Friday, September 4, 2020

Inisiatif DPR merevisi UU BI. ? Sikap culas



Kalau dianalogikan antara fiskal dan Moneter mungkin seperti pedagang Bakso dan Es. Pedagang bakso berharap hujan agar dagangannya laku. Sementara Pedagang Es berharap panas terik agar dagangannya laku.  Artinya dua hal walau sama sama pedagang, namun atmosfirnya berbeda.  Fiskal itu tugas pemerintah. Tugasnya adalah bagaimana membuat kebijakan yang bisa mempengaruhi produksi dan akhirnya mendatangkan pajak bagi negara. Sektor real adalah fondasi bagi Fiskal. Karena itu hantu yang menakutkan dalam kebijakan fiskal adalah suku  bunga. Kalau suku bunga tinggi maka itu dapat mempersulit peningkatan produksi. 

Sementara Moneter adalah tugas Bank Central. Bagaimana membuat kebijakan agar uang beredar tidak berdampak kepada inflasi terlalu tinggi. Mengapa ? karena inflasi yang tinggi akan  berdampak harga melambung dan ini tentu memenggal pendapatan rakyat. Yang apabila diteruskan akan mengurangi daya beli masyarakat , yang pada gilirannya akan memukul produksi. 

Artinya kalau karena kebijakan fiskal berdampak inflasi tinggi maka Bank sentral otomatis mengkoreksinya lewat kebijakan suku bunga. Dengan naiknya suku bunga, uang di tangan publik akan tersedot ke bank sentral. Uang beredar jadi berkurang. Inflasipun terjaga. Sebaliknya kalau inflasi terlalu rendah, bank sentral akan otomatis menurunkan suku bunga. Agar kegiatan produksi dan konsumsi meningkat.

Dengan adanya independesi bank sentral, maka kedua kebijakan yang keliatan sekilas berseberangan itu harus dipertahankan. Karena mereka bekerja atas dasar hukum ekonomi. Apalagi dalam sistem mata uang kertas. Trust itu perlu untuk meyakinkan publik bahwa uang beredar itu terjadi karena hukum demand and supply, bukan karena intervensi politik, yang terkesan penambahan uang beredar adalah cetak uang. 

Tetapi sejak diperkenalkannya independensi Bank central, para politisi tidak nyaman. Bank sentral di mana-mana berjuang untuk tetap berada di atas politik. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan,  berusaha membonsai bank central Turki dengan memecat Gubernur Bank cetralnya. Bahkan Donald Trumps mengkritik habis the Fed yang dianggap trouble maker. Gubernur Reserve Bank of India mengundurkan diri pada bulan Desember 2019 hanya beberapa minggu setelah pemerintah bergerak untuk melakukan kontrol lebih besar atas kekuatan regulasi RBI. Bank sentral di Pakistan, Rusia, Nigeria, Afrika Selatan dan Thailand juga mendapat tekanan dari para politisi dalam beberapa tahun terakhir. Nah Indonesia sekarang, tekanan kepada bank cetral tidak datang dari presiden. Tetapi dari DPR. Baru baru ini DPR mengusulkan perubahan UU BI. Tujuannya agar BI tidak lagi sepenuhnya independent. 

Kalau Revisi UU BI disahkan DPR maka indepedensi BI akan dihapus. Selanjutnya kekuasaan Moneter dipegang oleh Dewan Moneter yang anggotanya pasti para politisi. Apa alasan DPR ? agar BI, selain memelihara kestabilan nilai rupiah, BI juga memiliki tugas meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan. Menurut saya, ini sudah kembali ke era Soeharto.  Mengapa ? 

Tugas penciptaan lapangan pekerjaan itu bukan BI tetapi tugas pemerintah. Kalau BI berperan juga meningkatkan lapangan pekerjaan lewat moneter, itu sama saja dengan membuat kebijakan cetak uang agar sektor produksi meningkat. Ini jelas paradox. Apa jaminannya distribusi uang itu transparance dan adil? Jangan jangan malah menciptakan KKN dimana yang punya akses politik lebih gampang dapatkan kredit dan proyek.  Kalau itu terjadi, maka hanya masalah waktu, rupiah akan jadi kertas toilet dan SBN jadi junkbond. 

Sistem mata uang kertas itu bertumpu kepada trust. Trust itu bertumpu kepada akal sehat. Akal sehat itu tercermin dari hukum permintaan dan penawaran. Nah tugas pemerintah tidak boleh mengintervensi hukum permintaan dan penawaran. Itu hukum alam. Melawannya pasti paradox. Kalau ingin sektor real bangkit dan angkatan kerja meningkat, ya perbaiki regulasi agar lebih ramah terhadap investasi. UU omnibus law solusinya. Bukan melenyapkan indendepnsi BI.  Kalau ingin mata uang stabil ya perbaiki Ease of doing business index agar orang nyaman berbisnis. Sehingga putaran uang dari pemerintah, rumah tangga kembali pemerintah tidak tersendat. Kalau Ease of doing business index jeblok kurs melemah, jangan salahkan BI intervensi moneter dengan menaikan suku bunga agar inflasi tidak terkerek.

Di era IT yang serba terbuka saat sekarang ini, sangat mudah mengetahui negara culas atau tidak dalam mengurus moneter dan fiskal. Apalagi sistem APBN kita sejak tahun 2000 format sudah diubah menjadi I account. Ini standard Government Finance Statistic. Ia sudah menjadi standard dunia , yang bisa diukur dan dianalisa oleh siapapun. Jadi lebih transfarance. Bayangkan. Apa yang terjadi bila peningkatan belanja APBN dari cetak uang sebagaimana kebijakan Dewan Moneter? Rating SBN pasti rating sampah.  Belajarlah dari Turkey yang sejak tahun 2015 terkena krisis dan sampai sekarang belum bisa recovery. Itu karena bank central dibonsai.  Belajarlah dair Venezuela, yang uangnya lebih rendah nilainya daripada tissue toilet. Sikap DPR yang ingin revisi UU BI, itu sama seperti pepatah melayu “ Kalau tak pandai menari jangan salahkan lantai berjungkit.” Kalau tak pandai mengelola rezim mata uang fiat,  jangan salahkan aturan BI yang independent.

No comments: