Wednesday, March 12, 2025

Tahu dirilah...

 






Program populisme selalu bertolak belakang dengan hukum pasar dan pasti distorsi. Populisme bagi negara seperti Indonesia itu adalah kebodohan akibat lack financial knowledge. Sejak Indonesia apply Government financial statistics reform tahun 2000, tidak ada lagi uang datang dari langit politik atau printing money. Neraca negara udah telanjang dihadapan pasar. Semua orang bisa menilai dan mengukurnya dengan mudah.


Apalagi sejak Indonesia memberlakukan monetize PDB lewat sukiritisasi surat utang dalam bentuk SBN, sebenarnya populisme itu udah masuk ke keranjang sampah.  Tidak ada lagi uang mudah datang dari brankas negara tanpa terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Secara tidak langsung negara berhutang kepada rakyat. Artinya ketika uang di create lewat sukuritisasi, outcome sosial dan ekonomi harus terukur secara akademis. 


Mengelola APBN yang ditopang hutang adalah mengelola janji dan itu tertuang dengan fostur APBN, yang dengan jelas menentukan secara agregat angka defisit, kurs, IHSG, dan harga komoditas utama, dan lain lain. Semua harus ada hitungannya berdasarkan standard international. Diiuji oleh pasar. Kesalahan atau mis-management keuangan negara akan berdampak kepada jatuhnya kurs dan indek saham. Meningkatnya yield surat utang. Jatuh nya upah real dan melemahnya daya beli dan kompitisi. Mahal sekali ongkos yang ditanggung rakyat.


APBN kita itu cash basic, bukan akrual basic. Jadi tidak bisa future income dijadikan sumber daya untuk di-leverege. Nah kata kunci kesuksesan pengelolaan keuangan negara itu ada pada trust. Maklum surat utang SBN itu tidak ada collateral. Hanya ada underlying. Trust itu ada pada disiplin mengelola APBN yang sesuai dengan standar international yang berlaku, sebagaimana UU No. 17/2003, UU No.1/2004.  Selama ini SBN laku dipasar dan likuid karena trust itu.


Saya perhatikan era SBY, Jokowi dan Prabowo tidak banyak elite memahami sistem keuangan negara. Mengalirnya dana Bansos dan BLT serta subsidi BBM adalah distorsi terhadap sistem keuangan negara. Walau politik punya kuasa memasukan pos pembiayaan populis ke dalam APBN, namun politik tidak bisa melawan pasar. Kurs Rupiah tahun 2004 sebesar Rp 8.800/USD. Kini sudah mencapai Rp. 16.500. Artinya terdepresiasi sebesar 200% selama kurun waktu 20 tahun. Artinya secara idiot, everage setiap tahun 10% nilai uang dikantong anda lenyap.


Mengapa ? karena gap antara Presiden atau politik dengan ekonomi real sangat jauh. Membangun ekonomi itu adalah juga membangun peradaban dan social engineering. Tidak bisa instant. Butuh waktu dan pengorbanan dari semua pihak dalam berproses membangun fondasi industry, perdagangan dan jasa. Sementara kekuasaan dibatasi 5 tahun. Dalam kurun waktu 5 tahun tidak cukup waktu menilainya secara objecif. Sementara electoral butuh narasi dan bukti untuk dijual.


Situasi ini memaksa presiden dan menteri melakukan kebijakan pragmatis dan transaksional. Sistem pun terdistorsi.  Menteri Perumahan punya program pengadaan rumah murah yang angsurannya di tanggung negara sebesar Rp. 600.000/bulan. Program Badan Gizi Nastional , MSB per anak Rp. 10.000. Menteri Koperasi punya program akses pembiayaan Koperasi Desa sebanyak 70.000 unit melalui perbankan BUMN.


Ini contoh populisme. Pemerintah tidak sadar kalau kebijakan itu against terhadap sekuritisasi SBN. Pasti tidak feasible lewat sistem perbankan, apalagi lewat investor institusi. Kalau dipaksakan, akan berdampak kepada sistem keuangan negara. Yield SBN akan naik, trust perbankan akan jatuh. Sistemik sekali dampak jangka panjangnya.


Sementara upaya BPI Danantara membiayai PSN lewat sekuritisasi asset BUMN, itu akan mempengaruhi valuasi dari SBN. Karena SBN juga dalam penerbitan SUKUK Syariah menjadikan asset BUMN sebagai underlying. Total SUKUK Syariah sampai dengan tahun 2024 mencapai Rp2.808,66 triliun dengan outstanding sebesar Rp1.565,72 triliun. Sementara net worth asset BUMN berdasarkan neraca konsolidasi tahun 2024 hanya +/- Rp.1000 triliun. Itu sudah insecure sebenarnya. Mau tambah lagi ?  Pasti engga eligible.


Apa kesimpulan dari tulisan  saya ini? Bukan pesimistis atau distrust karena lack financial knowledge dari elite, tetapi sekedar mengingatkan. Bahwa reformasi yang dulu diperjuangkan sudah berada dijalur yang benar dan lengkap dengan standard compliance nya. Jangan main main dengan itu. Mengapa ? Negara kita tidak dalam kondisi surplus tabungan. Artinya kita ini miskin. Hidup dari cash flow hutang. Tahu dirilah.  Tanpa tahu diri anda hanyalah trouble maker.

No comments: