Thursday, July 23, 2020

Prayogo Pangestu nomor tiga terkaya di Indonesia.


Tahun 2019, ketika meresmikan pembangunan pabrik kedua polyethylene PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) anak perusahaan Pt. Barito Pacific, Jokowi mengatakan agar Prayogo membantu mengurangi defisit perdagangan Petrokimia Indonesia. Saat itu defisit neraca perdagangan sektor petrokimia Indonesia sebesar Rp193 triliun, disebabkan impor yang lebih besar dibandingkan ekspor. Untuk kebutuhan produk petrokimia mencapai 2,3 juta ton, dan baru bisa terpenuhi 736 ribu ton. Sementara 1,5 juta ton harus impor. Pabrik yang diresmikan itu kapasitasnya mencapai 400 ribu ton dan akan menjadikan total produksi polyethylene Chandra Asri menjadi 736 ribu ton per tahun. Investasi pabrik ini sekitar Rp60-Rp80 triliun. Pembangunan pabrik ditargetkan rampung empat tahun ke depan.

Pt. Barito Pacific Tbk juga adalah pemegang saham pembangkit listrik Jakarta dan Banten, melalui kepemilikan tidak langsung atas PT Indo Raya Tenaga, yang merupakan konsorsium pembangkit listrik yang bermitra dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan 15% saham milik Korea Electric Power Corp (Kepco). PT Indo Raya Tenaga menguasai mayoritas saham yaitu 51%. Kemarin tanggal 17 juli 2020, Proyogo melalui Holding Pt. Barito Pacific Tbk ( BRPT) memberikan pinjaman kepada anak perusahaanya PT. Indo Raya Tenaga sebesar US$ 252,7 juta dalam rangka meningkatkan kapasitas listri lewat pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Jawa 9 dan 10 di Suralaya, Banten. 

Siapa Prayogo Pengestu ? Pria kelahiran Kalimantan. Awalnya pada tahun 1960 dia berkeja sebagai sopir angkut di Kalimantan. Suatu saat di tahun 1969, dia berkenalan dengan Bong Sun On di Malaysia. Pertemuan itulah yang kemudian mengubah nasibnya. Bong Sun On mengenalkanya kepada Burhan Urai pemilik Djayanti Group. Burhan Urai merekrutnya bekerja di Djayanti Group. Ternyata karirnya melesat dengan cepat sampai menduduki jabatan General Manager. Karena posisi sebagai GM di Djayati Group yang merupakan Kroni Soeharto, membuat hubungannya dengan keluarga Cendana juga semakin dekat. 

Pak Harto melihat potensi besar pada Prayogo , menyarankan agar dia berbisnis sendiri.  Diapun keluar dari Djayanti Group dan mengabil alih perusahan yang punya izin HPH, yaitu CV Pacific Lumber Coy yang sedang kesulitan keuangan. Sejak itu usahanya terus berkembang dan berganti nama menjadi PT Barito Pacific Lumber. Tahun 1993 masuk terdaftar di pasar modal. Namun sejak itu Prayogo mulai mengurangi porsi bisnis kayunya. Yang hebatnya dia ekspansi ke bidang yang jauh sekali dari pengalamannya, dan berhubungan dari bisnis yang sangat visioner dan high tech. Padahal dia tidak well educated.  Dia bermitra dengan keluarga Om Lim membangun pabrik Petrokimia Tripolita dan Tjandra Asri. Namun ketika krismon terjadi tahun 1998, dia mengalami kesulitan keuangan. Karena semua tahu dia bermitra dengan keluarga Cendana. Engga ada bank mau memberikan kredit lagi. 

Politik sangat kejam dari mereka yang mau membancaki assetnya. Tetapi Prayogo tetap tegar walau dia tersangkut beragam kasus seperti kasus dana reboisasi hutan dan lain lain. Ketika Gus Dur jadi presiden, Prayogo mendapatkan dukungan moral yang besar. Bahkan Gus Dur memberikan penghargaan kepada Prayogo sebagai pengusaha nasional yang terbukti mengabdikan hidupnya untuk pembangunan ekonomi Indonesia. Namun kasusnya di Era SBY semakin kencang mengancam bisnisnya. Akhirnya dia bisa lewati semua itu. Prayogo bisa bangkit lagi dari keterpurukan akibat krismon. Terutama sejak Dhanin Chearavanont, konglomerat migran China di Thailand membantunya lewat kemitraan dengan Charoen Pokphan.  

Tahun 2007 Prayogo meningkatkan kepemilikan sahamnya di PT Chandra Asri Tbk sehingga jadi 70%. Lalu setahun kemudian, mengakuisisi PT Tri Polyta Indonesia Tbk milik keluarga salim. Dimana keduanya kemudian digabung menjadi produsen petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia dengan nama PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA). Di tahun 2015, TPIA bekerja sama dengan perusahaan ban asal Perancis, Michelin, untuk mengembangkan pabrik karet sintetis di Indonesia. BRPT kembali melebarkan sayapnya dengan mengakuisisi Star Energy Group Holding Pte Ltd di tahun 2018. Perusahaan tersebut memiliki usaha pembangkit listrik tenaga panas bumi. 

Tahun 2019, Prajogo Pangestu menjual 350 juta unit saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT) senilai Rp 1,22 triliun. Lima bulan lalu atau desember 2018 dia menual sahamnya senilai Rp 1,37 triliun. Itu dia lakukan demi komitmennya melanjutkan ekpansi PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA). Keliatanya dia focus kepada bisnis petrokimia. Namun tahun 2020, Kepemilikan Prajogo Pangestu di PT Barito Pacific Tbk meningkat menjadi 72,14% dari sebelumnya 71,53%. Kepemilikan tersebut meningkat setelah adanya pelaksanaan waran.  
Menurut majalah Forbes, posisi Prajogo melonjak tujuh peringkat ke urutan ketiga terkaya di Indonesia, dengan kekayaan bersih US $7,6 miliar atau setara dengan Rp 106 triliun, dari US $3 miliar tahun 2018. Kenaikan aset tersebut seiring dengan optimisme investor pada prospek perusahaan yang mengerek harga saham Barito Pacific.

Ya era Soeharto dia naik karena kekuasaaan, tetapi sekarang dia naik karena pasar, bukan karena kroni dengan penguasa atau bisnis rente. Tetapi kalau anda ke kantor Prayogo, photo dia bersama Pak Harto tetap dipajangnya, bahkan di rumahnya photonya bersama pak Harto masih dia pajang. Rasa terimakasihnya tidak pernah hilang kepada Pak Harto. Dia tidak takut kedekatannya dengan Soeharto dimasalalunya akan menghancurkan bisnisnya. Baginya Soeharto bukan hanya seorang presiden, tetapi seorang bapak yang menjadikan dia mantan supir angkutan jadi pengusaha sukses.Tahun 2019, Prayogo Pangestu mendapat anugerah dari negara: bintang jasa utama. Dia tetap pengusaha yang rendah hati.

No comments: