Tuesday, December 23, 2025

Padadox pengelolaan SDA.

 


Indonesia hari ini berada dalam sebuah paradoks strategis. Di satu sisi, pemerintah aktif hadir dalam forum iklim global—UNFCCC, COP, G20, dan berbagai inisiatif transisi energi. Di sisi lain, praktik kebijakan domestik justru menunjukkan resistensi sistemik terhadap standar iklim global yang kian mengikat. Paradoks ini bukan sekadar perbedaan tafsir kebijakan, melainkan persoalan struktural yang menentukan masa depan pembiayaan, reputasi, dan daya tawar Indonesia dalam ekonomi global.


Diplomasi Iklim yang Defensif

Dalam berbagai perundingan internasional, Indonesia cenderung menolak standar iklim yang dinilai membatasi eksploitasi sumber daya alam—baik dalam isu deforestasi maupun eksploitasi mineral kritis. Argumen yang dikedepankan relatif konsisten: kedaulatan pembangunan, hak negara berkembang, dan kebutuhan pertumbuhan ekonomi.


Penolakan terhadap standar deforestation-free (seperti EUDR Uni Eropa), kritik terhadap CPO, serta gugatan terkait larangan ekspor mineral mentah sering dibingkai sebagai perlawanan terhadap standar ganda negara maju. Namun dalam praktik diplomasi modern, sikap ini dibaca berbeda. Dunia tidak lagi memperdebatkan apakah sumber daya boleh dieksploitasi, melainkan bagaimana, di mana, dan dengan standar apa. Tanpa kerangka lingkungan yang kredibel dan terukur, posisi Indonesia terlihat defensif—bukan progresif.


Bencana Alam dan Politik Pengakuan

Paradoks kedua lebih sensitif. Banjir bandang dan longsor di berbagai wilayah Sumatra kerap tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, meski dampaknya luas dan berulang. Secara administratif, ini dapat dijelaskan sebagai keterbatasan fiskal. Namun secara politik internasional, keputusan ini sarat implikasi.


Mengakui bencana nasional berarti mengakui kegagalan tata ruang dan degradasi lingkungan struktural—sesuatu yang berpotensi melemahkan posisi Indonesia dalam forum iklim global. Dalam konteks UNFCCC COP, pengakuan krisis ekologis berulang dapat memperkuat argumen pembatasan pembiayaan berbasis risiko iklim. Akibatnya, muncul insentif diam-diam untuk menjaga narasi stabilitas. Padahal, dalam diplomasi iklim modern, sunyi bukan netral—ia sering dibaca sebagai upaya menutupi risiko.


Ancaman tarif dari AS.

Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengenai hasil perundingan lanjutan perdagangan Indonesia–Amerika Serikat mengandung satu pesan kunci, yaitu  kesepakatan tersebut bersifat kondisional dan belum final. Dalam diplomasi ekonomi, kata belum final hampir selalu berarti satu hal—masih ada prasyarat struktural yang diminta pihak mitra.





Dalam konteks ini, prasyarat tersebut berkaitan dengan kebijakan Indonesia atas ekspor mentah mineral kritis.


1. Negosiasi Bukan Soal Tarif, Tapi Soal Arsitektur Rantai Pasok

Perundingan Indonesia–AS tidak semata berbicara soal tarif dagang atau akses pasar konvensional. Yang sedang dipertarungkan adalah arsitektur global rantai pasok mineral kritis, terutama untuk tembaga, nikel, kobalt, dan mineral transisi energi lainnya.


Amerika Serikat memandang mineral kritis bukan sekadar komoditas dagang, melainkan aset strategis industri dan keamanan nasional. Karena itu, posisi AS relatif konsisten dalam satu hal bahwa eksploitasi mineral harus selaras dengan kebutuhan industri hilir global, bukan semata dorongan ekspor berbasis rente.


2. Di Mana Letak Ketegangan dengan Indonesia?

Indonesia, sejak 2020, memilih jalur larangan ekspor bijih mentah untuk memaksa hilirisasi domestik. Secara teori industrialisasi, langkah ini sah. Namun dalam praktik geopolitik ekonomi, kebijakan tersebut menimbulkan dua friksi utama, yaitu distorsi lokasi industri global. Negara pengguna mineral—termasuk AS—kehilangan fleksibilitas menentukan lokasi smelting dan refining sesuai keunggulan teknologi dan logistik mereka.


Kedua, Risiko over-extraction di hulu. Dorongan membangun smelter domestik secara masif menciptakan insentif eksploitasi cepat, bahkan ketika kapasitas industri hilir global belum tentu menyerap output tersebut secara efisien. Di sinilah paradoks muncul. Indonesia mengklaim larangan ekspor sebagai strategi nilai tambah, sementara mitra dagang melihatnya sebagai kebijakan yang justru mempercepat ekstraksi tanpa kerangka ESG yang mapan.


3. Freeport dan Isu Smelter: Simbol, Bukan Inti

Isu bahwa kesepakatan perdagangan dapat “mengarah pada pelonggaran kewajiban smelter”—misalnya dalam kasus Freeport—perlu dibaca bukan sebagai pengecualian korporasi, melainkan sebagai penyesuaian sistemik. Bagi AS, yang penting bukan lokasi smelter semata, melainkan kepastian pasokan tembaga global yang stabil, terukur, dan sesuai standar lingkungan.


Jika smelter domestic meningkatkan risiko ekologis, tidak efisien secara energi, atau menambah tekanan sosial, maka dari perspektif AS, hilirisasi tidak lagi dipandang sebagai solusi iklim maupun industri.


4. Konsistensi Sikap AS: Bukan Pro-Ekspor, Tapi Pro-Kontrol

Penting ditegaskan bahwa Amerika Serikat bukan pendukung ekspor mentah tanpa batas. Justru sebaliknya, kebijakan AS terhadap mineral kritis relatif konsisten pada tiga prinsip: Extraction discipline – eksploitasi sesuai kebutuhan industri, bukan spekulasi komoditas. Supply chain transparency – asal-usul mineral harus bisa ditelusuri. ESG conditionality – pembiayaan dan akses pasar terikat pada standar lingkungan dan sosial.


Dalam kerangka ini, tekanan agar Indonesia meninjau ulang larangan ekspor mentah bukan ajakan eksploitasi liar, melainkan dorongan agar kebijakan hulu–hilir selaras dengan tata kelola global.


5. Implikasi Strategis bagi Indonesia

Masalah utama Indonesia bukan pada hilirisasi atau ekspor mentah itu sendiri, melainkan pada ketiadaan narasi dan kerangka teknokratis yang kredibel secara global. Selama kebijakan mineral dibaca sebagai alat rente politik, tidak terintegrasi dengan standar ESG internasional, dan tidak sinkron antar-kementerian, maka setiap perundingan dagang akan selalu berhenti di tahap belum final.


Perundingan Indonesia–AS mencerminkan realitas baru ekonomi global: akses pasar kini ditentukan bukan hanya oleh tarif, tetapi oleh tata kelola sumber daya. 


Pembiayaan Global: Ancaman yang Nyata

Ancaman terbesar bagi Indonesia bukanlah sanksi formal, melainkan pembatasan pembiayaan global yang bertahap dan sistemik. Koalisi investor global seperti Net Zero Asset Managers (NZAM)—dengan AUM lebih dari USD 9 triliun—kian memperketat kepatuhan ESG. Dampaknya nyata: semakin banyak korporasi Indonesia kesulitan mengakses pembiayaan luar negeri, sementara konsorsium bank internasional mundur dari proyek-proyek industri strategis seperti pusat aluminium.


Di dalam negeri, situasinya diperparah oleh crowding out: perbankan lebih nyaman menempatkan dana di SBN dan SRBI ketimbang membiayai sektor riil. Besarnya undisbursed loan bukan semata karena pengusaha enggan meminjam, melainkan karena standar kredit global—termasuk Basel III dan ESG—kian ketat.


JETP dan Ambiguitas Komitmen

Indonesia telah berkomitmen pada Paris Agreement dan menerima dukungan transisi energi melalui JETP senilai USD 20 miliar. Namun implementasinya tersendat akibat perbedaan sikap antar-elite dan tarik-menarik kepentingan industri ekstraktif. Di era pemerintahan baru, fragmentasi politik ini kian terasa, membuat langkah Indonesia di forum iklim sulit konsisten.


Penutup.

Indonesia tidak sedang dihadapkan pada pilihan antara pembangunan dan lingkungan. Dilema sejatinya adalah antara penyesuaian dini yang terkontrol atau penyesuaian paksa oleh pasar global. Menolak standar iklim sambil berharap pembiayaan global tetap mengalir adalah kontradiksi strategis. Menyembunyikan krisis ekologis demi citra stabilitas justru memperbesar risiko jangka panjang.


Dalam dunia pasca-Paris Agreement, ekologi telah menjadi variabel geopolitik dan finansial. Diplomasi iklim bukan lagi ruang retorika, melainkan arena kepercayaan. Dan dalam ekonomi global, kepercayaan tidak runtuh karena kritik—ia runtuh karena ketidaksiapan untuk berubah.


No comments: