Sunday, September 13, 2020

PSBB dan Ekonomi

.

Setelah new normal, semua optimis bahwa ekonomi masuk kwartal 3 akan biru. Kalaupun merah, tidak akan terlalu menyala. Memang angka geliat ekonomi sejak bulan Juli sudah nampak walau tidak significant. Walau hidup bagi kalangan bawah masih sulit karena BLT tersendat salurannya, namun dengan adanya kehidupan new normal, itu adalah harapan. Mereka bisa memulai hidup dalam perjuangan kerasnya dalam situasi pengendalian prokokol kesehatan. Index saham mulai membaik. Semangat kabinet memompa dana stimulus begitu tingginya. Semua sepakat agar indonesia terhindar dari resesi. Berita gembira soal ditemukan Vaksin COVID-19 terus didengungkan. Memberikan angin positip bagi pelaku ekonomi. 


Namun apa yang terjadi kemudian? Anies mengumumkan akan mengadakan PSBB total. Sontak pasar modal bergerak liar dan Index jatuh melesat.  Kemarin setelah pengumuman PSBB oleh anies index nurun 5 %. Tapi kalau lihat marcap sekarang Rp. 6.100 Triliun maka ekuitas menyusut kurang lebih Rp. 300 Triliun. Ini sama dengan sabotase ekonomi. Saya yakin Anies sangat paham dampak dari pengumuman itu. Karena dia lulus masternya dalam bidang keamanan internasional dan kebijakan ekonomi di School of Public Affairs, University of Maryland, College Park. Ketika bursa jatuh dan ekonomi dibayangi suram, dia hanya tersenyum meliat menteri ekonomi Jokowi meradang. Bagi Anies masalah COVID 19 ini adalah strategi politik yang jitu untuk excuse terhadap kinerjanya yang buruk dan sekaligus menggoyang ekonomi nasional agar masuk ke jurang resesi. Walau kebijakan PSBB total itu hanya datang dari Anies namun dampaknya significant bagi perekonomian nasional. Maklum diatas 50% urang beredar ada di DKI. Dan di Jakarta ada bursa saham, yang menjadi indikator ekonomi nasional.

Indonesia walau PDB diatas USD 1 triliun tetapi tidak cukup tabungan mengatasi dampak resesi. APBN kita terus defisit dari tahun ke tahun. Anies paham sekali soal itu. Saya tidak melihat PSBB total yang diumumkan itu karena keprihatinan Anies terhadap semakin meningkatnya data angka positip COVID19. Tetapi lebih kepada politik. Mengapa ? kalau benar dia prihatin, kesempatan PSBB yang pertama tentu dia lakukan sebaik mungkin. Anggaran pengawasan PSBB itu sangat besar. Belum lagi anggaran BLT. Tetapi baik pengawasan maupun BLT engga jelas efektifitasnya. Dan kini dia ingin ulang lagi cerita lama yang terbukti gagal itu. Dua tahun lagi Anies akan habis masa jabatannya sebagai Gubernur. Dia berada dipersimpangan jalan. Apakah mencalonkan lagi atau ikut dalam Pilpres 2024. Setiap pilihan butuh dana dan dukungan politik dari elite partai. 

Kalau Indonesia masuk ke jurang resesi tahun ini. Maka oposisi akan mendapatkan angin segar menguasai suara tahun 2024. Dan karenanya bukan tidak mungkin bahwa pertaruhan ekonomi Indonesia disaat pandemi ini akan menentukan masa depan politik Anies. Kalau Jokowi bersama koalisi mampu membawa indonesia keluar dari resesi dan ekonomi tetap tumbuh, maka Anies dan oposisi akan stuck seperti pemilu sebelumnya. Tetapi kalau gagal, oposisi dan Anies punya peluang menang. Tetapi sukurlah pada hari minggu kemarin kebijakan PSBB total itu diubah menjadi pengawasan protokol kesehatan dengan ketat. Sementara kegiatan ekonomi tetap berlangsung.

***
Ada teman saya kepala Daerah sempat ngeluh. “ PSBB itu SOP nya menghabisi anggaran. 80% anggaran habis hanya untuk team dari tingkat Dinas, Polri, TNI , Bupati, Camat, lurah. dan LSM. Hanya 20% yang bisa dirasakan lagsung oleh rakyat. Untuk tingkat 2 saja, sebulan bisa habis sedikitnya Rp. 40 miliar. Dari 80% anggaran itu tujuannya adalah untuk sosialisasi, supervisi, pengendalian program, dan evaluasi. “ katanya.
“ Hasilnya apa ?
“ Engga jelas. “
“ Kenapa ? Kata saya berkerut kening.
“ Kamu tahulah. Yang namanya program skala besar itu bukan pekerjaan sebentar dan mudah. Mengubah masyarakat disiplin sesuai SOP kesehatan dalam hitungan hari itu engga mudah. Apalagi dalam sistem demokrasi. Orang berhak marah dan protes. Walau hukum jelas atas pelanggaran. Apa ada yang masuk penjara gara gara melanggar PSBB? Katanya.
“ Jadi …”
“ Ya PSBB itu pekerjaan Utopia yang tak mungkin dapat terealisir. Engga ada negara yang sukses. Bahkan negara maju seperti Eropa dan AS, gagal kok. Jadi saya bisa katakan bahwa PSBB atau lockdown itu lebih kepada politik, bukan lagi bicara kesehatan atau ketakutan terhadap COVID-19. “ Katanya.

Saya membayangkan ratusan triliun uang habis dan hanya 20% mengalir ke rakyat. Derita dan nestapa rakyat yang kehilangan pekerjaan dan kehilangan pendapatan, tak bisa dibayar dalam bentuk apapun. Xi Jinping waktu datang ke Wuhan dan mendengar cerita dari penduduk yang ditemuinya. Dia sempat berlinang airmata seraya berkata “ Kita akan segera menang menghadapi perang melawan Pandemi” Seminggu kemudian pemerintah pusat China memutuskan menghentikan Lockdown Wuhan. Setelah itu China memutuskan menghentikan PSBB bagi seluruh kota China. Kemenangan yang dimaksud oleh Xijingping adalah melepas belenggu rakyat dan focus kepada ekonomi.

Teman saya di China punya alasan apik “ Pejabat yang sehat akalnya pada akhirnya sadar bahwa politik itu harus menyehatkan akal rakyat, dan itu adalah ekonomi. Soal penyakit akan selalu ada dan hidup memang beresiko. Setidaknya pandemi ini pelajaran bagi kita semua untuk disiplin menjaga kesehatan dan berbagi. Tetapi memanfaatkan pandemi karena alasan politik itu kejahatan HAM terburuk sepanjang zaman.”

" Mengapa Anies lakukan PSBB ini minggu depan ? 
" Dia korban statistik dan sosial media dan media massa. Karena hanya orang bodoh yang bisa kena wabah statistik dan media massa. Yang pasti kwartal 3 ini Indonesia pasti terjun ke jurang resesi. Sedikitnya 15 juta orang kehilangan pekerjaan. Ada agenda besar dibalik ini semua. Politik memang kejam.”

***
Kematian Yuli. 
Saya nonton video yang ditayangkan lewat sosial media. Seorang wanita bernama Yuli. Warga banten. Dia berkata dengan raut wajah memancarkan putus asa dan air mata berlinang seraya memeluk buah hatinya yang masih balita. Sudah dua hari tidak makan. Suaminya Kholid sebagai pekerja lepas yang menerima upah Rp. 25.000 perhari. Kalau tidak bekerja tentu tidak dapat upah. Sudah dua hari tidak bekerja sejak ada ketentuan social distancing.  Cerita terakhir Yuli dipanggil Tuhan meninggalkan anak anak dan suaminya dalam kemiskinan. Seperti Yuli itu bukan hanya satu itu. Tetapi ada banyak Yuli lain yang harus terpaksa sabar menerima kenyataan suaminya di rumah tanpa penghasilan.

Yuli tidak bunuh diri dalam keputusan asaan. Tetapi dia mati karena kesengsaraan oleh system. Yuli tidak hidup di Afrika. Jaraknya hanya 2 jam perjalan ke Istana dan satu jam ke Kantor Gubernur Banten yang megah itu. Tak jauh dari Ibu Kota yang membangun trotoar Rp. 1 triliun lebih dan kemudian dibongkar lagi. Tak jauh dari mereka yang punya rekening private banking ratusan miliar yang hidup nyaman dari bunga bank.Tak jauh dari gedung DPR yang menghabiskan anggaran Rp, 40 triliun selama 5 tahun. Tak jauh dari kita yang bebas berselancar di sosial media memakan quota internet. Tak jauh dari kita yang mampu beli sepeda seharga hampir 100 juta rupiah.

Anda  akan berkata, tentu, “Ah, apa hubungan dengan saya!” Anda akan bertanya kenapa anda  disangkutkan ke dalam “salah”. Maaf, beribu-ribu maaf. Saya punya bahasa yang kasar kali ini: jika kita tidak tahu, jika kita tidak merasa bersalah karena kematian Yuli itu, jika kita merasa tak berurusan dengan  Yuli  melepas raga karena lapar, itu berarti kita dungu atau tak punya hati. Anda  tahu bahwa setiap negara atau kota selalu ada kemiskinan. Di Indoesia terlalu bebal kalau anda tidak tahu arti ketimpangan. Kekayaan yang begitu timpang, kesempatan yang begitu selisih. Dari sini anda tahu apa yang menyebabkan Yuli mati dalam kelaparan.

Yuli adalah korban dari ulah kita semua. Kematiannya tidak akan disebut sebagai pahlawan seperti para dokter. Padahal Yuli mati dikorbankan oleh program peduli kesehatan dalam mengatasi wabah COVID. Karena sosial distancing atau PSBB memungkinkan negara menerbitkan surat utang untuk membantu BUMN yang sekarat, dan perusahaan besar yang sulit bayar utang. Membantu  menutupi defisit APBN agar para PNS dan elite politik tetap makan dan hidup senang. Membantu pemerintah tetap eksis. 

Andaikan ada survey, jumlah kematian karena PSBB seperti Yuli tentu jumlahnya tak sedikit. Jauh lebih besar dari kematian karena COVID-19. Namun kematian seperti Yuli itu tabu dicatat statistik. Karena politik memang mengharuskan  ada korban. Dan itu selalu orang miskin dan lemah yang dikorbankan. Kita lebih bersalah lagi ketika Ahok membuka borok BUMN yang menguasai 50% aset negara tak ada ulama dan tokoh agama yang mendukung. Tak ada demo mahasiswa yang mendukung. Yang ada adalah hujatan kepada Ahok. Padahal Ahok sedang bicara tentang nasip Yuli Yuli lain di negeri ini yang terkapar karena mental korup kita semua.

No comments: