Saturday, December 13, 2025

Sistem pembangunan masa lalu sudah gagal.

 



Pendahuluan.

Indonesia memang tidak dilintasi siklon tropis. Namun menganggap negeri ini aman dari dampaknya adalah kekeliruan ilmiah yang berbahaya. Dalam dinamika atmosfer modern, siklon tropis tidak berhenti dampaknya pada pusat pusaran, melainkan meninggalkan gangguan sistemik yang memengaruhi pola hujan regional, termasuk di wilayah khatulistiwa seperti Indonesia.


Aktivitas siklon tropis di Samudra Hindia dan Pasifik Barat dalam beberapa bulan terakhir telah memodifikasi sirkulasi atmosfer tropis. Dampaknya terasa dalam bentuk penguatan hujan yang menetap dan berulang, bukan hujan ekstrem sesaat. Inilah yang oleh sebagian ahli disebut sebagai remote impact—efek tidak langsung siklon yang justru sering lebih merusak bagi negara equatorial.


Secara sains, mekanismenya jelas. Siklon tropis bekerja sebagai mesin pemindah energi dan uap air. Ketika aktif di selatan atau utara Indonesia, siklon menarik massa udara lembap dari wilayah tropis dan mengubah pola tekanan udara regional. Akibatnya, ITCZ (Intertropical Convergence Zone) menguat, monsoon trough memanjang, dan interaksi dengan Madden–Julian Oscillation (MJO) menjadi lebih intens. Kombinasi ini menghasilkan hujan lebat yang bertahan lama dan meluas.


Yang sering luput dipahami publik: dampak ini tidak berhenti dalam hitungan minggu, melainkan dapat berlanjut hingga musim berikutnya. Atmosfer tropis memiliki “memori”. Ditambah dengan suhu permukaan laut yang masih di atas normal, suplai uap air tetap tersedia, sehingga potensi hujan tinggi akan terus muncul hingga tahun depan.


Risiko ini tidak terbatas pada Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Wilayah lain seperti Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi juga berada dalam zona rawan. Faktor penentunya bukan semata curah hujan, tetapi akumulasi hujan di atas ekosistem yang telah kehilangan daya serap. Banjir bandang dan longsor adalah fenomena hidrologi, bukan sekadar peristiwa cuaca. Ketika hutan di hulu rusak, sungai dangkal oleh sedimen, dan tata ruang mengabaikan daya dukung lingkungan, hujan yang secara klimatologis tergolong “normal” pun bisa berujung bencana.


Menyederhanakan situasi ini sebagai “cuaca ekstrem” adalah kesalahan fatal. Sains iklim telah lama menegaskan: hujan adalah variabel alam, tetapi banjir adalah produk interaksi alam dan kebijakan manusia. Mengabaikan aspek tata kelola lingkungan sama artinya dengan menyerahkan keselamatan publik pada keberuntungan semata.


Tahun depan bukanlah masa jeda, melainkan fase ujian kesiapan nasional. Pertanyaannya bukan apakah hujan akan turun—itu keniscayaan di negeri khatulistiwa—melainkan apakah kita masih membiarkan air jatuh ke tanah yang sudah kehilangan kemampuan menahannya. Di Indonesia, bencana jarang datang dengan angin besar. Ia datang perlahan, melalui hujan yang dibiarkan tanpa jalan keluar.


Sains kebencanaan modern membedakan dengan tegas antara bencana episodik dan bencana sistemik. Gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami adalah contoh bencana episodic, yang merupakan kejadian ekstrem. Setelah fase darurat dan rekonstruksi, memungkinkan wilayah terdampak dipulihkan dan difungsikan kembali. Risiko tetap ada, tetapi tidak bersifat kumulatif dan progresif dalam jangka pendek. Sebaliknya, banjir bandang dan longsor di wilayah-wilayah tersebut telah berubah menjadi bencana sistemik berbasis degradasi ekologi. Tidak bisa penyelesaiannya sepeti kasus bencana episodic. 


Dangerous Place

Aceh, Sumut, dan Sumbar serta beberapa wilayah lain di Indonesia berada pada bentang alam yang sensitive. Pegunungan curam, DAS besar, dan curah hujan tinggi khas khatulistiwa. Dalam kondisi ekologis yang sehat, karakter ini bukan masalah, karena hutan hujan tropis berfungsi sebagai penyangga hidrologi alami.


Namun, ketika deforestasi terjadi dari hulu ke hilir, kawasan lindung terfragmentasi, pertambangan, perkebunan, dan pembukaan lahan tidak terkendali, maka wilayah tersebut berubah secara structural  menjadi zona berisiko tinggi permanen. Dalam terminologi kebencanaan internasional, ini bukan lagi hazard-prone area, melainkan dangerous place—wilayah di mana probabilitas bencana meningkat dari waktu ke waktu karena kerusakan sistem penyangga alam. Di wilayah seperti ini, membangun kembali rumah dan infrastruktur tanpa memulihkan ekologi sama dengan menyusun ulang properti di jalur longsor aktif.


Mengapa ? 


Dalam banyak laporan pascabencana, rekonstruksi kerap dipuji sebagai simbol ketangguhan: jalan dibangun kembali, jembatan diperbaiki, permukiman direlokasi sementara, lalu kehidupan “kembali normal”. Namun sains lingkungan menunjukkan kenyataan yang jauh lebih mengganggu. Normalitas yang dipulihkan itu sendiri telah menjadi bagian dari masalah. Pendekatan rekonstruksi konvensional gagal bukan karena kekurangan sumber daya, melainkan karena ia mengabaikan hukum dasar sistem bumi.


Ekosistem memiliki kapasitas terbatas untuk menyerap gangguan. Dalam hidrologi dan ekologi, kapasitas ini dikenal sebagai daya dukung lingkungan dan dibatasi oleh ambang batas non-linear. Ketika tutupan vegetasi menurun, struktur tanah rusak, dan DAS terfragmentasi, kemampuan lanskap untuk menyerap hujan runtuh.


Akibatnya, curah hujan yang sebelumnya bersifat normal kini berubah menjadi limpasan destruktif. Ini bukan fenomena cuaca ekstrem semata, melainkan pergeseran rezim hidrologi. Pada titik ini, membangun kembali infrastruktur tanpa memulihkan fungsi ekosistem sama artinya dengan menempatkan struktur rapuh di atas fondasi yang telah runtuh.


Paradigma lama memandang bencana sebagai kejadian insidental. Ilmu risiko modern membantah asumsi ini. Dalam sistem lingkungan yang terdegradasi, setiap kejadian hujan besar mempercepat erosi, memperdalam sungai, dan melemahkan lereng. Waktu pemulihan ekologis lebih panjang daripada jeda antar-kejadian ekstrem.


Dengan demikian, risiko bersifat kumulatif dan bergantung pada lintasan sejarahnya. Setiap rekonstruksi yang mengabaikan proses ini tidak mengurangi risiko, melainkan mewariskan risiko yang lebih besar ke kejadian berikutnya. Bencana berikutnya datang lebih cepat, dengan intensitas yang lebih parah, meskipun hujan tidak selalu lebih ekstrem.


Jalan, jembatan, dan tanggul adalah pencapaian teknik sipil, tetapi bukan solusi ekologi. Infrastruktur keras dirancang untuk beroperasi dalam kondisi lingkungan yang relatif stabil, bukan untuk menahan kegagalan sistem hidrologi dan geomorfologi. Dalam lanskap yang telah kehilangan fungsi alaminya, struktur ini justru mempercepat aliran air, menyempitkan sungai, dan memindahkan risiko ke wilayah lain. 


Siklus yang dihasilkan menjadi tragis dan berulang: bencana, rekonstruksi, bencana kembali. Dalam literatur kebijakan publik, pola ini dikenal sebagai normalization of failure—ketika kegagalan sistemik diterima sebagai kondisi rutin yang harus dikelola, bukan diselesaikan.


Pemulihan sejati tidak berarti membangun kembali apa yang hancur, tetapi mengembalikan fungsi sistem dan menurunkan risiko jangka panjang. Ini menuntut pergeseran paradigma: dari respons pascabencana ke pendekatan preventif berbasis ekosistem, dari infrastruktur keras ke restorasi lanskap, dan dari pertumbuhan spasial ke pengakuan batas ekologis. Tanpa perubahan ini, rekonstruksi akan terus berperan sebagai ritual administratif yang memberi kesan aksi, namun gagal menghentikan spiral kerusakan.


Kesalahan mendasar kebijakan publik adalah memperlakukan semua bencana seolah setara. Negara menggunakan pendekatan pasca-gempa untuk bencana berbasis ekologi. Ini salah kategori. Gempa dan tsunami tidak dipicu oleh tata kelola manusia, tidak bersifat progresif, tidak “diproduksi ulang” oleh kebijakan salah. Banjir dan longsor dipicu dan diperparah oleh keputusan ekonomi dan politik, meningkat seiring waktu, dan sepenuhnya bisa diprediksi. Pertanyaan yang tersisa bukan lagi bagaimana kita membangun kembali dengan cepat, tetapi apakah kita berani mengakui bahwa sebagian “normalitas” harus ditinggalkan agar masa depan tidak terus dibangun di atas kegagalan yang sama. 


Solusi. 


Dalam ilmu lingkungan modern, satu kesepakatan telah lama tercapai: alam tidak beroperasi berdasarkan kompromi politik. Ia tunduk pada hukum fisika, biologi, dan kimia yang bekerja tanpa memperhatikan kepentingan elektoral, investasi, atau stabilitas jangka pendek. Ketika kerusakan ekosistem telah melampaui ambang batasnya, pilihan kebijakan menyempit—bukan karena ideologi, tetapi karena realitas ilmiah.


Lima langkah kebijakan berikut bukanlah seruan moral atau aktivisme, melainkan konsekuensi langsung dari sains sistem bumi (Earth system science).


Moratorium total di DAS kritis.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah unit ekologis yang terikat secara kausal. Kerusakan di hulu secara deterministik akan dimanifestasikan di hilir melalui banjir bandang, longsor, sedimentasi, dan kegagalan sistem air. Dalam kondisi DAS kritis, fungsi hidrologis telah mengalami degradasi struktural: infiltrasi menurun drastis, limpasan meningkat, dan stabilitas lereng melemah.


Pada titik ini, pendekatan berbasis izin atau mitigasi parsial kehilangan relevansi ilmiah. Teori ecological thresholds menunjukkan bahwa sistem yang telah melampaui ambang batas tidak akan pulih melalui pengurangan tekanan bertahap. Moratorium total tanpa pengecualian bukan kebijakan ekstrem, melainkan satu-satunya respons yang konsisten dengan ilmu ketahanan ekosistem (resilience theory).


Restorasi bentang alam.

Reboisasi sering disalahartikan sebagai penanaman pohon dalam skala administratif. Namun dalam ekologi hutan, pohon hanyalah elemen struktural dari sistem yang jauh lebih kompleks. Hutan berfungsi sebagai pengatur iklim mikro, penyangga hidrologis, penstabil tanah, dan reservoir keanekaragaman hayati.


Pendekatan ilmiah menuntut restorasi berbasis bentang alam (forest landscape restoration), yang memulihkan konektivitas habitat, struktur vertikal vegetasi, serta interaksi tanah–air–organisme. Proyek simbolik tidak akan mengembalikan fungsi ekosistem. Yang dibutuhkan adalah pemulihan sistemik, terukur, dan lintas wilayah.


Relokasi permanen.

Dalam ilmu kebencanaan, risiko merupakan hasil perkalian bahaya, paparan, dan kerentanan. Ketika bahaya bersifat permanen dan struktural—seperti longsor berulang atau banjir bandang—maka tidak ada rekayasa teknis yang dapat meniadakan risiko tersebut secara berkelanjutan. 


Relokasi permanen dari zona berisiko tinggi, atau managed retreat, sering dipersepsikan sebagai kegagalan pembangunan. Sebaliknya, dalam perspektif etika kebijakan berbasis sains, mempertahankan populasi di wilayah yang secara ilmiah tidak layak huni adalah bentuk pengabaian tanggung jawab negara. Ketidakpopuleran politik tidak membatalkan validitas ilmiah.


Tata ruang berbasis risiko.

Paradigma tata ruang modern masih didominasi logika pertumbuhan ekonomi dan ekspansi wilayah. Namun krisis ekologis menuntut pergeseran paradigma menuju perencanaan berbasis risiko (risk-informed spatial planning). Wilayah dengan risiko tinggi harus diakui secara legal sebagai tidak layak huni atau tidak layak dikembangkan, tanpa manipulasi zonasi. Pendekatan ini sejalan dengan kerangka internasional seperti Sendai Framework for Disaster Risk Reduction dan laporan IPCC, yang menekankan bahwa adaptasi tidak selalu berarti bertahan di tempat yang sama, melainkan menyesuaikan keberadaan manusia dengan batas ekologis.


Pengakuan krisis ekologis nasional.

Dalam teori kebijakan publik, pengakuan masalah adalah langkah awal dari transformasi kebijakan. Tanpa pengakuan resmi bahwa kerusakan lingkungan telah mencapai skala krisis nasional, respons pemerintah akan tetap terfragmentasi, sektoral, dan kosmetik.


Krisis ekologis bukan sekadar isu lingkungan; ia adalah ancaman terhadap ketahanan pangan, air, energi, kesehatan publik, dan stabilitas sosial. Mengabaikannya berarti membiarkan kebijakan berjalan dalam ilusi normalitas, sementara sistem alam telah berubah secara permanen.


Penutup.


Ketika ekosistem runtuh, pilihan kebijakan bukan lagi soal preferensi, melainkan soal kepatuhan terhadap hukum alam. Menunda pengakuan atau melembutkan respons hanya akan memindahkan biaya ke masa depan—dalam bentuk bencana yang lebih sering, lebih mahal, dan lebih mematikan. Pada akhirnya, pertanyaan yang dihadapi bukanlah apakah kebijakan ini terlalu keras, melainkan apakah kita berani menyesuaikan ambisi manusia dengan batas bumi sebelum bumi memaksakan batas itu sendiri.


Terus membangun di wilayah yang secara ekologis telah runtuh bukanlah tanda ketangguhan negara, melainkan penyangkalan struktural. Negara yang matang tidak hanya tahu cara membangun kembali, tetapi juga tahu kapan harus berhenti dan mengubah arah. Negeri ini butuh keberanian politik untuk mengakui bahwa model pembangunan lama telah gagal. Jika ini terus diabaikan, maka setiap banjir dan longsor berikutnya bukan lagi bencana alam, melainkan kejahatan kebijakan yang berulang—dan negara tidak bisa lagi bersembunyi di balik kata “cuaca ekstrem”.



No comments: