Thursday, July 9, 2020

Lumbung Pangan



Akhirnya Esther pulang juga ke Indonesia. “ Aku ingin berlibur ke desa. Ingin melihat kehidupan yang bersehaja” Katanya. Aku menemaninya. Di suatu desa di kaki gunung.  Dia perhatikan ada seorang petani manula, menghabiskan seluruh hidup, untuk bercocok tanam. Ia lahir di tengah lahan pertanian, di sebelah lenguh sapi dan kotek ayam. Usia sembilan bulan ia diajak ke ladang oleh ibunya memetik memanen padi. Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, kawin, beranak cucu dan bercicit, ia lakoni sebagai petani. Ia sungguh-sungguh petani tulen, nyaris di sawah sepanjang pagi, sore, petang, acap kali malam, kalau menjaga air untuk mengairi sawah yang tengah disemai padi.

“ Apa yang  bisa kamu maknai? kehidupan yang panjang, kerja keras tiada henti, namun kemiskinan tetap akrab. Padahal alam menyediakan segala galanya. Pasar tersedia. Kan engga ada orang yang engga butuh makan.” Kata Esther. Saya hanya tersenyum melihat dia menatap hamparan sawah di kaki gunung itu. “ Hampir semua presiden yang pernah berkuasa, punya program keberpihakan kepada petani. Tetapi petani tetap menjadi second class. Sangat miris “ Sambungnya.

“ Petani itu hidup dalam semangat dan hope sosialisme. Tetapi untuk bisa makmur tidak hanya butuh sosialisme, juga perlu kapitalisme. “ Kata saya.

“ Apa sih bedanya? sosialisme dan kapitalisme kan hanya soal idiologi tetapi toh yang digarap tetap saja lahan. “ Kata Esther.

“ Jelas beda, sayang. Sosialisme berangkat dari mindset menerima, sementara kapitalisme berangkat dari mindset memberi. Sosialime  itu adalah kegiatan produksi untuk konsumsi, namun kapitalisme kegiatan produksi untuk kapitalisasi. Petani tua itu adalah korban dari sosialisme negara atas keberadaan SDA. “

“ Benar kamu. Aku baru paham sekarang. Itu sebabnya di AS yang kaya raya adalah petani. Karena mindset kapitalis. Di China sekarang, juga sama. Petani kaya karena mindset kapitalisme” Estate mengacungkan jempolnya ketika menyebut AS dan China.

“ Nah kalau bicara kapitalisme pertanian, maka itu juga bicara tentang dukungan logistik yang memadai, dukungan pekerja yang handal, dukungan tekhnologi yang terpadu, serta business process yang menjamn usaha berkelanjutan. Di negara yang masih menganut sosialisme pertanian,  antara logistik, pekerja, tekhnologi, tidak pernah bisa melahirkan business process yang sustainable. Contoh di India, mengalami gangguan logistik dari pusat produksi ke pasar. Akibatnya stok dikuasai oleh pedagang. Laba mengalir ke pedagang, bukan ke petani. Itu juga terjadi di Indonasia sampai sekarang”

“ Kan engga bisa mengubah sistem sosialisme produksi pertanian Indonesia. Karena hampir separuh penduduk berada di sektor pertanian. Apalagi bagi mereka betani itu bagian dari kebudayaan, yang secara tradisi sudah melekat dalam kehidupan mereka.  Kalau dilakukan cara value enggineering agar mindset mereka kapitalis tentu akan terjadi goncangan politik. Sementara masalah pangan kan bukan hanya soal produksi, tetapi juga ketersediaan stok untuk memenuhi konsumsi orang banyak,  termasuk petani sendiri kan adalah konsumen dari produk pertanian”

“ Ya kalau begitu, solusinya adalah Food estate. Memisahkan pertanian berkonsep kapitalis dengan pertanian konsep sosialis. Benar kamu, pada akhirnya yang harus dijaga adalah konsumen.”

“ Emang seperti apa konsep Food estate yang kamu maksud ?

“ Food Estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas. Hasil dari pengembangan Food Estate bisa menjadi pasokan ketahanan pangan nasional dan jika berlebih bisa dilakukan ekspor.” 

“ Secara teknis gimana ?

“ Karena dibangun dengan konsep kapitalis maka pengelolaanya dilakukan oleh korporat.  Yang layak dilakukan secara estate food adalah beras, gandum, jagung, kedelai, tebu. Agar secara economy feasible maka luas lahan minimal 25 hektar, kalau lebih malah lebih bagus. Karena pendekatannya adalah business process maka semua sumber daya yang ada dioptimalkan agar efisiensi terjadi.”

“ Maksudnya?

“ Contoh Lahan pertanian disiapkan, tetapi juga peternakan disiapkan, termasuk pengolahan limbah. Agar hasil panen juga bisa digunakan untuk pakan ternak. Limbahnya digunakan untuk energi dan pupuk alam. Tentu cara bertanam dan panen sudah menggunakan mesin. Mungkin 10 hektar hanya butuh 2 orang bekerja. Bandingkan dengan cara tradisional, 1 hektar bisa lebih dari 2 orang pekerja. Apalagi karena cara bercocok tanam sudah menerapkan tekhnologi, seperti tersedianya irigasi yang modern sehingga dapat dipastikan semua lahan dapat diairi, kegagalan panen akibat hama bisa diantisipasi, produksi perhektar bisa dua kali dari cara tradisional. Bahkan mereka juga dilengkapi dengan pusat logistik seperti pelabuhan agar hasil produksi bisa sampai ke pasar. Jadi sangat efisien.”

“ Tetapi apakah dengan adanya food estate itu tidak merugikan profesi petani profesional. Kalau produksi melimpah harga akan turun. “

“ Enggalah. Kegiatan bisnis food estate itu juga memperhatikan demand supply. Kalau karena produksi harga turun ya bego namanya. Estate food tidak mengambil peran petani tradisional. Ia hanya menjadi alat penyeimbang agar konsumen tidak dirugikan akibat rendahnya supply. Kita sampai sekarang masih impor pangan, seperti beras, jagung, kedelai. Itu untuk menjaga supply. Nah daripada impor kan lebih baik kita produksi sendiri agar devisa hemat dan peluang mendatangkan devisa juga terbuka.” kata saya.

“ Engga mudah masuk ke pasar ekspor. Perdagangan pangan itu sudah ada kartelnya. Dari 24 negara eksportir utama pangan dan pertanian, 10 negara merupakan kelompok negara maju atau negara industri, yaitu: Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol, Kanada, Belgia, Italia, Australia, Selandia Baru, Inggris, Denmark.  Jumlah negara tersebut akan bertambah apabila Rusia, Chili, dan Polandia dimasukkan.  Artinya, kita masuk ke pasar, saingan kita adalah negara maju yang sudah beberapa dekade pemimpin pasar pangan. “ Kata Esther yang memang sebagai banker dia paham soal kompetisi bisnis.

“ Ya saya tahu itu. Itu karena kita selama ini membiarkan mereka besar. Kalau ada political will ,selalu ada jalan untuk mendobrak  mereka. Setidaknya kita tidak lagi diatur oleh mereka. Kalau susah ekspor ya makan sendiri..“

“ Yang menyedihkan. 17% lahan dunia yang layak tanam sepanjang tahun adalah Indonesia. Tapi dari 24 negara pengekspor pangan dan pertanian utama dunia tersebut, Indonesia urutan ke-24. Itupun hanya memberikan kontribusi terhadap nilai ekspor pangan dan pertanian dunia sebesar 1.0 persen pada tahun 1995 menjadi 1.1 persen  pada tahun 2017. “ Kata Esther.

“ Makanya keberadaan estate food adalah keniscayaan” Kata saya.

“ Kalau engga salah, Indonesia pernah terapkan model estate food itu seperti progam sejuta lahan era Soeharto, estate food di Papua oleh swasta di era SBY, dan tahun 2015 Jokowi juga kembangkan estate food di Marauke. Semua gagal. Lantas konsep estate sekarang ini apa bedanya “ kata Esther dengan wajah pesimis.

“ Era Soeharto, estate food itu bagian dari program transmigrasi atau istilahnya mencetak lahan pertanian. Memang gagal. Era SBY itu estate food oleh korporat tetapi hanya cover untuk membuka hutan dan dapatkan uang dari kayu. Gagal juga. Tahun 2015 bukan gagal, tetapi 100% di ekspor ke China. Karena memang investor yang masuk dari China. Nah Estate food sekarang ini dalam rangka ketahanan pangan dan sekaligus diversifikasi pangan. Artinya sebagai substitusi impor dan kalau lebih ya di ekspor. Negara lead langsung program ini. Pembangunannya melalui penugasan kepada  BUMN, dan kelak  bila sudah terbangun akan dibentuk BUMN khusus untuk mengelolanya."

" Kalau estate food ini sukses, bukan tidak mungkin dalam jangka panjang akan terjadi proses social engineering di masyarakat. Generasi berikutnya akan menjadikan bertani sebagai profesi first class, dan begitu seharusnya karena kita mempunyai SDA berupa lahan tropik yang tidak mengenal empat musin dan curah hujan selalu ada sepanjang tahun. Itu berkah dan seharusnya kita bukan importir pangan tetapi menjadi lumbung pangan dunia." Kata Esther.

 Bukan tidak mungkin juga dengan sukses estate food itu akan melahirkan inspirasi dan motivasi terjadinya kolaborasi  secara alamiah antar petani melalui share lahan yang mereka punya agar bisa terbangun estate food dengan luas yang feasible. Kemudian hasil kolaborasi itu berubah ujud menjadi Badan Usaha yang legitimate untuk mengakses pasar uang dan modal.  Kita akan bertransformasi dari bertani untuk bertahan hidup menjadi bertani untuk kemakmuran.  “ Kata saya 

" Kalau begitu besok pensiun, aku akan kembali ke Indonesia dan jadi petani..keren ya..” Esther tersenyum ketika kami menyusuri jalan desa dan petangpun merangkak menuju malam. Esok pajar akan menjemput, akan selalu ada harapan.

***


Estate food adalah solusi pragmatism jokowi dalam rangka ketahanan pangan. Tentu namanya pragmatism, tidak ada studi akadamis yang konprehensif. Ya crass program. Walau pelaksanaanya melibatkan kementrian pertanian dan kementrain BUMN, PUPR dan Pemda namun penanggung jawab koordinator adalah Menteri Pertahanan, yaitu Prabowo.


Lahan dipersiapkan oleh Menteri pertanian berkerjasama dengan BPN. Sarana dan prasana lahan disiapkan oleh menteri PUPR. Konsepnya lahan ini milik petani penggarap nantinya. Namun skema bisnisnya melibatkan swasta dan BUMN. Menteri PUPR keluarkan anggaran kepada kontraktor penyedia sarana irigasi dan air. Menteri BUMN menunjuk BUMN sebagai offtaker produksi dananya dari bank BUMN. Pengadaan pupuk, bibit, pestisida oleh swasta, yang dibayar oleh BUMN.


Dari skema diatas, anda bisa tahu. Dari awal sudah diduga pasti gagal. Mengapa ? Ini hanya soal bagaimana keluarkan uang dari APBN saja.  Para stakeholder yang terlibat semua bermental pedagang. Tidak ada mindset industri sebagaimana program estate food yang sebenarnya. Contoh, tidak ada pelatihan kepada petani penggarap. Tidak melibatkan R&D bibit yang sesuai dengan lahan yang akan dijadikan estate food. Tidak ada studi khusus soal lahan dan topographi. Tidak ada social engineering terhadap penduduk.


Makanya saya engga kaget kalau hutan ditebang, tanah tidak layak untuk estate food. Hutan habis, uang kontraktor land clearing habis, hasilnya hanya waaawwww. Belum lagi para pengusaha udah ajukan kredit ke bank atas dasar SPK bibit, pupuk, pestisida, dan traktor.  Estate food gagal, utang jadi beban BUMN dan akhirnya tentu akan di reimburse oleh APBN karena proyek dianggap gagal.


Saya tidak salahkan Jokowi terutama soal niat. Karena dia tahu perlu terobosan agar kita bisa swasembada pangan. Tetapi karena ketidak pahaman dia soal konsep estate food, orang sekitar dia “ olah” dia. Ya masalah Jokowi hanya satu, yaitu kurang literasi. Sementara Prabowo karena faktor usia dan kesehatan, kurang focus menyelesaikan beragam kendala atas tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Saya tahu, Jokowi sempat marah besar ke prabowo soal kegagalan estate food itu. Karena itu proyek emas dia. Legacy yang akan dia banggakan. Ya mau gimana lagi. Gatot lagi.

No comments: