Thursday, December 4, 2025

Mengapa bukan bencana Nasional.?

 



Banjir bandang meluluhlantakkan kampung-kampung, longsor menelan rumah dan jalan raya, ribuan warga mengungsi, ekonomi daerah lumpuh. Namun status yang muncul tetap itu-itu saja. Bencana daerah.  Merujuk data BNPB per 4 Desember 2025: 776 jiwa meninggal. 564 orang hilang, 2.600 orang terluka. 10.400 rumah rusak.50 kabupaten terdampak di beberapa provinsi. Bendungan jebol, infrastruktur runtuh, roda ekonomi berhenti total. Jika mengacu pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan aturan BNPB, seluruh indikator bencana nasional sudah jelas terpenuhi. 




Nah, menurut UU Penanggulangan Bencana, status bencana nasional berarti pemerintah pusat wajib mengambil alih penanganan, membiayai seluruh pemulihan, memulihkan infrastruktur, dan menanggung masa depan warga yang terdampak. Dengan kata lain, negara harus mengakui bahwa pemerintah daerah—dan bahkan pusat—gagal melindungi rakyatnya. Dalam dunia politik, pengakuan seperti itu terlalu mahal.


Status Nasional Membuka Kotak Pandora.


Realitas pahitnya adalah sebagian besar bencana ekologis di Indonesia bukan murni “bencana alam”. Mereka bencana kebijakan. Banjir disebabkan pembalakan hutan untuk sawit, tambang yang merusak DAS, pembangunan kawasan industri di zona rawan, sedimentasi sungai akibat hilangnya tutupan lahan, food estate yang membabat hutan lindung. 


Jika pemerintah menetapkan bencana nasional, maka seluruh izin konsesi harus diaudit, perusahaan besar dapat dimintai pertanggungjawaban, pejabat pemberi izin dapat disorot, oligarki SDA bisa terseret ke meja publik. Dan inilah batas merah yang tak berani dilampaui. Karena sebagian besar elite politik punya saham pada konsesi Sawit, tambang dan HTI. Menyatakan bencana nasional sama saja seperti menyalakan lampu sorot ke wajah mereka sendiri dan juga kepada para pemain besar ekonomi-politik negeri ini yang menjadi sponsor Pemilu.


Risiko Fiskal.


Puluhan triliun rupiah dibutuhkan untuk rehabilitasi DAS, perbaikan infrastruktur, pembangunan hunian, pemulihan ekonomi lokal, jaminan hidup korban. Saat ruang fiskal negara sudah sempit—defisit APBN, beban bunga utang, dan belanja birokrasi—pemerintah enggan menanggung konsekuensi fiskal sebesar itu. Status “bencana daerah” memungkinkan beban itu diserahkan ke pemda, dibagi-bagi dengan masyarakat, dan dilupakan perlahan-lahan ketika berita sudah tenggelam.


Stabilitas Politik.


Narasi resmi negara selama ini sengaja dibangun pemerintah adalah  " pembangunan berjalan baik, pertumbuhan ekonomi kuat, hilirisasi berhasil mengurangi risiko ekologis, Indonesia semakin maju dan modern”


Deklarasi bencana nasional merusak seluruh narasi tadi. Ia mengirim sinyal ke publik dan internasional bahwa pembangunan berjalan tanpa kontrol. Tidak ada pemerintah yang ingin memukul wajahnya sendiri.


Mengapa Bencana Tak Pernah “Naik Kelas”? 


Karena Itu akan menurunkan banyak kursi. Penetapan bencana nasional dapat menyebabkan ketimpangan kebijakan palu-godam gubernur dan bupati terbongkar, pejabat pusat ikut terseret karena kebijakan tata ruang dan izin berada di tangan kementerian, sponsor politik terganggu, korporasi yang selama ini menjadi donatur pemilu merasa terancam. Ini bukan soal manajemen bencana. Ini soal ekonomi politik kekuasaan.


Kesimpulan.


Bencana boleh disebut “daerah”, tetapi luka dan kematian rakyat di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah tragedi nasional. Ketika banjir bandang menelan kampung, longsor memutus jalan, ribuan warga kehilangan rumah, dan ekonomi daerah lumpuh total, negara seharusnya tidak bersembunyi di balik kalimat administratif: “Belum memenuhi syarat bencana nasional.”


Padahal hukum kita jelas, pemerintah pusat wajib mengambil alih apabila skala bencana melampaui kapasitas daerah. Ketika itu tidak dilakukan, muncul pertanyaan konstitusional, apakah negara menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur UUD 1945? Di titik inilah rakyat memiliki hak hukum yang tidak boleh diremehkan.


Mahkamah Konstitusi tidak bisa menerima class action, tetapi ia bisa menerima gugatan uji materiil terhadap undang-undang atau pasal-pasal yang diselewengkan dalam implementasi. Dalam konteks ini, masyarakat sipil dapat menguji: Kelalaian pemerintah dalam menerapkan UU Penanggulangan Bencana.Keputusan administratif yang bertentangan dengan mandat konstitusiPenafsiran negara yang merugikan hak hidup warga. Jika MK memutus bahwa pemerintah melanggar konstitusi, maka pemerintah wajib tunduk.


Dan bila pemerintah tetap tidak melaksanakan, konsekuensinya sangat serius. UUD 1945 Pasal 7A–7B menyebutkan: Presiden dan Wapres dapat diberhentikan jika melanggar hukum atau UUD 1945. Mengabaikan kewajiban negara dalam melindungi rakyat dari bencana, atau mengabaikan putusan MK, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran konstitusi.


Prosesnya jelas: MK memutus bahwa pemerintah melanggar UU. DPR mengajukan pendapat bahwa Presiden/Wapres melanggar konstitusi. MK memeriksa. Jika terbukti, MPR dapat menggelar Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden/Wapres Artinya,  mengabaikan bencana bisa berujung pada pemasjulan. Itu kalau demokrasi sehat. Sayangnya demokrasi kita cacat lahir batin.




No comments: