Monday, December 29, 2025

2026 ekonomi masuk fase bahaya.

 



Saya bukan ekonom. Namun untuk memahami bahwa ekonomi Indonesia sedang menghadapi masalah fundamental, seseorang tidak perlu gelar akademik—cukup kejujuran membaca data dan konsistensi kebijakan. Pemerintah boleh saja menyalahkan perlambatan ekonomi 2024–2025 sebagai warisan kebijakan masa lalu. Namun hingga hari ini, sulit menemukan kebijakan terstruktur dan koheren yang benar-benar ditujukan untuk memperbaiki fondasi ekonomi. 


Yang tampak justru sebaliknya. Narasi stabilitas dikumandangkan bersamaan dengan peningkatan utang, pembiayaan fiskal yang makin agresif, dan keterlibatan bank sentral di pasar sekunder agar surat utang negara tetap terserap. Dalam literatur ekonomi, ini bukan stabilitas. Ini fiscal dominance, dan ia selalu rapuh. Sebagaimana diingatkan oleh Sargent & Wallace (1981) dan diperkuat oleh BIS (2023), ketika kebijakan moneter dipaksa menyesuaikan kebutuhan fiskal, stabilitas hanya bersifat sementara. Ia adalah bom waktu, bukan jangkar kepercayaan.


Tahun 2026 berpotensi menjadi fase ujian nyata bagi ekonomi Indonesia. Bukan karena satu guncangan besar, melainkan karena akumulasi risiko fiskal dan moneter yang selama ini dikelola secara taktis, bukan struktural. Ekonomi tidak runtuh. Namun ruang geraknya semakin sempit. Dalam konteks ini, target pertumbuhan di atas 6%, apalagi mendekati 8%, lebih menyerupai retorika pemasaran kebijakan ketimbang proyeksi ekonomi berbasis data. Literatur pertumbuhan (Rodrik, 2013; Easterly, 2001) konsisten menunjukkan bahwa tanpa transformasi struktural, lonjakan pertumbuhan berkelanjutan adalah ilusi.


Ada empat isu kunci yang menjelaskan mengapa. Mari saya jelaskan secara sederhana. 


Pertama. Fondasi fiskal Indonesia masih bertumpu pada dua mesin lama yaitu komoditas dan konsumsi domestik. Masalahnya, keduanya melemah bersamaan. Harga nikel, CPO, dan batu bara tidak lagi memberi windfall seperti periode 2021–2022. Normalisasi harga global, kelebihan pasokan, dan perlambatan permintaan Tiongkok menekan basis penerimaan negara. IMF (2024) dan World Bank (2023) secara eksplisit mencatat bahwa ketergantungan fiskal pada komoditas meningkatkan volatilitas anggaran negara berkembang.


Di sisi lain, belanja negara bersifat rigid: subsidi energi dan pangan, kewajiban bunga utang yang meningkat seiring suku bunga global, belanja sosial, serta proyek strategis dengan biaya politik tinggi untuk dihentikan. Akibatnya, risiko fiskal 2026 bukan berupa lonjakan defisit, melainkan menyempitnya fleksibilitas anggaran. Ini sebuah kondisi yang dalam literatur fiskal disebut fiscal rigidity trap (Alesina et al., 2019). Pemerintah terjebak dilema klasik. Menahan belanja dampaknya pertumbuhan melemah. Meningkatkan belanja  dampaknya tekanan pembiayaan ( hutang) meningkat. Dalam kondisi seperti ini, wacana pertumbuhan 8% bukan optimism, melainkan penyangkalan realitas.


Kedua. Era suku bunga tinggi global belum benar-benar berakhir. The Fed dan ECB masih berhati-hati karena inflasi struktural—khususnya jasa dan upah belum sepenuhnya jinak (BIS Annual Report, 2024). Bagi Indonesia, implikasinya jelas ada pada tekanan menjaga stabilitas nilai tukar tetap tinggi, suku bunga domestik tidak bisa dilonggarkan agresif, biaya dana bagi dunia usaha tetap mahal. Stabilitas moneter memang terjaga, tetapi dengan harga yang mahal berupa perlambatan kredit dan investasi. Ini sejalan dengan literatur monetary trade-off in emerging markets (Rey, 2015) dimana stabilitas eksternal sering dibayar dengan melemahnya transmisi kredit domestik.


Ketiga. Dunia usaha merespons dengan rasional melalui menunda ekspansi. Perbankan semakin selektif. Likuiditas tersedia, tetapi tidak produktif. Salah satu indikator paling jujur dari kondisi ini adalah tingginya undisbursed loan—kredit yang disetujui tetapi tidak dicairkan. Fenomena ini bukan sekadar isu teknis perbankan. Ia mencerminkan ketidakselarasan antara regulasi kehati-hatian Basel III, dan profil risiko sektor riil Indonesia. Literatur pasca-krisis global (Borio, 2014) menunjukkan bahwa over-tightening prudensial dalam fase perlambatan dapat mendorong ekonomi ke low credit–low growth equilibrium. Jika tren ini berlanjut hingga 2026, maka investasi stagnan, penciptaan lapangan kerja melemah, UMKM kehabisan napas, PHK berpotensi meluas.


Keempat. Tekanan akhirnya turun ke rumah tangga. Inflasi barang dan jasa sekunder—pendidikan, kesehatan, transportasi, perumahan—terus naik, sementara kenaikan upah nominal tertinggal. Data BPS dan kajian ILO (2023) menunjukkan pelemahan upah riil di banyak negara berkembang pascapandemi, termasuk Indonesia. Dalam jangka pendek, ini terlihat sebagai kehati-hatian konsumsi. Dalam jangka menengah, literatur ekonomi politik (Stiglitz, 2012) mengingatkan bahwa pelemahan kelas menengah adalah risiko sosial dan politik seperti Nepal dan Bangladesh.


Penutup.

Tantangan ekonomi 2026 bukan soal optimisme atau pesimisme. Ia soal kejujuran membaca struktur. Indonesia tidak menghadapi krisis seperti 1998 atau 2008. Tetapi justru di situlah bahayanya. Perlambatan struktural sering diabaikan karena tidak memicu kepanikan. Padahal sejarah ekonomi menunjukkan bahwa stagnasi berkepanjangan jauh lebih berbahaya daripada krisis terbuka (Japan’s Lost Decades menjadi contoh klasik).


Tanpa diversifikasi basis pajak, reformasi pembiayaan sektor riil, koreksi relasi fiskal–moneter, dan perlindungan nyata terhadap daya beli, stabilitas akan berubah menjadi stagnasi. Dan stagnasi, di mana pun dalam sejarah, selalu membuka pintu bagi risiko yang lebih besar—fiskal, moneter, dan sosial. Tahun 2026 akan lebih sulit. Bukan karena Indonesia miskin sumber daya, melainkan karena waktu untuk berbenah semakin sempit, sementara pemerintah masih sibuk berbicara, bukan bekerja.



No comments: