Saturday, October 11, 2008

China masa lalu dan kini



Petugas business center mengirim guide untuk aku berkunjung  ke Mao monumen. Guide itu seorang wanita dengan tinggi di perkirakan diatas 170 cm. Dia mengenakan Baju putih, kerah berenda dan dipadu dengan rok diatas lutut warna merah. Dia kenalkan namanya, Fang Yin. Kalau saja matahari musim panas sedang berbaik hati, rok tipisnya tentu menerawang pula.

Bagiku dia tidak lebih wajah lain dari China sekarang. Kalah dan menang. Komunisme memang telah terkubur secara culture kesehariaan di China. Ia hanya tinggal simbol seperti patung Mao itu dari sekian banyak monumen yang dibangun di China. Walau sebetulnya kematian Mao, komunis juga ikut mati. Namun para elite politik tak ingin komunis kehilangam simbol.  

Bagiku, pesan yang disampaikannya oleh monumen itu bukanlah simbol keagungan Komunisme. Tapi simbol yang pernah membuat pemimpin china menawarkan kebohongan berongkos mahal. Seolah menyediakan anak tangga untuk naik menggapai kejayaan, tapi sejatinya adalah parade prosesi kematian kemanusiaan.

Sepekan menyusuri Changsa cukup untuk menemukan betapa masa lalu, termasuk yang baru saja lewat, beroleh tempat penting. Monumen, mural, artefak museum, teater mutakhir, seni rupa beramai-ramai mengabadikannya dengan saksama. Sepertinya, ada kerja kolektif untuk menjaga ingatan. Semacam saling mengajak waspada. Jakarta adalah lain cerita. Uang dihamburkan untuk lampu-lampu hias, air mancur, patung-patung pahlawan palsu dan monumen-monumen nirmakna. Ketika Changsa dikepung ingatan, Jakarta terkubur kepalsuan dan lupa. Kau tetap mematung menerawang di sana. Di pelataran monumen yang luas dan memanjang sungai Xiang , jarak kami, mau tak mau, dekat belaka.

”Apakah orang inni semua seperti kamu ?”  Katanya. Orang china menyebut indonesia dengan sebutan Inni. Entah mengapa. Mungkin lidah mereka tidak bisa melafalkan secara utuh Indonesia.

” Mengapa kamu tanyakan itu.?”

”Mengherankan juga. Ada yang suka monumen ini, apalagi dari Indonesia.” Batas antara seringai dan senyummu menyembul dari balik payung jingga. Gigimu putih berkilau.

”Memang jelek secara artistik dan arsitektural. Tapi aku suka pesan yang dibawanya. Ajakan waspada pada kembalinya kebrutalan masa lalu. Menjaga ingatan. Melawan lupa.”

”Hmmm….”

”Ada apa dengan orang Indonesia ?”

”Saya suka orang Indonesia karena mereka punya akal sehat dan berani melawan komunis.”

”Wow! Tahu dari mana kamu ? pernah ke Indonesia.

“ Itu yang saya tahu dari buku bacaan dan saya menyimpukan rakyat Indonesia cukup cerdas dan berani bersikap. Suatu saat saya ingin berkunjung ke Indonesia.

”Sekarang giliranku yang mesti heran kalau begitu. Kenapa kau harus bekerja sebagai Guide. Kamu cantik dan tentu tidak sulit dapatkan kerjaan lebih baik ?” Aku menyergah, mengubah posisi.

”Di China orang hidup berkompetisi dan mengambil resiko. Kami tidak ada waktu berpikir dan bertanya mengapa. Kalau ada kesempatan hari ini ya gunakan. Aku butuh kerjaan dan makan.”
Senyap menyergap senja Changsa. Gerimis mulai mereda. Langit merah di sungai Xiang memanggil-manggil malam.

***
Perjumpaan kedua kami adalah pada senja bergerimis berikutnya. Angin tak mau mengajak berkawan. Udara musim panas Changsa pun sedikit mendingin.

”Boleh aku sedikit mendekatimu?”

Permintaanmu tiba-tiba. Dan mustahil kutolak.

”Aku ingin bunuh diri.” Kau pecah sunyi dengan cara yang sama sekali tak kuduga.

”Hah!? Maksudmu?”

”Kurang jelaskah itu? Atau bahasa Inggrisku kurang bagus di telingamu?

”No. No. Inggrismu sempurna. Aku mendengar. Tapi….”

”Ya. Aku sedang berpikir untuk bunuh diri….”

”Bagiku tak masuk akal.”

”Maksudmu?”

”Kau begitu muda. Ranum. Cantik. Cerdas. Dunia membentang luas di depanmu. Di sekelilingmu, perubahan berdentum-dentum. China-mu begitu bergairah. Kau hidup persis di tengah contoh sukses Asia da barat yang terpuruk. Masa depan menunggumu. Tinggal kau jemput. Kau dikepung musim semi daya hidup. Bagaimana mungkin kau justru ingin melangkah ke arah sebaliknya.”

”Oh… Begitukah kami dari kejauhan? Kau terlalu romantis. Kau pikir kematian komunisme adalah berita baik seluruhnya? Setelah komunisme mati, perubahan menghasilkan para penikmat sekaligus korban. Celakanya, aku menjadi yang kedua, korban! ”

”OK. Sorry untuk kenaifanku. Aku siap menjadi pendengar.”

”Ceritaku akan panjang. Ayo kita ke hotelmu saja. Keberatan kutemani dengan cerita panjangku?”

”No. Sama sekali tak keberatan.” Tentu aku menggeleng. Begitu baikkah Tuhan padaku senja ini?

***
Di luar, para pelancong hiruk-pikuk lalu lalang. Suara-suara beragam bahasa dunia menerobos masuk melalui jendela kamar hotel yang kita biarkan lebar terbuka. Seperti suara ribuan lebah yang pandai berganti dendang.

Ceritanya panjang. Lirih. Dan kelabu.

”Aku anak  bungsu dari 4 bersaudara. Dulu  di bawah kekuasaan komunis Mao, hidup menjadi begitu rutin. Ayah dan Ibuku menjadikan kegiatan membuat anak sebagai selingan menantang. Anak demi anak lahir begitu saja. Setiap tahun satu. Berderet-deret seperti pagar. Komunisme memang memanjakan. Negara menyediakan apa saja, mulai sabun mandi hingga roti, dengan tak ada lebih pada seseorang dibanding yang lain. Di bawah komunisme, orangtuaku dan siapa pun tak dibiasakan apalagi didesak untuk berkompetisi. Segalanya tersedia tanpa perlu upaya berlebih. Tapi itulah, hidup kami menjadi manja. Tidak menjadi kaya, tapi dalam kesehajaan yang terpelihara. 

Hidup terasa mudah belaka sampai kemudian Mao wafat dan seakan komunis juga ikut terkubur bersamanya. Keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Reformasi Deng  memaksa kami untuk berkompetisi. Negara tak lagi jadi penyantun, tapi membiarkan kami saling sikut untuk bertahan dan saling berebut hidup yang lebih baik.”

Suara-suara bising beragam bahasa dunia yang menyelinap dari balik jendela terbuka mulai perlahan menyenyap. Malam makin sepuh. Kubayangkan, para turis yang mulai letih telah memenjarakan dirinya di kamar-kamar hotel atau menyerbu panti-panti pijat dan klub-klub malam untuk menukarkan penat dengan keletihan yang lebih menyenangkan. Suaramu masih benderang, ceritamu seolah tak berujung, sementara ujung malam beringsut mendekat.

”Ibuku yang terlampau tua di hadapan kapitalisme, tersingkir dan tak lagi terpakai sebagai pejabat di kecamatan. Ayahku terkena program rasionalisasi Deng, yang memangkas lebih separuh PNS  tanpa diberi uang pensiun. Di berhentikan begitu saja. Kakak-kakakku sibuk dengan urusan masing-masing. Hidup yang keras membikin mereka tak lagi saling peduli satu sama lain. Aku terjepit dalam ketiadaan pilihan sampai sebuah tawaran yang begitu manis datang begitu saja dua tahun lalu. Sebuah biro penyalur tenaga kerja menawariku bekerja sebagai pramusaji di Malayasia.”

Kau terdiam. Menunduk. Matamu segera menjadi telaga. Dua sudut bendungan di sisi luar pangkal hidungmu makin tak mampu menahan air telagamu yang membanjir. Air matamu berjatuhan tanpa tercegah. Lalu suaramu menyendat pada pangkal cerita yang rupanya segera tiba.

”Aku ditipu. Aku dijual ke sebuah tempat prostitusi di Bukit Bintan dan Genting. Garis nasib yang kelam mesti kuterima tanpa daya. Badanku remuk dihantam kerja jahanam itu. Kemanusiaanku terbunuh oleh rutinitas itu. Membuka pintu kamar, membiarkan diperlakukan sebagai binatang, memunguti uang yang dilempar begitu saja ke atas tempat tidur sambil mendengar pintu ditutup dan suara sepatu lelaki di lantai menjauh hingga hilang ditelan lobi berkarpet. Badanku hancur, tapi hatiku lebih hancur. Kemanusiaanku makin hari makin tak bersisa. Benar-benar binasa.”

Air matamu membasahi bahuku. Dingin. Kita diterkam senyap yang tiba-tiba menjadi asing.
”Untunglah aku akhirnya bisa melepaskan diri dari enam bulan terpanjang dalam hidupku itu. Kabur dari  Kualalumpur, kembali pulang. Tapi hidup tetap tak bersahabat. Akhirnya kuulang pekerjaan yang sama di sini. Kali ini atas kemauanku. Persisnya, karena aku tak punya pilihan lain. Hingga sampailah aku menjadi guide dari biro tour. Ya… aku ingin bunuh diri. Rasanya aku sanggup menghadapi hidup yang berat dan keras, tapi tidak hidup yang terasa hambar seperti ini….” Sesenggukanmu mengeras. Sebuah cara pilu mengakhiri cerita panjangmu.***

Senja bergerimis. Langit di atas Bandara Internasional Changsa tersapu terlalu banyak kelabu. Birunya seperti malu-malu. Enggan memperlihatkan diri. Kau mematung menopang dua matamu yang nanar. Lagi-lagi bertelaga. Aku nyaris kaku ketika kau bisikkan kata-kata itu….

”Terima kasih banyak Bro. Untuk pertama kali dalam waktu yang sangat panjang, aku sanggup berbagi dan menangis. Kupikir air mataku sudah habis di Malaysia.” Suaramu parau. Aku mengusap-usap lembut punggungmu. 

”Keep in touch ya...” Kataku  seraya berjalan menuju ruang tunggu pesawat yang akan membawaku ke Hong Kong,  seperti memasuki lorong panjang yang asing. Kita menjauh, tapi suaramu seperti makin keras memanggil-manggil. Sosokmu hilang tertelan kelokan menuju ruang tunggu pesawat. Seorang pria bule tersenyum duduk di sampingku. 

“ Tahun 1998 saya datang ke China" kata pria bule itu. "Saya tidak suka orang china. Mereka kasar. Tidak tertip. Sikap yang tertutup.  Tapi kini mereka ambil hampir  semua asset kami.” sambungnya, entah apa maksudnya. Wajahnya nampak muram. 

Sambil menggeleng gelengkan kepala “ Bagaimana mungkin, masyarakat yang tertutup akhinrya bisa jadi kekuatan ekonomi dunia. Dari bank, telekomunikasi , property, dan lain lain orang china kuasai. Itu hanya dua puluh tahun baru kami sadari. Kini negeri kami berhutang lebih dari separuh anggaran kami. “ Kata Bule touris dar Amerika. Saya hanya tersenyum dan tak bergairah untuk menemaninya ngobrol sampai nunggu boarding

Ruang tunggu yang ramai tiba-tiba terasa begitu senyap. Di belakangku, terhalang berlapis-lapis dinding, di bawah gerimis senja Changsa seorang perempuan China sedang menangisi nasipnya. Nun di depanku, dipeluk malam Jakarta, orang orang masih sibuk bicara soal anti china, anti komunis, bersatu karena Sunnah. Masih sibuk dengan politik populis. Masih sibuk membangun mimpi utopia. 

Padahal bukan idiologi atau etnis atau agama penyebab kemakmuran dan kemiskinan. Bukan. Tapi karena mental hebat yang bisa membuat orang bisa berguna bagi orang lain. Karena mental buruk yang membuat orang jadi beban sosial. Karena mental juga orang bisa bertahan dari kehidupan yang memang apa boleh buat tidak ramah, dan cacat atau tersingkir begitu saja dalam amarah dan mimpi utopia. So Change your attitude then success will follow you.


No comments: