Wednesday, March 5, 2025

Bursa jatuh karena issue...?

 



Di tengah awan mendung BEI dengan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), ada pertemuan antara OJK dan operator BEI dengan para konglomerat. Pertemuan itu dihadiri juga oleh Utusan Khusus Presiden Raffi Ahmad, Bos Adaro Garibaldi Thohir, Bos Sinar Mas Franky Widjaja, Bos Indika Energy Arsjad Rasjid, Ketua Kadin Anindya Bakrie, anak Prajogo Pangestu Agus Salim Pangestu, hingga Komisaris Amman Mineral Agus Projosasmito. 


Dalam pertemuan itu pihak otoritas mendengar keluhan dari para konglomerat yang juga pemegang saham pengendali dari beberapa Emiten besar di BEI. Intinya mereka meminta kepada OJK agar menunda implementasi Short selling dan kalau bisa dibolehkan buy back saham oleh pendiri tanpa perlu ada RUPS. Tadinya saya tidak ingin membahas seputar kejatuhan IHSG. Tapi karena itu saya tergelitik membahasnya.


Ini kali pertama ada pertemuan semacam itu. Waktu bursa booming, semua seperti superman. Pas ada masalah, kembali datang ke bapak minta perlindungan. Padahal kita semua tahu, market itu free entry free fall. Sekali otoritas tunduk dengan konglomerat dan lobi politik, itu akan menimbulkan paradox bursa sebagai sumber likuiditas, stabilitas ekonomi dan perlindungan kepada investor. 


Minggu lalu peringkat saham MSCI Indonesia dipangkas dari equal weight menjadi underweight. Yang menjadi menarik karena  MSCI memasukan unsur likuiditas. Ini penting sekali. Kan tidak semua investor keep asset untuk jangka Panjang. Dan tidak semua yang netting. Ada juga yang gunakan saham itu untuk leverage. Nah kalau likuiditas saham itu rendah. Ya ngapain beli. Walau marcap tinggi, fundamental bagus, tapi likuiditas rendah,  kan sama aja onani. Mending jual aja. Begitu persepsinya.


Tapi kita semua tahu bahwa pergerakan saham itu kan tergantung kurva demand and supply. Itu memang terkait dengan factor internal dan eksternal. Seperti data makro ekonomi negara, trend industry dan lain lain. Memang dihitung secara matematika. Namun tetap saja opini. Saya tidak melihat rating MSCI itu berarti buruk. Hanya saja pada saat sekarang dan 6 bulan kedepan, trader engga bullish. Walau ekonomi  Indonesia dilanda PHK dan ekspor melemah, daya beli melemah engga akan nyungsep. Kemungkinan reboud ada saja.


Mengapa ?  ada 6 juta investor BEJ, dimana sebagian besar adalah investor local dan hanya segelintir  asing. Namun asing menguasai saham hampir 50% di bursa. Artinya yang menggerakan saham itu adalah asing. Nah asing ini hampir semua pemain monetaris. Mereka perlu arena untuk leverage. Engga penting arena becek atau kering. Mereka perlu market yang volatile agar bisa dapatkan spread price lebih besar. Artinya volatilitas itu by design dan bagian dari business monetaris.


Lantas apa penyebab pasar tervolatilitas begitu ekstrim? Dalam konteks permainan bursa, ini tidak lebih penyebabnya adalah issue besar yang sengaja diciptakan dan digelindingkan ke lantai bursa. Seperti factor eksternal adanya kebijakan proteksi Trumps atas kenaikan tarif impor. Padahal sampai kini belum ada riset market terkait dengan kebijakan tarif Trumps. Itu hanya sebatas issue saja. Maklum Trumps memang berpolitik dengan jualan issue. 


Begitu juga issue internal tetang distrust terhadap kepemimpinan Prabowo. Karena masih melibatkan Jokowi dalam BPI Danantra. Pasar tahu bahwa itu justru mengakui hasil pemilu yang dirty vote. Belum lagi proses efisiensi anggaran yang tidak melalui perubahan fostur APBN. Ini menimbulkan ketidak pastian terhadap pertumbuhan. Apalagi gagalnya rapat kerja MenKeu dan Bappenas dengan DPR terkait dengan target pertumbuhan yang hendak dicapai. Ini jadi issue besar.


Nah issue issue besar itu terus menggelinding dan menjadi alasan investor asing melakukan aksi jual. Aksi jual oleh asing ini adalah juga tekanan terhadap capital outflow. Tentu IDR terpengaruh melemah.  Kalau IHSG terus melemah pada titik tertentu, akan mendorong investor institusi local melepas portfolio nya.  Pada waktu bersamaan para konglomerat yang melakukan leverage atas sahamnya saat booming juga menderita. Karena dalam kondisi Marcap drop mereka kan harus topup. Mau engga mau mereka harus cutloss. Jual diharga bawah.


Dampak dari pelemahan IDR dan jatuhnya IHSG akan merembet ke market SBN. Apa jadinya kalau Yield SBN semakin tinggi.? itu akan membuat asset bank berupa SBN akan jatuh. Padahal sebagian besar bank terikat repo dengan BI untuk mengamankan likuiditasnya, Kan memaksa perbankan topup dan ujungnya CAR mereka akan drop. Dampaknya bisa sistemik.


Saat itulah asing serok saham. Market rebound tetapi korban akibat penurunan saham itu menyisakan investor institusi, perbankan dan konglomerat yang suffering karena asset nya turun.  Inilah resiko bursa yang harus dipahami oleh president. Artinya tidak melulu pasar bergolak  karena factor fundamental. Tetapi bisa saja karena factor issue. Nah issue ini tidak datang dengan bahasa buzzer oposan. Itu tercipta dengan sendirinya akibat presiden lemah dalam memitigasi resiko politik atas setiap kebijakannya.


Saran saya, pembantu presiden harus terlibat aktif menangkal issue ini dengan baik dan terpelajar. Engga bisa dengan statement yang tidak berdasar. Apalagi sampai mengundang OJK bertemu dalam satu forum dengan stakeholder dan konglomerat. Itu taboo boss. Di bursa manapun, otoritas itu tidak pernah vulgar tampil depan publik. Mereka harus tetap menjadi Lembaga purity pengawal pasar dengan prinsip fairness. Ini bursa, bukan lapo tuak. Pahami itu.


Tuesday, February 25, 2025

Buruknya tatakelola Pertamina.

 




Saya coba rangkai hasil temuan dari Kejaksaan atas kasus oplos BBM Ron 90 menjadi Ron 92. Ini korupsi tatakelola minyak mentah dan produk kilang. Kasus ini bukan hanya merugikan negara. Tetapi dampaknya BBM yang kita konsumsi itu 10 kali polutannya dibandingkan negara lain yang sudah menerapkan standar euro dengan sulfur 50. BBM kita sekitar 500-600 sulfurnya. Jadi sebenarnya dengan harga sekarang dengan kualitas seperti itu kemahalan.


Kasus ini tidak bisa terjadi karena 1 orang saja. Pasti dapat dukungan dari sistem menegement yang ada. Melibatkan top eksekutif sampai lini bawah. Apalagi Pertamina adalah organisasi modern. Yang pasti diaudit BPK dan diawasi DPR. Karena ada dana kompensasi BBM dari negara. Tanpa konspirasi tidak mungkin modus korupsi ini terjadi. Apalagi sudah berlangsung dari tahun 2018-2023. Sistematis sekali. Bagaimana proses dan modus karupsi ini terjadi? 


Rapat koordinasi Optimalisasi Hilirisasi, memutuskan bahwa Kilang minyak dalam negeri tidak bisa menerima produksi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama- SKK Migas. Alasanya karena harga kemahalan dan spek tidak sesuai dengan kilang. Jadi karena itu terpaksa kilang harus impor crude. Tetapi juga impor BBM. Pelaksananya yaitu PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) untuk crude dan PT Pertamina Patra Niaga untuk BBM.


Nah apa yang terjadi kemudian ? Impor BBM Ron 92 ( Pertamaxt). Cargo yang datang Ron 90 ( Pertalite). Ron 90 ini blending di DEPO untuk jadi Ron 92. Tentu ongkos nya Ron 90 tapi jualnya Ron 92. Sementara yang impor Crude, harga di mark up 13-15%. Sehingga harga produksi BBM di kilang dalam negeri jadi mahal.  Tidak ada transfaransi lewat lelang. Karena pelaksana impor Pertamina sendiri, tetapi via broker swasta. Sehingga kerugian negara diperkirakan Rp. 193 triliun. 


Dimana konspirasinya? Ketika ada keputusan Pertamina tidak membeli produk crude dalam negeri untuk kilangnya. Maka sesuai aturan Menteri ESDM, KKKS bisa alihkan crude itu untuk di ekspor. Nah yang jadi masalah adalah ekspor crude via broker swasta. Begitu juga impor crude untuk kilang dan BBM via Swasta. Tentu swasta sudah kondisikan kedua belah pihak. Semua manut aja. Karena ada fee dari mark up impor crude untuk kilang dan ditambah dapat lagi dari selisih harga ekspor crude KKKS dengan harga spot.  


Sederhana aja kasusnya. Tentu sesederhana itu untuk paham bahwa tidak mungkin hanya melibatkan direktur anak perusahaan Pertamina dan swasta. Bukan rahasia umum bahwa lobi bisnis MIGAS bersinggungan dengan elite dan tidak semua pengusaha bisa. Biasanya pemainnya  4 L ( loe lagi loe lagi). So, tidak mungkin Top eksekutif Pertamina dan Menteri ESDM tidak tahu. Dan tidak mungkin DPR tidak tahu juga, apalagi ring istana.


Yang kita sedihkan adalah modus korupsi ini sangat merusak program strategis kemandirian energi dan efisiensi. Dan tentu kenaikan biaya akibat tatakelola BBM yang korup ini berdampak kepada semakin besarnya dana kompensasi BBM yang harus dibayar negara lewat APBN dan tentu udara kita juga tercemar, belum lagi kerusakan mesin kendaraan karena beli kualitas BBM oplosan. 


***

Pertamina itu adalah holding dari anak perusahaan yang bergerak dari hulu ke hilir. Kalau diringkas, mencakup produksi, logistic dan distribusi. Hanya saja tidak dikelola secara business model. Sehingga tidak efisien. Dan membuka peluang terjadinya moral hazard. Karena begitu besarnya tugas negara kepada Pertamina, yaitu mencakup distribusi BBM secara nasional. Melibatkan dana APBN lewat program konpensasi BBM.


Sejak uu migas no 22 tahun 2001, Pertamina bukan lagi regulator merangkap operator, seharusnya terjadi tranformasi business model menjadi trading oil world Class. Mengapa? Soal produksi kan sudah dikelola langsung oleh Negara lewat Kontraktor Kontrak Kerja Sama, SKK -MIGAS. Jadi asset terbesar Pertamina sebagai entity business adalah market undertaking yang menjadi misinya sebagai Perusahaan Negara. 


Untuk menjadi trading oil company world Class, Pertamina harus focus membangun infrastruktur logistic yang modern, yang terdiri dari Kapal cargo laut dan angkutan darat. Terminal Gas dan Depo BBM. Pipanisasi Gas. Dengan adanya infrastruktur itu, efisiensi terjadi dalam skala ekonomi khususnya dalam hal ekspor dan impor MIGAS. Itu gigantik bisnis. Pertamina bisa menjadi bagian dari lead market berskala dunia. Tentu bisa menekan ongkos susbidi negara tanpa kehilangan margin. 


Margin akan sangat besar. Karena ongkos distribusi kan negara tanggung. Apalagi Indonesia sebagai market BBM terbesar nomor 12 dunia. Hitung aja berapa keuntungan dari angkutan kapal, transfortasi darat, fee DEPO dan fee terminal Gas. Belum lagi keuntungan dari stok Crude dan BBM, serta dukungan contract future yang secure. Tiap hari cash masuk. Karena jangkauan operasi secara nasional dan pasti jasa itu juga akan dimanfaatkan oleh NOC ( National oil company) yang menjadi mitra SKK Migas.


Nah dari business model itu bisa dijadikan trigger untuk skema leveraging mendapatkan financial resource untuk membangun pusat refinery oil and gas dan mengakuisisi potensi Ladang Minyak & Gas  di seluruh dunia yang feasible. Sehingga pusat logistic bukan hanya sebagai terminal tetapi juga menjadi pusat produksi antara. Tentu akan semakin besar peluang menjalin sinergi dan kolaborasi dengan trader kelas dunia. Maklum Indonesia berada di jalur 1/3 pelayaran dunia khusus cargo oil and gas. 


Namun selama ini yang memanfaatkan business model trading oil company justru Singapore. Dari kapal, refinery, terminal hub, yang dapat manfaat Singapore. Maklum Singapore hanya sejengkal dari Indonesia dan berada di jalur selat malaka. Akibatnya, korupsi dan moral hazard pengelolaan Pertamina melulu terjadi pada distribusi, ekspor-import dan logistic yang tergantung kepada trader di Singapore lewat broker di Indonesia.


Saya kehabisan kata kata ketika membaca setiap skandal Korupsi Pertamina. Karena gaji direksi dan komisaris sangat besar. Per 31 Desember 2023, Pertamina menggelontorkan kompensasi sebesar US$ 21.793.000 atau sekitar Rp 342.716.718.000 (kurs Rp 15.726) untuk Direksi dan personal lain dalam manajemen kunci. Sementara kompensasi bagi Dewan Komisaris sebesar US$ 51.288.000 atau sekitar Rp 806.555.088.000. Pertamina bayar harimau dapatnya monyet.

Thursday, February 20, 2025

Saran dan harapan kepada Danantara

 



Apakah kita mungkin bisa menjadikan BPI Danantara seperti Temasek Singapore, tanya teman. Saya sedang malas diskusi. Tapi karena teman ini akademisi dan bekerja pada konsultan bisnis. Saya jadi tertarik mendengar perspektif dia terhadap BPI Danantara. Menurut saya apa yang dia katakan tak lebih agenda proyek. Bukan agenda membangun BPI Danantara sebagai trust institution. Mengapa ? karena kata kunci dari lembaga investasi adalah trust. Modal bukan penentu.


Disamping itu, ada kerancuan antara BPI Danantara sebagai investment institution dengan SDF ( Sovereign Development Fund). SDF berasal dari surplus APBN dan devisa. Surplus ini ditabung dan dikelola lewat system SDF untuk ditingkatkan manfaatnya. Itu terjadi pada negara seperti Norwegia, China, Uni Emirat Arab, Kuwait, Arab Saudi, Singapura, Qatar, dan Hong Kong.  Dalam hal Indonesia, kita mendirikan BPI Danantara bukan berasal dari surplus APBN. Tapi dari realokasi APBN dan realokasi PNBP,  deviden BUMN.


Dari sumber dana saja jelas BPI Danantara tidak bisa disebut sebagai SDF. Apalagi modal awal berasal dari APBN yang dalam keadaan defisit.  Nah kalau ingin menjadikan BPI Danantara sebagai investment holding untuk me-leverage sumber daya BUMN yang ada. Ada tiga hal yang harus diperhatikan.


Pertama. Pastikan BPI Danantara harus mampu menciptakan business model berspektrum luas terhadap program jangka panjang berbasis sumber daya strategis yang berdaya saing tinggi. Ada dua sumber daya negara dan ini terkait dengan geostrategis dan geopolitik. Yaitu berupa sumber daya intangible dan tangible. 


Intangible adalah letak geographis yang diapit dua benua dan dua samudera. Ini harus di utilize sebagai kekuatan geopolitik kawasan. Kita punya sumber daya tangible yaitu BUMN SDA dan trasfortasi untuk menjadi HUB logistic international dan supply chain industry region di  SLOC seperti selat Malaka, Sunda, Lombok dan Makasar, BPI Danantara dapat membangun ekosistem logistic berkelas dunia di empat selat itu dan sekaligus sebagai pusat industry berbasis renewal energy. Ini akan menjadi magnit dunia.


Tidak sulit bagi BPI Danantara menarik investor institusi lewat thematic bond untuk pembangunan HUB infrastrutkur logistik. Dan akan sangat mudah menarik FDI di Kawasan manufacture antara. Karena investor nya adalah negara yang punya kepentingan geostrategis di Kawasan empat selat itu dan ini sudah menjadi ekosistem financial dunia. Apalagi negara yang punya SDF seperti Arab, UEA, AS, China, Singapore, Norwegia punya kepentingan terhadap empat SLOC ini.


Kedua. Pastikan agar BPI Danantara dikelola dengan prinsip akuntable dan transfarance. Mengapa ? agar bisa terhubung ( linked ) dengan IMF, World bank, Philanthropy Fund organisasi,  Lembaga rating international. Manfaatkan Reserves Advisory & Management Partnership (RAMP) dari World bank. Toh kita sudah jadi anggota OECD. Jadi akan sangat mudah membangun kolaborasi. Ini akan sangat membantu mempromosikan BPI Danantara sebagai SDF berbasis sumber daya.


Ketiga. BPI Danantara harus melakukan restrukturisasi BUMN dengan prinsip good governance agar terjadi transformasi BUMN dari rente mindset ke industry mindset. Focus kepada business model berkualitas tinggi yang terkait dengan geopolitik dan geostrategis. Dengan modal Rp. 1000 triliun, itu akan bisa di leverage berkali lipat. Indonesia akan lead sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di regional atau global, yang pada akhirnya akan berdampak luas kepada ekonomi domestic untuk tumbuh secara inklusif dan sustainable.


Untuk bisa tiga hal tersebut terlaksana. Diperlukan team professional dengan tingkat kompetensi kelas dunia dan kepatuhan terhadap  standar ESG. BPI Danantara harus jadi Lembaga berdaulat yang independent. Jauh dari intrik politik dan tidak bisa diakses dengan mudah oleh elite politik untuk kepentingan oligarki. Kalau engga, akan menimbulkan moral hazard dalam pengelolaannya. Ini akan mudah jadi pintu masuk merampok sumber daya BUMN dan menimbulkan skandal yang meruntuhkan trust dan fundamental ekonomi negara. 

Thursday, February 13, 2025

Efisiensi anggaran itu karena mitigasi beban utang ?

 




Menanggapi kabar terkait kebijakan efisiensi anggaran saat ini akibat beban utang masalalu. Menurut Jokowi , rasio utang negara masih aman. Jokowi menjelaskan, rasio utang negara terhadap  PDB masih di bawah ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Mengacu pada regulasi tersebut, maka rasio utang terhadap PDB dibolehkan maksimal 60 persen. Nah hingga juli 2024 rasio utang sebesar 38,68%. Pada batas itu Jokowi ada benarnya. 


Bagaimanapun hutang itu harus dimitigasi. Pagu utang terhadap PDB adalah salah satu caranya.  Agar kita hati hati dalam membuat keputusan berhutang. Ada saatnya genjot berhutang seperti era Jokowi dan ada saatnya berpikir bagaimana memitigasi resiko terhadap utang itu.  Selain debt to PDB sebagai acuan tingkat keamanan berhutang, ada juga debt service ratio (DSR). DSR lebih objectif untuk mengukur keamanan posisi hutang. Karena terkait dengan cash flow sementara PDB hitungannya argregat.


Saat sekarang utang luar negeri kita sebesar USD 425 miliar ( agustus 2024). Sementara pendapatan ekspor kita pada tahun yang sama sebesar USD 265 miliar.  Rasio hutang luar negeri terhadap pendapatan ekspor mencapai 160%. Walau hutang itu sebagian besar berasal dari hutang jangka Panjang. Namun dengan ratio yang begitu tinggi dan cenderung meningkat setiap tahun, sangat beresiko. Kini sudah terbukti dengan volatilitas IDR yang tinggi. Yield obligasi termasuk tertinggi di negara ASEAN. Kalau tidak dimitigasi dengan smart akan membuat rupiah terjun bebas. 


Penerimaan pajak pada tahun 2024 mencapai Rp1.932,4 triliun. Sementara bayar bunga dan utang pada tahun 2024 Rp. 749 triliun. Rasio pembayaran utang dan bunga terhadap penerimaan pajak sebesar 22,5%. IMF mensyaratkan batas aman sebesar 17%. Itu sudah lampu kuning.  Nah tahun 2025 total penerimaan pajak ditargetkan Rp.2.189 triliun. Bunga dan utang yang harus dibayar sebesar Rp. 1.352,33 triliun. Ratio utang dan bunga terhadap penerimaan pajak sebesar 61,7%. Apa jadinya kalau target pajak tidak tercapai ? kan bisa default.


Tahu artinya? Dari tahun ke tahun DSR terus meningkat. Kini lebih separuh penerimaan pajak dipakai untuk bayar Bunga dan utang yang jatuh tempo. Seharusnya penerimaan pajak itu digunakan mensejahterakan rakyat lewat program keadilan ekonomi.  Makanya cara terbaik dalam memitigasi resiko terhadap utang adalah dengan mengerem nafsu belanja. Ya efisiensi total. Kalau bisa APBN dipenggal sebesar 40% dan pada waktu bersamaan tingkatkan kinerja anggaran yang ada. Memang piliihan yang tidak mudah.


Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2024 sebanyak 20,31 persen Gen Z atau penduduk yang saat ini berusia 15 hingga 24 tahun berstatus NEET ( Not in Education, Employment, or Training ). Dengarlah keluhan salah  satu Gen Z yang sudah hijrah ke luar negeri. Dia mencanangkan Tagar #KaburAjaDulu. Itu karena mereka tidak melihat masa depan cerah di negeri ini.  Kan engga ada orang ingin mati di negeri yang tidak punya hope. Mari berubah.  Memang dalam jangka pendek efisiensi anggaran itu merugikan pertumbuhan. Tapi dalam jangka Panjang kita lebih sehat dan anak anak kita punya hope.


Kagaduhan terhadap program efisiensi anggaran lebih karena emosional atas keengganan untuk menyadari resiko yang menghadang di masa depan. Padahal resiko itu fakta yang tak terbantahkan. Apalagi di tengah melemahnya daya beli rakyat, beban kenaikan tarif pajak dan iuran BPJS dan lain lain sangat memberatkan. Mengingatkan resiko itu bukan berarti anti pemerintah atau benci kepada rezim tetapi lebih kepada kecintaan kepada negeri ini. Prabowo mengajak kita semua membayar kesalahan masa lalu dengan hidup prihatin dan kerja keras. ***

Thursday, February 6, 2025

Ambisi Prabowo : 8% pertumbuhan ekonomi?

 



Prabowo berniat mendongkrak pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Padahal IMF dan Bank Dunia memprediksi pertumbuhan lima tahun ke depan akan stuck di 5%. Apakah mungkin ? tanya teman. Dalam konteks politik, apa yang menjadi tekad Prabowo itu masuk akal. Karena kita punya sumber daya besar. Namun dalam konteks ekonomi makro, ya sesuai dengan prediksi IMF yaitu sulit mencapai diatas 5%.  


Apa yang dimaksud dengan Politik?   Masalah ekonomi kita itu dibebani ongkos politik yang sangat besar dan tidak efisien. Sumber masalah adalah korupsi. Korupsi bukan hanya pada tatataran belanja tetapi juga mind corruption dalam program yang penuh rente : mark up, mengada ada dan absurd, bias yang berujung turunnya tax ratio. 


Contoh sederhana dan vulgar yaitu tingginya Incremental Capital-Output Ratio (ICOR). Dalam 10 tahun kepemimpinan Jokowi, ICOR berada di level 6,9. Bandingkan di ASEAN rata rata hanya 4. ICOR yang tinggi itu menunjukan besar nya beban ekonomi dalam system kekuasaan di Indonesia. Law enforcement engga jalan. Dan itu pasti by design. Karena tanpa kekuatan politik tidak mungkin terjadi pembiaran yang sehingga index korupsi memburuk. Dampaknya  index Pembangunan Manusia (IPM) yang juga rendah dibawah rata rata negara G20.


Mari kita hitung  kasar aja. Era Jokowi, untuk menaikkan 1 unit output diperlukan investasi sebesar 6,9 unit (ICOR). Nah bila Prabowo berniat mendongkrak pertumbuhan 8% dari PDB, maka diperlukan investasi sebesar  Rp. 12.000 triliun (8 % x Rp. 22.000 triliun)x 6,9. Padahal APBN kita hanya Rp. 3.600 triliun. Apa mungkin dapatkan tambahan investasi sebesar  Rp 8.400 triliun di luar APBN ditengan situasi likuiditas ketat dan  ekonomi global yang suram?


Jadi bagaimana solusinya? Ya kalau secara ekonomi tidak bisa dilakukan. Maka lakukan secara politik. Tentu caranya harus beda dengan era Jokowi. Engga bisa lagi ada istilah keberlanjutan. Jadi caranya ? Ya lewat politik anggaran. Lakukan efisiensi total. Karena sifatnya politik, kan engga bisa dilakukan secara revolusi. Maklum,  birokrasi di Indonesia bekulindan dengan politik. Bukan rahasia umum bila banyak eselon 1 di Kementerian dan PEMDA adalah orang partai. Harus prudential. Ya Awali dengan memotong anggaran Birokrasi dan perkuat aparat hukum. Setelah itu barulah memangkas anggaran proyek yang tidak efisien.


Kalau dalam dua tahun kekuasaan Prabowo bisa tekan ICOR menjadi 4 saja. Maka penghematan investasi bisa mencapai Rp 5000 triliun pertahun. Artinya untuk mencapai pertumbuhan 8% hanya perlu investasi Rp. 8000 triliun/tahun. Kalau dikurangi APBN sebesar Rp. 3.400 triliun. Hanya perlu Rp. 4.600 triliun diluar APBN. Jumlah itu sangat mungkin kita dapat di luar APBN. Apa saja sumber daya keuangan yang memungkinkan target pertumbuhan itu bisa dicapai ?


Pertama. Perhatikan data. Pada tahun 2023, rasio kredit perbankan terhadap PDB di Indonesia adalah sekitar 33,72%. Bandingkan dengan Singapore mencapai Rp 150%. Artinya masih ada ruang sebesar 60% lebih dari PDB atau sebesar Rp. 12.000 triliun.  Belum lagi skema SWF dari INA yang didukung Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Yang memungkinkan berkembangnya sekuritisasi sumber daya.


Kedua. Adanya goncangan geopolitik antara China dan AS, akan mendorong relokasi industry ke negara yang tidak terkena kebijakan tarif tinggi dari AS. Ya Indonesia salah satunya akan menjadi negara tujuan relokasi industry China. Potensi FDI downstream mineral tambang dan agro terbuka lebar.


Ketiga. PSN yang belum direalisasikan sangat besar nilai investasinya. Tidak perlu ada studi lagi. Tidak perlu ada dana pendamping. Tinggal evaluasi skemanya dan arahkan 100% B2B. Lakukan tender investor, bukan tender kontraktor yang rente. Contoh, proyek IKN, Jangan lagi dari APBN. Tetapi arahkan 100% B2B atau KPBU. Itu akan cepat mendatangkan investor institusi semacam family office.


Dengan tiga alasan tersebut diatas, tidak perlu ragu akan pertumbuhan ekonomi 8%/tahun. Tentu syarat dan ketentuan berlaku. Apa itu? Ya Prabowo harus berani bertindak secara politik melawan oligarki penyebab tingginya ICOR dan rendahnya Tax ratio. Karena ini penting untuk meningkatkan trust dimata investor institusi dan pasar. 


Namun juga harus diiringi dengan kecerdasan memitigasi resiko poltik akibat kebijakan politik anti rente itu. Kan oligarki itu pasti melawan. Apalagi sebagian besar anggota kabinet sekarang ex rezim Jokowi. Teman mereka banyak di pemerintahan, TNI, POLRi, KPK dan Partai. Engga mudah memang. Sanggupkah Prabowo menghadapi mereka ? Saya hanya bisa berdoa semoga YMP tetap sehat dan tenang menghadapi segala goncangan. Ingat pak syair Chairil Anwar. " Sekali Berarti Setelah itu Mati."

Monday, February 3, 2025

Layak kah BPI Danantara?

 




Akhir  pekan minggu lalu berlangsung Rapat antara Pemerintah dan DPR membahas rencana pengesahan RUU BUMN. Selasa besok (4/2) akan disahkan dalam Rapat Pleno. Cepat dan kilat. Di era Jokowi 10 tahun RUU BUMN tidak kelar. Tapi di era Prabowo hanya perlu waktu sebulan Panja dan langsung masuk Pleno. Keren. Yang menarik dalam perubahan ke tiga UU BUMN ini adalah dengan adanya pasal BPI Danantara. Yang tadinya sempat tertunda pengesahannya. Tapi dengan adanya UU BUMN yang baru, tidak ada alasan lagi BPI Danantara tidak jalan. 


Ada dua issue soal Danantara ini. 


Pertama. Soal status hukum dari BPI Danantara bukan sovereign wealth Fund ( SWF). Dalam UU No. 11/2020 CK, yang disebut SWF adalah INA ( Indonesia investment authority). Sementara BPI Danantara bagian dari revisi UU BUMN. Ia sama dengan Perseroan. Kekuasaan BPI Danantara dibawah Meneg BUMN. Artinya tidak mengubah struktur system perbendahaan negara. Dimana Menteri Keuangan sebagai beneficiary owner saham BUMN.


Kedua.  Dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan juga revisi UU BUMN dengan tegas adanya Business Judgement Rule. Terkait dengan ini, BPI Danantara tidak bisa bebas seperti layaknya INA sebagai otoritas. Karena harus comply dengan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.UU No.1/2004 tentang Perbendarahaan Negara dan UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, No. 31/1999 jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. 


Misal, BPI Danantara berencana create structure fund lewat penerbitan surat utang atau bertindak sebagai standby buyer atas rencana IPO atau Right Issue  BUMN atau Swasta. Nah kalau bersifat jaminan atas saham BUMN, prosesnya harus izin dari Menteri keuangan. Karena kita menganut cashBasic dalam system perbendaharaan negara. Kalau diizinkan maka itu masuk skema PMN ( Penyertaan Modal negara). Timbul resiko. Structure fund ini diluar APBN akan sulit bisa dikendalikan disiplinnya, bahkan bisa menimbulkan moral hazard seperti kasus skandal MD1 Di Malaysia.


Sekuritasi Asset BUMN lewat BPI Danantara tidak akan efektif sebagai financial resource, bahkan membuat ketidak pastian terhadap surat utang negara.  Ini akan memperlebar rasio utang pemerintah terhadap PDB dan mengurangi value SBN-SUKUK Syariah yang juga menggunakan asset BUMN sebagai underlying. Menteri keuangan tahu pasti soal ini. Dan pasti tidak mudah mengizinkan setiap rencana sekuritasi Asset BUMN. Karena sudah dikunci oleh UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Kalau pengelola BPI Danantara tidak qualified, mudah sekali masuk penjara.


Atas dasar dua hal tersebut diatas, BPI Danantara tidak akan mudah melaksanakan misi yang digadang gadang sebagai solusii untuk memacu pertumbuhan ekonomi diatas 8% dengan sumber dana dari luar APBN. Kalaupun ada upaya merevisi UU yang menjadi kendala tersebut, pasti sulit. Karena struktur APBN kita, pembiayaan defisit lewat sekuritisasi (SBN) termasuk asset BUMN. Kalau ada revisi UU terkait keuangan negara, itu akan mengakibatkan SBN yang sudah kita terbitkan tidak lagi eligible. Dampaknya bisa menimbulkan rush di market. Rating akan jatuh. Big risk. Kalaupun ada Kepres atau PP yang membonsai UU keuangan negara, tidak akan efektif.


Saya menduga duga, agenda pendirian BPI Danantara datang dari para oportunis yang ada di cabinet dan DPR, dengan tujuan memberikan solusi pembiayaan kepada presiden. Namun sifat nya Asal Bapak Senang.  Tidak ada pertimbangan rasional dan akademis yang bisa menjamin agenda mendatangkan investasi besar untuk mendukung pertumbuhan 8%. 


Mengapa ?


Fungsi BPI Danantara sebagai pengelola portfolio asset BUMN. Artinya tidak ada spin off Asset BUMN  ( Perbankan Pemerintah, Pertamina, PLN, Telkom dan MIND) yang ada ke dalam Danantara. Makanya modal awal Danantara berasal dari PMN ( dari realokasi efisiensi APBN ) dan deviden BUMN. Sementara total asset BUMN ( 2024) sebesar Rp. 10.950 trliun. Kan  asset itu tidak semua dari ekuitas. Ada juga utang sebesar Rp 6.957,4 triliun. Net asset hanya Rp. 4000 triliun. 


Artinya asset BUMN yang digadang gadang sebesar USD 900 miliar  tidak benar. Bahkan kalau dilakukan assessment lewat risk management, value nya hanya 20% dari net Asset atau Rp. 800 triliun. Sementara tahun ini, diperlukan dana sebesar US$186 miliar, atau setara Rp2.920 triliun untuk bayar utang yang jatuh tempo dan beban bunga. Boncos kan.







Wednesday, January 29, 2025

Trumps proxy dari Pemodal.

 





Trump lewat akun sosial media nya mengkritik the Fed yang tidak menurunkan suku bunga. Memang janji kampanye Trumps adalah akan menurunkan suku bunga bagi peminjam. Chairman the Fed Jerome Powell bisa menerima sikap Trumps namun tetap focus kepada data. Tidak akan terpengaruh dengan politik Trumps. Mengapa?


Pertama. The Fed belum melihat rencana konkrit kebijakan Trumps yang terkait dengan proteksionisme market domestic lewat kenaikan tarif. Saat sekarang the Fed masih menunggu rencana tersebut akan dilaksanakan. Sementara pada saat sekarang tingkat inflasi sedang mengarah kepada target the fed yaitu 2%. Sudah mencapai titik keseimbangan sebenarnya.


Kedua. Aktivitas ekonomi AS terus berkembang dengan pesat. Tingkat pengangguran telah stabil pada level rendah dalam beberapa bulan terakhir, dan kondisi pasar tenaga kerja tetap solid. Sehingga target mencapai inflasi 2 % akan mudah dicapai. Tentu the Fed tidak ingin mengambil resiko dengan buru buru menurunkan suku bunga. Momentum perbaikan itu harus dijaga.


***

Ada tiga hal mendasar  yang menggrogoti ekonomi AS selama beberapa tahun belakangan ini. Yaitu, Inflasi, monopoli, dan utang. Tiga hal itu terjadi karena mind corruption akibat begitu besarnya ketergantungan AS kepada korporat. Inflasi terjadi karena AS menyelesaikan krisis moneter tahun 2008 lewat pelonggaran quantitative. Sementara Krisis itu sendiri terjadi akibat lemahnya pengawasan pasar uang. Monopoli terjadi karena financialisasi PDB. Utang membesar karena politik populisme.


Melihat keadaan ekonomi AS sekarang tidak bisa dengan kacamata ekonomi semata. Ini soal idiologi kapitalisme VS populisme. Dari free market ke market regulated. Tidak ada solusi yang cepat mengatasinya. Karena bangun system kapitalisme di AS sudah berakar. Nah Trump membaca keadaan ini dengan baik. Dia tidak perlu ahli ekonomi duduk di ring 1 kekuasaannya. Yang dia perlukan adalah orang yang jago membangun persepsi pasar lewat berbagai issue, seperti Elon Musk dan yang punya Trust tinggi seperti  Timothy Mellon*)


Issue proteksionisme pasar domestic oleh Trumps,  yang langsung disambut rakyat dengan terpilihnya dia sebagai presiden. Sebenarnya mengarah kepada penolakan terhadap kesepakatan global yang merugikan korporat AS. Seperti Paris Agreement, ESG, Pajak global minimum bagi MNC. Maklum dengan adanya Paris agreement dan ESG terkait emisi karbon nol telah mengguncang korporat oil and gas, thermal coal. Belum lagi dengan adanya Pajak Global minimum sebagai mitigasi resiko imbalance economic gloIbal yang jelas merugikan MNC.


Kemudian issue sentiment anti China yang diawali dengan ancaman larangan Trumps terhadap platform social media China, kini berubah.  Dari larangan menjadi aliansi. Tiktok platform milik China, justru ditawari bermitra dengan raksasa IT seperti Microsoft dan lainnya. Dan Trumps pura pura tidak tahu keok nya industry EV Amerika  oleh China. Terakhir, tumbangnya saham tekhnologi di Wallstreet akibat hadirnya AI DeepSeek dari China. Secara tidak langsung Trumps sedang membuang toxin dari perekenomian AS yang selama ini menyerap begitu besar likuiditas keuangan, yang nilai tradable nya rendah.


Apabila issue ini sukses mengembalikan kedigdayaan korporat, berikutnya adalah memaksa The Fed untuk menurunkan suku bunga agar moneter longgar. Sekuritisasi sumber daya korporat punya jalan lebar untuk masuk ke pasar leverage lewat Bursa dan perbankan. Arus modal akan mengalir ke AS berkat dukungan likuiditas dari the Fed. Maklum kekuatan mesin ekonomi AS ada pada TNC dan TNC berkembang berkat inklusif keuangan. 


AS bukanlah negara totalitarian. AS adalah negara demokrasi. Cara melakukan perubahan tidak dengan komando satu tangan seperti layaknya totalitarian. Tetapi lewat issue. Membangun persepsi baru agar mendapat dukungan dari publik.  Issue ini di viralkan lewat social media. Menjadi kebenaran baru. Artinya, disaat cara konvensional mengatasi ekonomi tidak efektif ya lakukan lewat jargon proteksionisme. Rakyat banyak mudah terbuai dengan romantisme nasiolisme. Dan tidak peduli kalau yang membuainya adalah predator. ***


*). Nama Bank Of New York atau BONY tentu familiar bagi semua orang. Ya BONY adalah operator the Fed dalam mengendalikan moneter AS dan pergerakan pasar uang. Nah pemilik dari BONY adalah Bank Melon. Siapa itu? Bank Melon didirikan oleh Andrew Mellon. Dia adalah banker Yahudi yang legendaris. Nah cucunya adalah Timotius Mellon.


Saat Trumps mencalonkan diri sebagai Presiden AS, Timotius Mellon. menyatakan diri sebagai penyandang dana kampanye Trumps. Sumbangan dananya lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh Elon Musk. Dalam catatan perjalanan bisnisnya. Mellon memang banyak tersangkut kasus perdata. Maklum dia pemain hedge fund yang piawai dan selalu lolos dari jeratan hukum. Nah kini Trumps jadi presiden. Tentu Timoti Mellon menjadi orang kepercayaannya.