditanda tangani. Dengan demikian kedua negara telah memiliki dasar hukum untuk dapat melaksanakan bantuan hukum dalam tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta pelaksanaan gugatan terkait penelusuran, pemblokiran, penyitaan, dan perampasan hasil dan sarana tindak pedana. Selesai? Belum.


Masih perlu dibentuk forum bersama antar pejabat tinggi Indonesia dan Swiss. Tahun 2022 bulan november Menkumham berkunjung ke Bern membahas forum bersama itu.  Tetapi di tengah perseteruan antara Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa berkaitan dengan nikel dan CPO yang sudah masuk panel WTO, rasanya sulit forum itu terbentuk. Bagaimana dengan Tax Amnesty jilid 2 ? hanya dapat repatriasi Rp 13,7 triliun. Masih jauh dari Rp. 11.000 triliun. Teman saya lawyer di Bern berkata “ The placement of funds was legal by the Soeharto and SBY regimes. What is there to be hunted for? It's a bullshit project. Just a political rhetoric. “ 


Saya termenung, apalagi ditengah hubungan politik yang tidak  harmonis antara Jokowi dan SP, terdengar kabar SP berobat ke Eropa dan bertemu LBP di London.  Keduanya exist di era Soerhato sampai era presiden sekarang. Keduanya  “ orang Golkar “, Ya LBP masih fungsionaris Golkar dan SP, alumni Golkar. Sampai kini kita tidak bisa memutus mata rantai orde baru. Partai Musawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Hanura, Gerindra, Nasdem adalah bagian dari jaringan orde baru ( Golkar). Dan mereka adalah elite politik yang juga bagian dari oligarki politik dan ekonomi sekarang.


Bagaimana dengan era Jokowi ? berdasarkan Wealth Report 2022 oleh Knight Frank, jumlah orang dengan kekayaan bersih ultra-tinggi ( ultra high net worth individual /UNWHI) di Indonesia mencapai 1.403 orang pada 2021. Jumlah ini meningkat 1% dari 1.390 pada 2020. Sejak tahun 2016 sampai tahun tahun 2022 jumlah UHNWI meningkat 68%. Ingat engga kasus pengungkapan " Panama Paper" yang menyebut nama sejumlah pejabat Indonesia ada pada list pemilik perusahaan cangkang. Hebat ya. Tahu apa itu UHWNI ? UHNWI adalah orang-orang yang memiliki kekayaan minimal US$ 30 juta. Yang engga keliatan terus diburu, yang keliatan ada nambah terus tapi engga juga keliatan. 


Bagaimanapun niat menarik pulang uang haram  yang ditempatkan di luar negeri sejak era orde baru dan  rangkaiannya  sampai kini, itu harus dihargai. Itu niat mulia demi keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Tapi upaya itu hanya akan seperti menggantang asap. Sibuk engga jelas. Begitulah ceritanya.

No comments: