Hari ini Kejaksaan Agung menetapkan satu tersangka baru dalam perkara tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), yaitu Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fakhri Hilmi. Saya sempat tersentak. Bagaimana mungkin pejabat yang bertugas mengawasi pasar modal justru berada dibalik skandal Asuransi Jiwasraya. Teman saya hari ini WA saya mengatakan bahwa sikap OJK itu mencerminkan otoritas Jasa Keuangan tidak bebas dari kolusi, yang sehingga bisa merugikan publik.
Bukan hanya kasus Jiwasraya, tahun 2018 juga ada kasus revisi laporan keuangan ( restated ) yang dilakukan oleh PT Bank Bukopin Tbk, untuk tahun tahun 2015, 2016, dan 2017. Akibatnya terjadi revisi laba bersihnya pada tahun 2016 dari sebelumnya Rp 1,08 Triliun turun menjadi Rp 183,56 miliar. Beban penyisihan kerugian penurunan nilai atas asset keuangan direvisi meningkat dari Rp 649,05 miliar menjadi Rp 797,65 miliar. Hal ini menyebabkan beban perseroan meningkat Rp 148,6 miliar. Sejak itu Bukopin bermasalah.
“ Yang jadi pertanyaan adalah kemana OJK? bagaimana mungkin mereka tidak tahu adanya kesalahan laporan keuangan. Padahal itu sudah terjadi bertahun tahun. Ini kan sama saja pembiaran. Apalagi, menurut informasi yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, penyebab revisi laporan keuangan itu karena adanya modifikasi data kartu kredit. Itu dilakukan Bukopin lebih dari 5 tahun dan lagi jumlah kartu kredit yang dimodifikasi engga sedikit. Jumlahnya lebih dari 100.000 kartu. Makanya proses restruktur Bukopin dalam rangka menarik investor baru juga jadi sulit. Mungkin karena banyak masalah yang tidak diungkapkan. Kurangnya tranfaransi. Bulan Mei kemarin Eko Rachmansyah Gindo mengundurkan diri sebagai Dirut. Ini memang ada indikasi something” Kata teman saya. Saya tidak mau komentar.
“ Terus, kalau sekarang Deputi Komisioner OJK, Pengawas Pasar Modal, dijadikan tersangka, itu bisa saja cara jaksa untuk mengorek keterangan keterlibatan Group Bakrie dalam skandal Jiwasraya. Menurut info tahun 2006 JS beli saham-sahamnya Bakrie Rp4 triliun. Saat itu harga saham Bakrie sedang tinggi-tingginya, sekarang semua nilainya Rp50 per saham, hitung aja berpa ruginya. Kalau kasus keterlibatan Bakrie itu terbukti, akan banyak elite politik kena. Wah seru ...“ Katanya.
“ Itukan hanya omongan dari tersangka Benjok saja. Jaksa belum menemukan petunjuk kuat keterlibatan Bakrie group. Yang jelas selagi transaksi saham itu dilakukan melalui bursa, ya sah saja. Kalah menang sudah biasa dalam bursa. Semua investor maklum kok. Tetapi kalau ada indikasi fraud dalam transaksi itu, ya itu ceritanya lain lagi. Itu tugas kejaksaan menemukan bukti. Kita tunggu saja.” kata saya tanpa mau berspekulasi atas kasus yang sudah ditangani aparat hukum.
“ Tetapi memang saham Bakrie Group, seperti BUMI sempat naik hingga 1.000 persen dari kisaran harga Rp800 pada 2006 ke level tertingginya Rp8.200 pada 30 Juni 2008. Ini luar biasa sekali. Sementara itu, pada 31 Desember 2007 saham UNSP dan ENRG kompak menyentuh level tertingginya yaitu masing-masing di level Rp22.299 per saham dan Rp11.170 per saham. Saham BTEL yang juga menjadi primadona kala itu, bertengger di level tertinggi Rp446 per saham pada 31 Oktober 2007. Namun, masa kejayaan saham-saham Grup Bakrie kini tinggal cerita. Kini, sebagian besar emiten Grup Bakrie terjerembab di level Rp50 per saham. Dari 10 emiten, hanya ENRG dan UNSP yang diperdagangkan masing-masing pada level Rp52 dan Rp62 per saham.” Kata teman
“ Memang kecepatan tumbuhnya usaha Bakrie setelah tahun 1998 karena kehebatan management nya melakukan leverage atas value sahamnya di market. Mereka kreatif sekali menarik hutang lewat skema financial engineering dalam setiap aksi korporatnya. Namun sebagaimana biasa, kekuatan leverage tidak dibarengi dengan peningkatan penjualan dan arus kas masuk, itu akan jadi masalah. Karena ketika saham yang dijaminkan untuk leverage itu nilainya turun di pasar, mereka harus top-up agar nilai jaminan yang disaratkan dalam hutang terpenuhi. Kalau saham terus terun, tidak ada lagi tersisa saham untuk top up, tentu Investor menuntut uangnya kembali atau gagal bayar. Saat itulah harga saham terjun bebas. Trust hilang. Untuk bangkit lagi, sudah sulit. “ Kata saya.
“ Kembali ke kasus Jiwasraya. Bukankah saat itu Sekretaris Meneg BUMN, Said Didu, mengapa dia tidak tahu skandal Jiwasraya.? Padahal pada 2006 laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban. Oleh karenanya, BPK memberikan opini disclaimer untuk laporan keuangan 2006 dan 2007 karena penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya. Mengapa ?
“ Engga tahu saya. Tanya sama yang bersangkutan. Yang jelas dia bukan otoritas. Dia hanya sekretaris"
No comments:
Post a Comment