Sejak 2023 pemerintah mewajibkan eksportir—khususnya sektor SDA—menempatkan sebagian Devisa Hasil Ekspor (DHE) di perbankan domestik. Aturannya berulang kali direvisi, diperketat, lalu dilonggarkan, tetapi hasilnya sama, yaitu DHE tidak mengalir signifikan ke sistem keuangan domestik. Akibatnya Rupiah tetap tertekan dan Yield obligasi melonjak. Sementara Bank Indonesia tetap menjadi satu-satunya tameng likuiditas. Artinya, kebijakan gagal secara struktural, bukan administratif. Pertanyaannya: mengapa Jawabannya sederhana tetapi pahit:
karena menteri-menteri ekonomi tidak memahami arsitektur perdagangan internasional, struktur pembiayaan global, dan prinsip dasar rezim moneter bebas.
1. DHE Tidak Bisa Diatur dengan Instruksi Negara.
Karena mayoritas perdagangan global tidak settle di negara eksportir. Dalam perdagangan modern, arus uang tidak mengikuti arus barang. Contohnya, Nikel Indonesia diekspor ke China, tetapi pembayarannya sering dilakukan melalui: bank di Singapura atau escrow account Hong Kong, atau trade financing Jepang, atau letter of credit (L/C) Eropa. L/C bukan “uang perusahaan”, tetapi pembiayaan bank asing.
Artinya? DHE itu milik bank yang membiayai transaksi, bukan milik eksportir. Maka bagaimana negara bisa memaksa? Dalam arsitektur finansial ini, instruksi pemerintah seperti “ Taruh 30% DHE di bank Indonesia.” sama saja mengatakan, “ Bank asing, ubah seluruh struktur pembiayaan Anda demi regulasi kami.” Ya, Tidak ada bank internasional yang mau menurunkan efisiensi risikonya hanya demi mematuhi negara emerging market.
2. 80–90% Ekspor SDA Indonesia Di-backup oleh Trade Financing Chain Internasional
Dalam skema modern, eksportir dapat modal kerja dari bank asing, bank asing membayar duluan melalui L/C, pelunasan oleh importer masuk ke rekening bank asing. Nah Ekspor berbasis trade financing berarti: Eksportir Indonesia tidak pernah “memegang” devisanya. DHE secara ekonomi tidak transit ke rekening Indonesia. Inilah yang tidak dipahami para menteri—mereka mengira alurnya sederhana: Barang keluar → uang masuk → tahan DHE. Padahal alurnya adalah: Uang bank asing → pelunasan importer → clearing di sistem offshore.
3. Sistem Investasi Global: Pemilik Modal Tidak Ingin Terjebak Risiko Rupiah.
Mengapa? Investor dan buyer global melihat risiko:
• rupiah tidak convertible penuh,
• aturan sering berubah,
• risiko capital control,
• likuiditas FX domestik dangkal.
Maka natural bagi mereka untuk menahan dana di luar Indonesia. Nah Jika dipaksa masuk maka cost of hedging naik. Otomatis pricing jadi tidak kompetitif. Karena buyer minta diskon dan eksportir kehilangan margin. Akibatnya? Lebih menguntungkan bagi eksportir untuk merekayasa invoice, underinvoice, atau memutar pembayaran di offshore daripada mengikuti DHE.
4. Pemerintah Tidak Memahami Konsep “Offshore Liquidity Dominance”
Singapura dan Hong Kong menguasai
• 80% transaksi FX regional,
• 70% trade financing Asia,
• 65% USD clearing pipeline.
Indonesia hanya 1–2%. Artinya? Arus devisa global tidak dikendalikan negara, melainkan arsitektur keuangan internasional. Memaksa DHE masuk ke Indonesia sama seperti meminta sungai internasional mengubah alirannya demi satu desa.
5. Pengusaha Akan Selalu Menang dalam Permainan Arbitrase FX
Karena biaya hedging di Onshore market mahal, swap rupiah tidak likuid, forward rate domestik buruk, offshore NDF lebih efisien dan modern. Jika pemerintah memaksa DHE masuk: maka eksportir tetap bisa delay, netting, mispricing, atau use offshore SPVs. Pada titik ini kebijakan tidak bisa efektif. Mengapa ? Anda sedang melawan insentif ekonomi yang lebih kuat daripada regulasi negara.
6. Rezim Moneter Bebas (Open Capital Account) Membuat DHE Tidak Bisa Dipaksa
Indonesia menganut sistem kurs mengambang, aliran modal bebas keluar masuk, offshore NDF aktif, bank internasional dominan. Dalam rezim seperti ini, kapital mencari efisiensi, bukan nasionalisme. Maka, kebijakan DHE kontradiktif. Anda membuka pintu modal bebas tapi ingin devisa “dikurung” secara administratif. Ini seperti ingin memelihara burung-burung liar di halaman rumah, hanya dengan papan larangan.
KESIMPULAN
Kebijakan DHE mustahil efektif selama Trade financing dikuasai offshore. FX market domestik tidak dalam & tidak efisien. Rupiah tidak convertible penuh. Bank asing mengendalikan settlement. Sistem moneter Indonesia tetap open capital account. Ini bukan masalah patriotisme atau ketidakpatuhan pengusaha. Ini masalah desain.DHE hanya akan efektif jika Indonesia membangun infrastruktur trade financing sendiri, memperdalam pasar valas domestik, memperkuat perbankan lokal, mendorong settlement ekspor memakai IDR atau direct FX pair.
Atau dengan kata lain, yang
harus dibangun adalah ARSITEKTUR, bukan ANCAMAN. Regulasi bisa memaksa orang patuh, tapi tidak bisa memaksa pasar global mengubah struktur finansialnya.
No comments:
Post a Comment