Wednesday, March 5, 2025

Bursa jatuh karena issue...?

 



Di tengah awan mendung BEI dengan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), ada pertemuan antara OJK dan operator BEI dengan para konglomerat. Pertemuan itu dihadiri juga oleh Utusan Khusus Presiden Raffi Ahmad, Bos Adaro Garibaldi Thohir, Bos Sinar Mas Franky Widjaja, Bos Indika Energy Arsjad Rasjid, Ketua Kadin Anindya Bakrie, anak Prajogo Pangestu Agus Salim Pangestu, hingga Komisaris Amman Mineral Agus Projosasmito. 


Dalam pertemuan itu pihak otoritas mendengar keluhan dari para konglomerat yang juga pemegang saham pengendali dari beberapa Emiten besar di BEI. Intinya mereka meminta kepada OJK agar menunda implementasi Short selling dan kalau bisa dibolehkan buy back saham oleh pendiri tanpa perlu ada RUPS. Tadinya saya tidak ingin membahas seputar kejatuhan IHSG. Tapi karena itu saya tergelitik membahasnya.


Ini kali pertama ada pertemuan semacam itu. Waktu bursa booming, semua seperti superman. Pas ada masalah, kembali datang ke bapak minta perlindungan. Padahal kita semua tahu, market itu free entry free fall. Sekali otoritas tunduk dengan konglomerat dan lobi politik, itu akan menimbulkan paradox bursa sebagai sumber likuiditas, stabilitas ekonomi dan perlindungan kepada investor. 


Minggu lalu peringkat saham MSCI Indonesia dipangkas dari equal weight menjadi underweight. Yang menjadi menarik karena  MSCI memasukan unsur likuiditas. Ini penting sekali. Kan tidak semua investor keep asset untuk jangka Panjang. Dan tidak semua yang netting. Ada juga yang gunakan saham itu untuk leverage. Nah kalau likuiditas saham itu rendah. Ya ngapain beli. Walau marcap tinggi, fundamental bagus, tapi likuiditas rendah,  kan sama aja onani. Mending jual aja. Begitu persepsinya.


Tapi kita semua tahu bahwa pergerakan saham itu kan tergantung kurva demand and supply. Itu memang terkait dengan factor internal dan eksternal. Seperti data makro ekonomi negara, trend industry dan lain lain. Memang dihitung secara matematika. Namun tetap saja opini. Saya tidak melihat rating MSCI itu berarti buruk. Hanya saja pada saat sekarang dan 6 bulan kedepan, trader engga bullish. Walau ekonomi  Indonesia dilanda PHK dan ekspor melemah, daya beli melemah engga akan nyungsep. Kemungkinan reboud ada saja.


Mengapa ?  ada 6 juta investor BEJ, dimana sebagian besar adalah investor local dan hanya segelintir  asing. Namun asing menguasai saham hampir 50% di bursa. Artinya yang menggerakan saham itu adalah asing. Nah asing ini hampir semua pemain monetaris. Mereka perlu arena untuk leverage. Engga penting arena becek atau kering. Mereka perlu market yang volatile agar bisa dapatkan spread price lebih besar. Artinya volatilitas itu by design dan bagian dari business monetaris.


Lantas apa penyebab pasar tervolatilitas begitu ekstrim? Dalam konteks permainan bursa, ini tidak lebih penyebabnya adalah issue besar yang sengaja diciptakan dan digelindingkan ke lantai bursa. Seperti factor eksternal adanya kebijakan proteksi Trumps atas kenaikan tarif impor. Padahal sampai kini belum ada riset market terkait dengan kebijakan tarif Trumps. Itu hanya sebatas issue saja. Maklum Trumps memang berpolitik dengan jualan issue. 


Begitu juga issue internal tetang distrust terhadap kepemimpinan Prabowo. Karena masih melibatkan Jokowi dalam BPI Danantra. Pasar tahu bahwa itu justru mengakui hasil pemilu yang dirty vote. Belum lagi proses efisiensi anggaran yang tidak melalui perubahan fostur APBN. Ini menimbulkan ketidak pastian terhadap pertumbuhan. Apalagi gagalnya rapat kerja MenKeu dan Bappenas dengan DPR terkait dengan target pertumbuhan yang hendak dicapai. Ini jadi issue besar.


Nah issue issue besar itu terus menggelinding dan menjadi alasan investor asing melakukan aksi jual. Aksi jual oleh asing ini adalah juga tekanan terhadap capital outflow. Tentu IDR terpengaruh melemah.  Kalau IHSG terus melemah pada titik tertentu, akan mendorong investor institusi local melepas portfolio nya.  Pada waktu bersamaan para konglomerat yang melakukan leverage atas sahamnya saat booming juga menderita. Karena dalam kondisi Marcap drop mereka kan harus topup. Mau engga mau mereka harus cutloss. Jual diharga bawah.


Dampak dari pelemahan IDR dan jatuhnya IHSG akan merembet ke market SBN. Apa jadinya kalau Yield SBN semakin tinggi.? itu akan membuat asset bank berupa SBN akan jatuh. Padahal sebagian besar bank terikat repo dengan BI untuk mengamankan likuiditasnya, Kan memaksa perbankan topup dan ujungnya CAR mereka akan drop. Dampaknya bisa sistemik.


Saat itulah asing serok saham. Market rebound tetapi korban akibat penurunan saham itu menyisakan investor institusi, perbankan dan konglomerat yang suffering karena asset nya turun.  Inilah resiko bursa yang harus dipahami oleh president. Artinya tidak melulu pasar bergolak  karena factor fundamental. Tetapi bisa saja karena factor issue. Nah issue ini tidak datang dengan bahasa buzzer oposan. Itu tercipta dengan sendirinya akibat presiden lemah dalam memitigasi resiko politik atas setiap kebijakannya.


Saran saya, pembantu presiden harus terlibat aktif menangkal issue ini dengan baik dan terpelajar. Engga bisa dengan statement yang tidak berdasar. Apalagi sampai mengundang OJK bertemu dalam satu forum dengan stakeholder dan konglomerat. Itu taboo boss. Di bursa manapun, otoritas itu tidak pernah vulgar tampil depan publik. Mereka harus tetap menjadi Lembaga purity pengawal pasar dengan prinsip fairness. Ini bursa, bukan lapo tuak. Pahami itu.