Presiden Prabowo Subianto benar ketika mengingatkan bangsa ini betapa besarnya Indonesia. Dari ujung barat ke timur, bentang geografisnya lebih panjang dari Amerika Serikat. Dari perspektif Eropa, wilayah Indonesia setara dengan jarak London hingga Moskow. Tiga zona waktu, ribuan pulau, ratusan budaya—ini bukan bangsa kecil. Namun dalam ekonomi abad ke-21, pertanyaannya bukan lagi seberapa luas wilayah kita, melainkan seberapa dalam pengetahuan yang kita kuasai. Dan di titik inilah paradoks Indonesia muncul dengan telanjang: negara yang sangat besar, tetapi nilai industrinya kecil—terutama jika diukur dari kapasitas riset material engineering.
Singapura adalah cermin yang menyakitkan. Negara kota tanpa tambang, tanpa hutan mineral, tanpa bentang geografis raksasa. Namun dalam indeks riset internasional—termasuk Nature Index dan publikasi materials science & engineering—Singapura berada jauh di atas Indonesia. Bukan karena mereka lebih kaya alam, tetapi karena mereka lebih sadar apa arti nilai.
Indonesia menggali nikel, bauksit, tembaga, pasir silika, dan batu bara dalam skala masif. Tetapi penguasaan kita berhenti di tahap material mentah dan setengah jadi. Material engineering—rekayasa struktur, sifat, dan fungsi material—belum menjadi fondasi industrialisasi nasional. Akibatnya, nilai tambah ekonomi menguap ke negara lain yang menguasai riset, paten, dan standar teknologi. Di sinilah makna kebesaran negara perlu dibaca ulang. Luas wilayah tidak otomatis melahirkan daya saing. Kekayaan alam tidak otomatis berubah menjadi kekuatan industri. Yang menentukan adalah kemampuan mengonversi material menjadi teknologi.
Singapura memahami ini secara strategis. Mereka menempatkan material science sebagai tulang punggung industri: baterai, semikonduktor, advanced manufacturing, aerospace, hingga teknologi energi. Negara kecil itu tidak menjual tanah atau batu, tetapi menjual pengetahuan tentang bagaimana material bekerja. Dari situlah lahir pricing power dan kedaulatan industri. Indonesia, sebaliknya, masih terjebak pada logika lama: bahwa membangun smelter dan kawasan industri sudah cukup. Padahal tanpa riset material engineering, industrialisasi hanya memperpanjang rantai ekstraksi. Kita mungkin terlihat sibuk—pabrik berdiri, ekspor naik—tetapi kendali nilai tetap di tangan negara lain.
Pernyataan Presiden tentang kebesaran Indonesia seharusnya menjadi titik tolak, bukan titik akhir. Negara seluas London–Moskow semestinya memiliki ekosistem riset material kelas dunia, bukan sekadar menjadi lumbung bahan baku global. Jika tidak, kebesaran geografis hanya akan menjadi latar belakang bagi ekonomi bernilai rendah. Sejarah industri global memberi pelajaran jelas: Jepang, Jerman, Korea Selatan, dan Singapura membangun kekuatan bukan dari luas wilayah, melainkan dari laboratorium, universitas riset, dan insinyur material. Mereka kecil di peta, tetapi besar dalam nilai.
Indonesia sudah besar secara fisik. Yang masih tertinggal adalah kebesaran dalam pengetahuan. Dan selama riset material engineering tidak menjadi prioritas nasional—setara dengan infrastruktur fisik dan politik—Indonesia akan tetap menjadi negara besar yang berdiri di pinggir rantai nilai global: luas wilayahnya mengesankan, tetapi kontribusi teknologinya minim. Kebesaran sejati bukan diukur dari jarak London ke Moskow, melainkan dari seberapa jauh kita mampu mengubah batu menjadi peradaban industri.
***
Indonesia adalah negara yang secara geografis raksasa. Bentangnya membentang ribuan kilometer, setara London hingga Moskow. Kekayaan alamnya berlapis: hutan tropis, mineral strategis, laut luas, dan bonus demografi. Namun di balik kebesaran itu, ada ironi yang tak bisa lagi ditutupi oleh pidato dan slogan: negara seluas ini dibonsai oleh sikap korup elit politik dan mindset rente.
Bonsai adalah seni mengecilkan pohon besar agar jinak, indah, dan mudah dikendalikan. Dalam politik-ekonomi Indonesia, kebesaran negara mengalami nasib serupa. Potensi yang seharusnya tumbuh tinggi dipangkas terus-menerus oleh praktik korupsi, perburuan rente, dan kebijakan jangka pendek yang melayani kepentingan sempit elite.
Masalahnya bukan sekadar korupsi dalam arti kriminal. Yang lebih berbahaya adalah korupsi cara berpikir. Mindset rente membuat kekuasaan dipahami bukan sebagai amanah untuk membangun kapasitas bangsa, melainkan sebagai akses untuk membagi konsesi: tambang, hutan, lahan, proyek, dan anggaran. Negara tidak diperlakukan sebagai organisasi pembelajar, tetapi sebagai ladang panen cepat sebelum masa jabatan berakhir.
Akibatnya, kebijakan publik kehilangan visi jangka panjang. Industrialisasi disederhanakan menjadi ekstraksi. Hilirisasi direduksi menjadi pemanjangan rantai komoditas, bukan penguasaan teknologi. Riset dianggap biaya, bukan investasi. Pendidikan dilihat sebagai pengeluaran sosial, bukan fondasi daya saing. Dalam ekosistem rente, nilai tidak diciptakan—ia hanya dipindahkan dari ruang publik ke kantong privat.
Inilah mengapa negara yang luas justru tampak kecil di rantai nilai global. Kita mengekspor bahan mentah, lalu mengimpor produk bernilai tinggi. Kita membanggakan pertumbuhan, tetapi rapuh saat harga komoditas jatuh. Kita berbicara kedaulatan, namun anggaran negara tersedot untuk membayar bunga utang akibat keputusan masa lalu yang miskin nilai tambah.
Korupsi elite tidak selalu hadir sebagai suap kasar. Ia sering tampil lebih halus: dalam regulasi yang dilonggarkan demi investor “strategis”, dalam pembiaran kerusakan ekologi yang disebut pembangunan, dalam pembingkaian kritik sebagai ancaman stabilitas. Di sinilah negara benar-benar dibonsai—bukan oleh kekurangan sumber daya, tetapi oleh ketiadaan keberanian moral dan intelektual.
Negara besar membutuhkan elite besar: bukan dalam kekayaan, tetapi dalam visi. Tanpa itu, luas wilayah hanya menjadi dekorasi peta. Kekayaan alam hanya menjadi kutukan sumber daya. Dan demokrasi berubah menjadi prosedur rutin yang melegitimasi pembagian rente.
Indonesia tidak kekurangan potensi. Yang langka adalah kemauan untuk keluar dari ekonomi rente dan membangun ekonomi nilai. Selama kekuasaan masih dipahami sebagai kesempatan menguasai sumber daya, bukan membangun kapasitas manusia dan teknologi, negara ini akan tetap besar di peta—namun kecil dalam peradaban. Negara tidak runtuh karena kekurangan tanah. Ia menyusut karena elitnya memilih memotong cabang masa depan demi buah sesaat hari ini.
***
Indonesia adalah negara besar. Luas wilayahnya membentang dari Sabang sampai Merauke, penduduknya lebih dari 270 juta jiwa, dan sumber daya alamnya berlapis dari hutan tropis hingga mineral strategis. Namun dalam praktik fiskal hari ini, kebesaran itu berhadapan dengan kenyataan yang pahit: ruang fiskal Indonesia justru kecil.
Penyebabnya bukan kekurangan pajak semata, melainkan beban belanja bunga utang dan pembayaran pokok utang yang terus membesar. Pada 2025, negara diproyeksikan membayar sekitar Rp 550 triliun untuk bunga utang. Jika digabung dengan pembayaran pokok utang sekitar Rp 450–500 triliun, maka lebih dari Rp 1.000 triliun penerimaan negara tersedot hanya untuk melayani utang masa lalu.
Dengan penerimaan pajak sekitar Rp 2.300 triliun, artinya sekitar 43–46% pajak habis sebelum negara sempat memilih kebijakannya sendiri. Angka ini bukan sekadar statistik fiskal; ia adalah indikator hilangnya kedaulatan fiskal.
Sering kali publik ditenangkan dengan rasio utang terhadap PDB yang “masih aman” di kisaran 40%. Namun indikator itu menyesatkan jika berdiri sendiri. Yang menentukan kemampuan negara bertindak bukan besar kecilnya stok utang, melainkan seberapa besar penerimaan rutin yang terkunci untuk membayar bunga dan cicilan. Dalam ekonomi publik, inilah bentuk nyata crowding out fiskal.
Perbandingan internasional memperjelas masalah ini. Jepang memiliki rasio utang di atas 230% PDB, tetapi beban bunga terhadap pajaknya sekitar 14%. Singapura bahkan memiliki utang lebih dari 170% PDB, namun belanja bunganya hanya sekitar 5% penerimaan pajak. Jerman lebih sehat lagi, dengan rasio bunga sekitar 4%. Indonesia justru berdiri pada posisi yang paradoksal: utang relatif kecil, tetapi mahal secara fiskal.
Konsekuensinya terasa di mana-mana. Anggaran pendidikan, kesehatan, riset, dan industrialisasi bukan lagi soal visi pembangunan, melainkan soal sisa anggaran setelah kewajiban utang dipenuhi. Setiap program baru harus mencari pembiayaan tambahan, yang sering kali berarti utang baru. Siklus ini menciptakan jebakan pelayanan utang (debt service trap), di mana kebijakan publik lebih sibuk membayar masa lalu daripada menyiapkan masa depan.
Lebih ironis lagi, belanja bunga dan cicilan tidak menciptakan nilai tambah ekonomi. Ia tidak memperluas basis pajak, tidak meningkatkan produktivitas, dan tidak memperkuat daya saing industri. Ia hanyalah transfer dari generasi kini kepada kreditor—sebagai harga dari keputusan pembangunan yang terlalu lama bertumpu pada ekonomi rente dan belanja bernilai tambah rendah.
Inilah paradoks Indonesia hari ini: negara besar dengan anggaran yang kian sempit. Kedaulatan politik tetap ada, tetapi kedaulatan fiskal menyusut. Negara boleh memilih menteri dan program, tetapi pilihan anggarannya sudah dibatasi oleh kewajiban utang yang mengikat. Kedaulatan fiskal bukan slogan. Ia hanya ada jika negara memiliki ruang untuk menentukan prioritas tanpa dipaksa oleh kewajiban masa lalu. Selama hampir setengah penerimaan pajak habis untuk bunga dan cicilan, Indonesia akan tetap besar di peta—namun kecil dalam kemampuan menentukan masa depannya sendiri. Negara besar tanpa kedaulatan fiskal pada akhirnya hanya mengelola rutinitas. Bukan membangun peradaban.
***
Indonesia adalah negara besar yang secara formal memilih demokrasi sebagai sistem politiknya. Pemilu rutin digelar, lembaga negara berdiri lengkap, dan konstitusi menjamin kebebasan sipil. Namun di balik prosedur yang tampak rapi itu, terdapat keganjilan yang kian sulit disangkal: demokrasi Indonesia berjalan dengan indeks yang cacat.
Berbagai pengukuran internasional—mulai dari Democracy Index hingga indikator tata kelola—menunjukkan pola yang konsisten: Indonesia berada di wilayah demokrasi cacat (flawed democracy). Artinya, demokrasi ada secara prosedural, tetapi kualitasnya tereduksi. Hak pilih tersedia, namun kualitas pilihan dibatasi. Kebebasan berekspresi dijamin, tetapi sering disertai risiko. Institusi berdiri, tetapi otonominya rapuh.
Masalahnya bukan pada demokrasi sebagai gagasan, melainkan pada cara kekuasaan diproduksi dan dikelola. Demokrasi Indonesia terlalu sering diperlakukan sebagai mekanisme elektoral semata—bukan sebagai sistem akuntabilitas. Pemilu menjadi tujuan akhir, bukan pintu masuk untuk memperkuat negara hukum, kebijakan berbasis pengetahuan, dan perlindungan hak warga.
Di sinilah cacat itu bekerja secara sistemik. Kebijakan publik kerap lahir dari kompromi elite, bukan dari deliberasi rasional. Kritik dianggap gangguan stabilitas, bukan mekanisme koreksi. Media massa ditekan secara halus—bukan dengan sensor kasar, tetapi dengan narasi, kepentingan ekonomi, dan kriminalisasi selektif. Masyarakat sipil dibiarkan hidup, tetapi dilemahkan daya pengaruhnya.
Demokrasi tanpa oposisi yang kuat adalah demokrasi tanpa cermin. Negara terlihat tenang, tetapi tenang yang berbahaya. Dalam literatur ekonomi politik, kondisi ini disebut democratic hollowing: institusi tetap berjalan, tetapi substansinya menipis. Demokrasi masih berdiri, namun kehilangan daya untuk memperbaiki dirinya sendiri.
Ironinya, negara yang besar justru membutuhkan demokrasi yang lebih sehat, bukan yang sekadar fungsional. Wilayah luas, masyarakat majemuk, dan kompleksitas ekonomi menuntut sistem politik yang mampu menyerap kritik, menampung perbedaan, dan memperbaiki kebijakan sebelum krisis terjadi. Demokrasi cacat tidak memberi ruang itu. Ia hanya menjaga ritme kekuasaan, bukan kualitas keputusan.
Ketika demokrasi cacat berpadu dengan ekonomi rente, hasilnya adalah stagnasi terselubung. Kebijakan cenderung populis jangka pendek, reformasi struktural dihindari, dan institusi pengawas dilemahkan. Negara tampak stabil, tetapi rapuh terhadap guncangan—baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Indonesia hari ini menghadapi paradoks itu. Negara besar, demokrasi ada, tetapi kualitasnya tidak sebanding dengan tantangan yang dihadapi. Demokrasi dipelihara cukup agar sah, tetapi tidak cukup kuat untuk mengoreksi kekuasaan.
Demokrasi sejati bukan diukur dari seberapa sering pemilu digelar, melainkan dari seberapa berani negara dikritik tanpa rasa takut dan seberapa serius kekuasaan bersedia dikoreksi. Selama demokrasi diperlakukan sebagai prosedur, bukan sebagai budaya akuntabilitas, indeks akan tetap cacat—dan kebesaran negara hanya menjadi latar, bukan substansi. Negara besar tidak boleh puas dengan demokrasi yang setengah sehat. Karena demokrasi yang cacat, cepat atau lambat, akan melahirkan kekuasaan yang cacat pula.
***
Indonesia tercatat sebagai negara dengan cadangan emas geologis terbesar ke-4 di dunia, sekitar 3.800 ton emas belum ditambang. Namun dalam statistik cadangan emas moneter—emas yang benar-benar disimpan negara sebagai bagian dari cadangan devisa—Indonesia justru berada di peringkat ke-43 dunia. Perbedaan ini bukan sekadar statistik. Ia adalah cermin kegagalan struktural dalam mengelola sumber daya nasional.
Dalam literatur ekonomi moneter, emas di cadangan devisa dipahami sebagai aset tanpa risiko pihak lawan (counterparty-free asset)—instrumen lindung nilai ketika krisis mata uang, inflasi global, atau fragmentasi geopolitik terjadi (BIS; IMF Reserve Adequacy Framework). Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, dan Tiongkok memahami ini dan secara aktif mengakumulasi emas sebagai asuransi kedaulatan moneter (World Gold Council, Central Bank Gold Reserves).
Indonesia tidak.!
Sebaliknya, emas Indonesia lebih banyak diperlakukan sebagai komoditas ekstraktif, bukan aset strategis negara. Ia ditambang, diekspor, dan diuangkan—hasilnya mengalir ke laba korporasi dan dividen pemegang saham, sementara negara hanya memperoleh royalti, pajak, dan penerimaan jangka pendek. Pola ini selaras dengan apa yang oleh Auty (1993) dan Sachs & Warner (2001) disebut sebagai resource curse: negara kaya sumber daya justru mengalami pertumbuhan rapuh, ketimpangan tinggi, dan ketergantungan fiskal. Masalah utamanya bukan pada emas itu sendiri, melainkan pada rezim rente yang mengelilinginya.
Dalam kerangka ekonomi-politik, Hellman, Jones, dan Kaufmann (2000) menjelaskan bahwa state capture terjadi ketika kebijakan dan institusi negara dibajak oleh kepentingan pemilik modal. Dalam konteks SDA, negara berubah dari owner of assets menjadi sekadar issuer of permits. Kekayaan nasional tidak diakumulasi sebagai aset publik, tetapi dialirkan ke sektor privat, sering kali lintas negara.
Akibatnya paradoksal dan berulang di mana SDA diekstraksi lalu devisa dikuasai asing. Sementara struktur fiskal tetap lemah dengan ditandai defisit yang kronis yang solusinya bergantung kepada hutang. Padahal secara teoritis, negara kaya SDA seharusnya mampu membangun sovereign balance sheet yang kuat—mengubah sumber daya alam menjadi aset keuangan jangka panjang, sebagaimana dilakukan Norwegia melalui Government Pension Fund Global (Stiglitz, Making Globalization Work). Indonesia memilih jalur sebaliknya. Di mana likuiditas jangka pendek diutamakan, sementara akumulasi aset strategis diabaikan.
Inilah sebabnya mengapa, walau kaya sumber daya, Indonesia tetap rentan terhadap volatilitas nilai tukar, bergantung pada dolar AS, dan terjebak dalam pembiayaan utang untuk menutup kebutuhan fiskal. Dalam bahasa Thomas Piketty (2014), kekayaan tidak mengalir ke negara karena struktur kepemilikan memastikan akumulasi modal berada di tangan segelintir pemilik aset. Ketimpangan bukan kecelakaan, melainkan hasil desain institusional.
Emas menjadi simbol paling telanjang dari kegagalan ini. Ia ada di tanah Indonesia, tetapi tidak tinggal di neraca negara. Ia menghasilkan nilai, tetapi bukan kedaulatan. Ia memperkaya pemilik modal, tetapi tidak memperkuat daya tahan ekonomi nasional. Selama Indonesia tetap mengelola sumber daya alam dalam logika rente—bukan logika kepemilikan strategis—maka ironi ini akan terus berulang: kaya SDA, miskin negara.Emas ada di bumi Indonesia. Namun kekayaannya hidup di neraca korporasi.
Dan selama itu tidak diubah, negeri ini akan terus bertanya—dengan jujur tapi terlambat, mengapa kita tetap miskin di tengah kelimpahan? Mengapa kita bangsa besar tetapi terkutuk karena SDA dan terjajah karena utang?







No comments:
Post a Comment