Friday, August 28, 2020

Semua perusahaan minyak merugi...?



Bank Jepang MUFG memperkirakan harga minyaka Brent naik menjadi $ 35 pada kuartal ketiga, $ 46 dalam tiga bulan terakhir tahun ini dan $ 49 pada awal 2021. Kalau perkiraan harga seperti itu maka Arab Saudi dengan harga BEP ( pulang modal) sebesar USD 55,3 per barrel pasti tekor atau berdarah darah bila harus menjual di bawah harga impas. Dari semua negara penghasil minyak, hanya UEA yang bisa menjual diatas harga BEP. Karena BEP nya diangka USD 32 per barrel. Namun tetap juga rugi ketika menjual. Itu sebabnya tidak perlu terkejut bila perusahaan Explorasi dan produksi BBM kehilangan pendapatan tahun ini. Totalnya engga tanggung tanggung. Yaitu sebesar USD 1 triliun atau kurang lebih Rp. 14000 Trilion rupiah. Apa artinya ? Pendapatan drop 40% dar tahun sebelumnya. Karena harga minyak global misal sejenis Brent turun lebih dari 60% year-to-date. Itu level terendah sejak 20 tahun lebih.

Apa penyebabnya? itu akibat dari adanya pandemi COVID-19 yang memaksa mesin economy shutdown sebagai kelanjutan dari kebijakan social distance dan lockdown. Pabrik berhenti atau produksi bersilambat atau bekerja di bawah kapasitas. Bisnis logistik dan transfortasi yang butuh banyak BBM terpaksa mengurangi operasionalnya dan tentu permintaan BBM menurun. Belum lagi industri petro kimia yang butuh sumber nafta dari Crude oil juga mengurangi kapasitas produksinya. Masyarakatpun mengurangi perjalanan menggunakan angkutan darat maupun udara. Misal angkutan udara drop sebesar 90% permintaan fuelnya. Badan Energi Internasional memperkirakan pada tahun 2020, rekor kehilangan permintaan sebesar 9,3 juta barel per hari (bpd). Jadi pahamlah alasannya. Tidak perlu jadi pengamat ahli perminyakan untuk tahu mengapa mereka merugi.

Di tengah harga turun dan melemahnya sisi permintaan BBM secara global, stok minyak di bunker tidak sanggup lagi menampung BBM hasil produksi refinery. Keadaan ini menimbulkan dilema. Kalau refinery di shutdown maka kerugian makin besar. Maklum investasi kilang ( refinery ) itu diatas ratusan triliun, yang sekali shutdown akan memakan ongkos besar sekali. Itu sebabnya harga minyak tahun ini pernah mencapai negatif. Berapapun harga pasar, mereka jual agar terhindar dari biaya penyimpanan dan resiko shutdown refinery.

Makanya jangan kaget bila index S&P bagi bisnis explorasi dan produksi minyak jatuh ke angka 3%. Padahal sebelumnya  beberapa decade bisnis ini punya index 15%. Bahkan tahun 1980 mencapai 30%. Merupakan index bisnis tertinggi dibandingkan bisnis lainnya. Kalau mendengar istilah raja minyak, itu sama dengan raja dunia. Karena menguasai 1/3 output dan kekayaan atau ekuitas global. Namun sekarang, bisnis ini Index S& SP menempati urutan nomor dua terendah di bandingkan bisnis lainnya.

Nah dalam bisnis, kalau sisi permintaan turun dan harga juga jatuh, maka ekspansi juga terhenti. Mana ada perusahaan terus belanja kalau market lesu. Exxon memotong belanja modalnya secara global sebesar 30%. Chevron, BP, Shell, dan Saudi Aramco adalah di antara produsen besar lainnya yang telah mengumumkan pemotongan pengeluaran antara 20% dan 25% dalam operasi mereka secara global. Reuter melaporkan, mereka telah memangkas anggaran belanjanya sebesar USD 54 miliar. Tentu berdampak significant terhadap pertumbuhan ekonomi global.

Kalau harga minyak jatuh dan produksi menurun. Maka proses selanjutnya arus kas juga terganggu. Ini mengganggu operasional semua perusahaan minyak. Engga ada lembaga keuangan mau terlibat dalam membantu cash flow dengan kondisi fundamental bisnis yang stuck akibat harga dan permintaan menurun. Nah anda bisa bayangkan. Apa yang terjadi pada negara negara yang sangat tergantung pada sektor minyak. ? Rusia, Irak, Arab Saudi, dan banyak negara Timur Tengah dan Asia Tengah lainnya, mereka benar benar suffering. Kalau ini terus berlanjut sampai akhir tahun, kita tidak bisa bayangkan apa yang terjadi pada mereka.

Indonesia, sebagai konsumen minyak terbesar nomor lima dunia, memang tidak berdampak serius. Kaerna kita tidak lagi tergantung sepenuhnya pada sektor minyak. Sektor ini sejak tahun 2008 dari tahun ke tahun semakin menurun kontribusinya terhadap PDB. Bahkan kalah dengan sektor pariwisata. Kalau Pertamina merugi, itu juga wajar. Tetapi kalau meliat angka kerugian Pertamina pada semester 1 tahun ini sebesar Rp. 11 triliun itu bukan angka yang besar. Karena itu hanya dampak dari menurunnya pendapatan sektor hulu. Di sektor hilir Pertamina masih untung. Trend penjualan BBM sejak bulan Mei mulai terangkat naik. Dalam laporan keuangannya, Laba operasi secara kumulatif dari Januari sampai dengan Juli 2020 sudah mencapai US$ 1,26 milyar

itu sebabnya secara operasional Pertamina tetap berjalan baik, termasuk komitmen perusahaan untuk menjalankan penugasan distribusi BBM dan LPG ke seluruh pelosok negeri serta menuntaskan proyek strategis nasional seperti pembangunan kilang. Jadi kalau perusahaan minyak negara lain memangkas anggaran expansinya, sebaliknya Pertamina terus belanja atau ekspansi. Growth tentu akan terus naik di masa akan datang.

No comments: