Tuesday, September 15, 2020

Masa depan ekonomi Jepang.


Pada tahun 2019, PDB Jepang pada kwartal 4 turun 6,3%. Penurunan kuartal keempat 2019 adalah yang pertama dalam lebih dari setahun dan merupakan penurunan terbesar sejak ekonomi menyusut 7,4 persen pada 2014 - terakhir kali Jepang menaikkan pajak konsumsi. Kali ini, kontraksi tersebut disebabkan oleh kenaikan pajak konsumsi lainnya, yang meningkat dari 8 persen menjadi 10 persen, Topan Hagibis, dan perang dagang AS-China. Namun para pengamat tetap yakin bahwa tahun 2020 akan Rebound terutama pada tiga bulan pertama. Apa yang terjadi? COVID 19 memukul telak ekonomi Jepang. PDB anjlok sebesar 27,8% pada kuartal kedua, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kontraksi 7,8%. ini menandai penurunan terbesar sejak data pembanding tersedia pada 1980.

Akibat COVID-19 Jalur produksi telah ditutup. Ketika dibuka lagi, kondisi kapasitas produksi jatuh pada titik terendah. Akibat larangan terbang. Pendapatan devisa dari turis juga berkurang drastis.  Turis China, tidak lagi jadi penolong. Pendapatan pajak dari pusat produksi perusahaan jepang yang ada di China juga kehilangan laba sehingga tidak ada pajak yang bisa mereka bayar. Padahal China adalah pusat produksi terbesar Jepang di luar negeri.  Upaya revitalisasi ekonomi sudah dilakukan sejak tahun lalu. Paket stimulus ¥ 13,2 triliun diadopsi pada bulan Desember 2019. Pada bulan Mey 2020 , Jepang keluarkan dana stimulus 117 triliun yen. Jadi total sudah mencapai 40% dari PDB dana stimulus dikeluarkan. 

Ada tiga dasar kebijakan Ekonomi Jepang. Pertama, stimulus fiskal. Kedua, pelonggaran moneter. Ketiga,  reformasi struktural. Ketiganya harus dilanjutkan bersama-sama agar efektif. Dua yang pertama telah lama menjadi pokok kebijakan ekonomi Jepang. Memang sangat tidak populis. Walau dampak dari dua kebijakan itu membuat hutang nasional melejit hampir 240 persen dari PDB, namun harus dilakukan agar kebijakan reformasi struktural terlaksana. Ternyata tidak mudah bagi Jepang melakukan reformasi struktural. Karenanya Dana Moneter Internasional menganggap bahwa PDB Jepang dapat menyusut hingga 25 persen dalam empat dekade mendatang.  Engga pernah terbayangkan sebelumnya. Negara dengan kekuatan ekonomi nomor tiga dunia bisa kena resesi separah ini. 

Minggu lalu saya bertemu dengan direksi saya membahas mengenai turunnya ekspor Ikan ke Jepang.

“ Ya engga ada masalah.” Kata saya. Memaklumi laporan tentang turunnya ekspor. “ semua mengalami itu semua. Bukan hanya kita. Mau gimana lagi?” Sambung saya.

“ Apa sih sebenarnya Uda penyebab  ekonomi Jepang lesu. “

“ Kenapa kamu tanya itu?

“ Ini bukan hanya sedang ada COVID-19 tetapi udah berlangsung sejak empat tahun lalu. “

“ Masalahnya adalah mereka engga bisa tumbuh ekonominya. “

“ Kenapa ?

“ ya karena engga ada ekspansi bisnis yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru. “

“ Ya kenapa ?

“ Mau tumbuh gimana bisnis?. Kan bisnis itu berkembang karena tersedianya SDM. Nah Jepang itu sebagian besar populasinya adalah orang tua. Angka kematian rendah. Sementara angka pertumbuhan penduduk juga rendah. Menurut data tingkat kesuburan wanita jepang rata rata hanya 1,4 jauh di bawah negara anggota OECD yang sebesar 1,7%. Padahal untuk bisa berkembang penduduk harus tingkat kesuburan sebesar 2%.”

“ Kenapa mereka engga datangkan Imigran saja ?

“ Itulah masalahnya. UUD Jepang melarang ekspatriat asing. Kecuali buruh. Itupun dengan quota ketat. Padahal setiap ekpansi bisnis butuh tenaga kerja sekelas madia, atau expatriat.  Sementara tingkat pindah kerja pekerja kelas madia sangat kecil. Mereka sanga loyal dengan perusahaannnya. Hanya berhenti kalau sudah pensiun.” 

“ Tetapi hutang negara mereka tinggi sekali. Padahal ekspansi real rendah”

“ Ya karena anggaran sosial yang tinggi sekali. Maklum Jepang menerapkan sistem negara kesejahteraan. Bayangkan saja. Tahun 1991, anggaran sosial negara hanya 11% dari PDB. Tahun 2018 sudah mencapai 22 persen. China saja yang komunis jauh lebih rendah anggarann sosialnya. Padahal sebagian besar anggaran itu untuk manula yang engga mati mati. Mereka engga produktif. “ 

“ Oh gitu ya. Tetapi Yuni pernah tanya ke orang Jepang bayer kita. Mereka engga merasa ada masalah kok. Semua baik baik saja. Mereka tetap optimis ekonomi akan rebound”

“ Itulah hebatnya orang Jepang. Mereka tidak pernah menyikapi apapun dengan negatif. Jarang sekali mereka demo kalau urusan perut atau ekonomi.”

“ Mereka selalu berpikir positif. Gemar menabung dan hemat belanja.” Kata Yuni.

“ Justru karena sifat itu salah satu penyebab daya struggle generasi Jepang sekarang berbeda dengan generasi awal ketika mereka membangun negara modern. Generasi sekarang tidak merasa ada ancaman. Berbeda dengan generasi awal, yang merasa terancam sebagai negara kalah perang. Mereka selalu punya cara smart mengubah ancaman jadi peluang. Akibatnya daya struggle rakyat tumbuh hebat. Kendala apapun mereka sikapi dengan cara apapun agar bisa selamat dan jadi pemenang. 

Gemar menabung jadi paradox bila investasi turun. Itu akan jadi racun bagi perbankan. Kalau tidak ada intervensi moneter dari kelebihan likuiditas itu, bank akan bleeding. Itu ongkos lagi bagi negara agar bisa menyerap kelebihan likuiditas.  Hemat belanja juga paradox bagi ekonomi. Karena penerimaan jadi turun dan motif berproduksi jadi rendah. 

“Mereka juga banyak investasi di luar negeri untuk menyalurkan kelebihan likuiditas. Apakah itu bukan solusi ?

“ Dari segi pajak jelas tidak menguntungkan. Karena perusahaan kena pajak berganda. Tetapi memang efektif untuk mempertahankan pertumbuhan perusahaan untuk tetap efektif sebagai pembayar pajak. Lambat laun cara itu tidak efektif lagi. Karena tergerus oleh kompetisi pendatang baru di pasar domestik negara dimana mereka berinvestasi.” 

“ Duh segitunya. Memang bukan masa depan yang bagus bagi Jepang. Solusinya apa ?

“ Rakyat Jepang terutama yang perempuan harus jaga kesehatan agar subur dan banyak anak. Pria Jepang harus jadi pejantan yang hebat agar bisa produksi anak sebanyaknya. Orang tua sebaiknya jangan lema lama hidup. Kalau engga, ya izinkan pekerja asing masuk ke Jepang. Sekarang hanya 1,7% jumlah pekerja asing. Quota harus di tambah. Dah gitu aja. “ Kata saya. 

“ Ya padahal di Jepang industri sex dan pornography tumbuh pesat.” Kata Yuni.

“ Orang semakin banyak ngayal, semakin rendah produksi. Semakin sering melihat pekarangan rumah orang, semakin males lihat pekarangan sendiri. “ Kata saya.  Yuni tersenyum malu. Saya berlalu dari kantornya karena harus pulang ke rumah. 

No comments: