Friday, August 21, 2020

Kerjasama China- Indonesia, manufaktur Vaksin COVID-19



Saya telp teman menanyakan soal kebijakan impor bulk Vaksin dari China. Teman ini menurut saya punya kompetensi menjawab. Karena di samping dia ilmuwan juga punya akses ke pemerintah. Menurut dia memang kita belum ada alat riset Bio-Safety Laboratory. Lab yang dirancang dengan tingkat keamanan yang tertinggi dengan kriteria BSL-4. Iran punya, seharusnya kita juga punya. Apalagi penduduk kita nomor lima di dunia. Selama ini kita hanya jadi manufactur saja dari produsen obat di luar negeri. Ya semacam tukang packing saja.  Namun dalam kerjasama dengan Sinovac sudah ada kewajiban transfer tekhnologi. Tetapi itu berkaitan dengan produksi vaksin yang sesuai dengan standar WHO,  bukan bagaimana menciptakan formula vaksin. Soal ini memang harus ada persiapan pusat riset virus yang modern. 

Yang saya sedihkan, berpuluh tahun kebijakan negara benar benar tidak berorientasi kepada kemandirian. Karena semua tahu bahwa pharmasi khususnya vaksin itu sama dengan alutsita tempur. Negeri ini populasinya nomor 5 terbesar di dunia. Benar benar idiot kalau pemimpin tidak berpikir mandiri dan bergantung nyawa ratusan juta rakyat kepada asing, khususnya di saat pandemi. Puluhan tahun kita menghadapi berbagai pandemi, berpuluh tahun kita bakar uang untuk subsidi BBM. Sementara nyawa rakyat diserahkan kepada asing dan kita membuang devisa untuk asing semakin kaya.  Betapa besar dosanya penguasa sebelum ini. Mereka diberi amanah namun mereka bermain main dengan amanah itu. 

Bukan itu saja. Mindset ilmuwan kita juga ikut tercemar. Padahal mereka sekolah tinggi berkat investasi pemerintah di bidang pendidikan. Mereka jadi elite di negeri ini. Karena 99% rakyat tidak punya kesempatan mendapatkan pendidikan tinggi. Tetapi hasilnya? mereka hanya jadi imuwan dengan titel hebat, dan mendapatkan kehidupan layak karena statusnya. Sementara kemandiria di bidang pharmasi tidak tercapai.

Untunglah di saat pandemi ini, kesadaran Pemerintah bangkit. Jokowi sudah pastikan kemandirian bidang pharmasi harus jadi focus utama ke depan. Di APBN anggaran stimulus untuk kemandirian  industri pharmasi disediakan. Pertanyaannya adalah sejauh mana political will itu. Apakah hanya sebatas anggaran? Bagaimana dengan sarana Lab Modern berstandar biotekhnologi? Di samping itu, tata niaga Obat juga perlu dibenahi agar tidak hanya kebijakan sebatas retorika.

***

Sebelum tahun 2008 industri pharmasi China memang penuh dengan skandal obat palsu dan kualitas rendah. Namun setelah tahun 2008, China mengundang para sarjananya yang diaspora di luar negeri yang bekerja di Industri Besar Pharmasi di Amerika dan Eropa. Mereka diundang bukan dijadikan pekerja tetapi dijadikan pengusaha. Tentu mereka akan di dampingi ahli menagement dan business. Beijing memberikan kebebasan mereka melakukan riset pharmasi terapan maupun formulatif. Semua anggaran disiapkan pemerintah China. Bukan itu saja, semua sumber daya China berupa pasar besar dibuka lebar bagi mereka. Dengan memberikan aturan dimana pemerintah sebagai market offtaker.

Beberapa tahun lalu sekelompok ilmuwan China yang bekerja di pusat riset industri pharmasi Kanada berkumpul. Mereka memutuskan untuk kembali ke China. Namun mereka minta empat orang dulu pulang, salah satunya Yu Xuefeng. Kalau memang sukses, yang lain akan nyusul. Empat orang itu pimpinan puncak di bidang riset pada perusahaan pharmasi di Kanada. Benarlah. Mereka datang ke China disambut dengan karpet merah oleh pemerintah, dengan memberikan izin dan modal mendirikan perusahaan Biotekhnologi di Tianjin, CanSino Biologics Inc. Bahkan Militer China memberikan bantuan tenaga akhli bidang virologi kepada mereka.

Walau masih merugi sebesar USD 22 juta namun perusahaan yang berdiri tahun 2014 itu telah menjadi perusahaan terdepan dalam riset Virus. Kini tahun 2020 nama mereka mendunia karena  diaggap sebagai perusahaa terdepan dalam riset Vaksin Corona. Mereka megalahkan perusahaan raksasa di bidang Pharmasi yang sudah puluhan tahun pengalaman. Seperti CanSino banyak di China yang berdiri berkat dukungan penuh pemerintah. Namun mereka tidak bekerja di BUMN.  Tidak jadi PNS. Pemerintah China membina mereka jadi enterpreneur dan melengkapi mereka dengan team ahli bidang bisnis dan marketing.

Itu sebabnya setelah tahun 2008 China leading dalam riset pharmasi. Kemajuan sangat pesat. Pusat biotekhnologi dasar dibangun sangat modern di Pulau Hainan dan Wuhan. Semua fasilitas itu sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan oleh ilmuwan China, termasuk bagi mereka yang diaspora di luar negeri untuk pulang membangun China lewat industri pharmasi.

***

Di China ada tiga produsen vaksin COVID-19. Yaitu Sinovac, Sinopharm dan CanSino. Diantara tiga itu pemerintah memilih Sinovac sebagai partners. Harga Vaksin Sinopharm kemungkinan dihargai tidak lebih dari 1.000 yuan atau sekitar Rp 2,1 juta per paket. Berapa harga buatan Sinovac ? Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai pihak, termasuk PT Bio Farma Tbk., harga vaksin berkisar antara US$ 5 sampai US$ 10 per buah. Pertanyaannya berapa harga per paket ? belum tahu pasti.  Yang jelas bila dari awalnya direncanakan sebesar 350 juta buah, dengan anggaran sebesar Rp 25 triliun hingga Rp.30 triliun, sekarang pemerintah pada awalnya hanya impor sebesar 50 juta unit. Memang vaksin bisnis yang menggiurkan. Apalagi sumber dana dari APBN, marketnya terjamin. 

Bagaimana teknis kerjasama antara Bio Pharma dan Sinovac ? Sinovac sebagai supply Chain manufaktur Vaksin kepada Bio Pharma. Bio Pharma membeli dari Sinovac berupa bulk vaksin ready to fill. Apa itu? Antigen yang sudah dimurnikan, yang sudah ditambahkan bahan khusus. Dalam proses manufactur, bulk vaksin itu diolah atau di fill sehingga menjadi Vaksin siap di pasarkan. Memang dalam proses manufaktur itu- walau kecil sekali- masih ada kandungan dalam negeri (TKDN). Artinya tidak 100% kandungan impor. Dalam hal ini Bio Pharma sudah pengalaman sebagai manufaktur virus yang sudah ada di pasaran seperti Virus hepatitis dll. 

Apakah kita mungkin mampu menerima transfer tekhnologi dari China. Dapat informasi bahwa memang Lab kita engga punya alat dan kemampuan sampai pada tahap pemurnian antigen. Jadi memang puluhan tahun Bio Pharma itu hanya jadi tukang packing aja. Nah dalam MOU antara Sinopac dengan BIo pharma ada kewajiban transfer technologi. Apanya yang mau ditransfer? risetnya udah selesai kok. Jadi transfer tekhnologi hanya sebatas gimana meracik aja dan manufactur. How to create ? , engga ada. Setidaknya sudah ada political will dari pemerintah untuk jadi pijakan awal tekad kemandirian pharmasi. Ya selanjutnya  tergantung dari kebijakan pemerintah mendorong para ilmuwan mau bekerja keras sebagai tuan di negeri sendiri.

Kalau sekarang kembali sebagai manufaktur saja seperti sebelumnya, moga cepat berubah menjadi produsen. Kalau bisa kandungan konten dalam negeri bisa 90%. Kuncinya adalah riset dan semangat juang untuk mencapai kemandirian. Akhirnya saya harus berkata “ selamat datang Sino Vaksin. Kami siap bayar demi bisa sehat dan normal lagi. Karena kami tidak punya pilihan lain. Moga kalian tepati janji mentransfer otak pinternya kepada kami. Agar kami bisa pula mandiri seperti kalian.”

No comments: