Tuesday, June 23, 2020

Agama, politik dan uang.



Mengapa di era Jokowi hubungannya dengan Ormas keagamaan dan MUI keliatan tidak harmonis. Kadang hal sepele yang seharusnya bisa diselesaikan dengan dialogh, malah bisa jadi besar. Tempo hari masalah Ahok, masalah pilkada, tetapi yang didemo adalah Jokowi. Masalah RUU HIP itu produk politik DPR, seharusnya diselesaikan dengan DPR. Ada proses RUU dimana peran masyarakat dilibatkan, dan disanalah bicara kalau tidak setuju.  Mengapa pakai ancam segala. Mengapa Jokowi lagi disalahkan, padahal Pemerintah sudah resmi menolak RUU HIP itu. Di era SBY dan presiden sebelumnya tidak ada gerakan ketidak sukaan kepada pemerintah dari Ormas dan MUI berlebihan. Semua adem dan ayem saja. Mengapa? tanya teman. Menurut saya penyebabnya ada dua. Pertama ini soal politi, dan kedua soal akses kekuasaan.

Pertama, secara politik sekarang yang berkuasa adalah PDIP, dan Jokowi adalah kader PDIP. Semua tahu bahwa PDIP itu melaksanakan idiologi Soekarno. Sementara Soekarno punya catatan buruk bagi gerakan islamisasi. Soekarno yang memerintahkan hukuman mati kepada Kartosoewirjo dalang DII/TII. Pendiri PKS dan ex ketua Dewan Syuro PKS, Ustadz Hilmi Aminuddin merupakan putra dari pendiri sekaligus Panglima Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Soekarno juga yang menangkapi tokoh Masyumi karena terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatera. Dan Soekarno juga yang membubarkan konstituante yang merancang perubahan UUD 45 menjadi UUD Bersyariah. Issue PKI identik dengan kader PDIP, dan bahkan kepada Jokowi tak lain karena ketika Soekarno berbeda pendapat dengan tokoh islam terutama Masyumi, hubungan Soekarno dengan PKI sangat mesra. Di samping itu, menjadi oposisi pemerintah juga financial resource. Kadang pengusaha rente yang tersumbat jalannya di era Jokowi memanfaatkan ormas keagamaan untuk mempressure pemerintah lewat aksi massa. 

Kedua, kebetulan di era Jokowi, hak MUI mengelola label produk halal dicabut, dan diserahkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) atas dasar Undang – undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Padahal semua tahu, sebelumnya kegiatan label pada produk adalah financial resource bagi semua pengurus MUI di pusat maupun daerah. Di era Jokowi juga dibentuk  Badan Pengelola Keuangan Haji (disingkat BPKH). Dengan demikian pengelolaan dana haji lebih profesional dan transfarans. Padahal sebelumnya semua tahu, bahwa hampir semua perbankan melobi MUI dan tokoh Ormas Agama agar dapat quota penempatan dana haji. Maklum dana haji itu dana murah bagi perbankan. Tadinya para pengusaha selalu memanfaatkan tokoh agama agar mendapatkan fasilitas bisnis rente. Sekarang sudah tidak bisa lagi. Masalah Bank Muamalat juga tidak nampak niat pemerintah untuk bailout, padahal ini berkaitan dengan reputasi ulama yang duduk sebagai komisaris.

Dengan dua alasan tersebut diatas, memang ketidak sukaan kepada Jokowi dan PDIP itu berdasar sekali. Keduanya berhubungan dengan politik, dan tentu ada financial resource yang tersumbat oleh kebijakan Jokowi. Mungkin soal politik itu bisa berdamai, tetapi kalau soal financial resouce ini soal lain. Ini berhubungan dengan value asset sebagai patron dalam sistem primordial.  Tokoh agama itu punya persepsi bahwa mereka ikut andil dalam kemerdekaan Indonesia dan karenanya merasa berhak mendapatkan resource. Itu sebabnya adanya RUU HIP itu disikapi dengan marah dan dendam, karena keberadaan HIP itu akan membonsai akses politik tokoh agama kepada kekuasaan dan sumber daya. Ya pada akhirnya “ pendapat kita akan sama selagi pendapatan kita sama.” Kalau kita berbeda itu hanya karena beda pendapatan. That is just business.

No comments: