Thursday, May 9, 2024

Likuiditas perbankan ketat

 


Momok mengkawatirkan dalam sistem perbankan adalah likuiditas ketat. Maklum bank itu berbisnis dari cash flow dan kelancaran likuiditas sangat penting menjamin bank sustains. Minggu lalu Saham Bank Mandiri mengalami penurunan terbesar dalam lebih dari satu dekade. Saham turun 11% menjadi 6,175.00 rupiah ($0.38) pada Kamis sore, berada di jalur persentase kerugian satu hari terbesar sejak 2011. Mengapa? Likuiditas ketat mendorong persaingan mendapatkan dana, dan tentu berujung kepada kenaikan bunga. Membuat biaya dana semakin besar. Laba Bank Mandiri pada kuartal pertama hanya naik 1,1%, dan memangkas target margin bunga bersih setahun penuh sebesar 20-30 basis poin.  Bank bank kecil tentu lebih parah. 




Gejala ketatnya likuiditas sebenarnya sudah terasa sejak tahun lalu. Apalagi sebagian besar dana bank kesedot pasar SBN. Kini bukan hanya antar bank yang bersaing ketat dapatkan dana dari pasar. Antar BI VS Kementerian keuangan juga bersaing. Ya bersaing naikan suku bunga. Maklum BI perlu sedot dana asing agar moneter stabil. Dan Menkeu perlu dana untuk APBN. Masing masing punya kepentingan. 


Nah sejak BI rate naik jadi 6,25%. BI langsung terjun ke pasar dengan instrument SRBI (Sertifikat Rupiah Bank Indonesia) bertenor jangka pendek. SRBI tenor 12 bulan Yield 7,53%. Sedangkan SRBI tenor 9 bulan ditetapkan di 7,4% dan tenor 6 bulan 7,31%.  Ini record SRBI tertinggi sejak diperkenalkan tahun lalu. Melampaui level Yield SBN tenor terpendek. Dan tentu berdampak kepada likuiditas perbankan. Data JIBOR, sejak BI rate naik, kini sudah di 6,9% untuk tenor 1 bulan, lalu 6,51% untuk 1 pekan dan 6,17% overnight. Sedang JIBOR 3 bulan ke atas ada di kisaran 7,17%-7,45%.


Sementara SBN lelang terakhir pada 30 April, Ask-Bid yield 7,15% untuk SBN tenor 12 bulan (seri SPN) hingga 7,15%. Pemerintah akhirnya memenangkan di 6,82%. Tetap jauh lebih tinggi dibanding rate dimenangkan sebelum bunga acuan naik dalam lelang akhir Maret di level 6,48%. Yield yang semakin tinggi, tentu berdampak serius terhadap kemampuan APBN melakukan stimulus. Karena cost fund semakin mahal. Jadi mau tidak mau pemerintah harus restruktur APBN agar lebih efisien dan tidak menabrak rambu rambu defisit yang ditetapkan oleh UU. 


Memang kenaikan Yield SRBI berdampak pada meningkatnya confidence pasar maupun investor global sehingga menarik aliran modal asing. Yang pasti happy ya investor. Sementara keadaan era suku bunga tinggi the Fed itu akan masih berlangsung lama. Dampaknya sektor real yang jadi andalan PDB nasional dan penyerapan angkatan kerja terancam. Bank akan menahan pengucuran kredit.  Agar 
pertumbuhan kredit pada level dua digit atau 11%, BI terpaksa menyuntikan likuiditas ke dalam perbankan lewat Kebijakan Likuiditas Makroprudensial sekitar Rp260 triliun.  Namun itu tidak akan otomatis pertumbuhan kredit akan meningkat. Mengapa ?


Karena bagaimanapun kredit itu dasarnya kelayakan bisnis. Dengan adanya likuiditas ketat, negara ( BI dan Menkeu) masuk ke pasar lewat penjualan surat berharga dan kenaikan tarif pajak,  terjadi Crowding Out Effect, yaitu daya beli publik akan drop. Kalau pasar domestik lesu, bisnis jadi engga layak. Kredit tidak akan di approved bank. Situasi ekonomi dan moneter kita memang sedang tidak baik baik saja. Perlu langkah hati hati dan rela mengorbankan kepentingan politik populis agar bisa melewati goncangan ini..





No comments: