Kepanikan Nasabah Bukopin yang berdampak kepada rush, itu berawal dari laporan BPK atas audit OJK. Dalam hasil laporan bertajuk Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II tahun 2019, BPK memang menyoroti fungsi pengawasan OJK terhadap perbankan. Dalam menjalankan fungsi pengawasan itu, BPK mencermati bahawa pengawasan OJK terhadap tujuh bank belum sesuai ketentuan. BPK menilai bahwa pengawasan OJK terhadap tujuh bank belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, antara lain menyangkut batas maximum pemberian kredit (BMPK), rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR), kelaikan direktur, hingga sejumlah masalah penyewengan dalam pemberian kredit.
Seharusnya sebagai otoritas BPK tidak boleh mengumumkan hasil audit ini kepada publik. Apalagi audit itu berkaitan dengan penilaian management OJK terhadap bank yang bermasalah. Karena publik Indonesia sangat mudah sekali diprovokasi. Padahal berita itu kalau diambil dari sisi positip , keliatan OJK berusaha menyelamatkan bank dengan memberikan kebijakan pelonggaran BMPK dan CAR agar bank punya likuiditas sebelum mereka berhasil menarik modal baru dari investor atau pemegang saham. Itu biasa saja. Kebijakan administrasi dalam rangka penyelamatan bank. Tetapi entah siapa yang menjadikann berita laporan audit BPK itu menjadi alat provokasi sehingga menimbulkan kepanikan bagi nasabah. Rush terjadi. Bank sehat saja collapse kalau di rush apalagi bank dalam keadaan flue.
Tahun 2013, Aksa Mahmud yang menurut majalan Forbes termasuk orang kaya Indonesia urutan 38. Dia didatangi oleh Yayasan Bina Sejahtera Warga Bulog (Yabinstra) dan Koperasi Pegawai Bulog Seluruh Indonesia (Kopelindo). Kedua lembaga itu ingin melepas saham mereka pada BUKOPIN dan berharap dengan masuknya Aksa Mahmud sebagai pengusaha nasional pribumi bisa menyelamatkan BUKOPIN dan sekaligus mempertahankan misi Bukopin sebagai bank gerakan koperasi dan usaha kecil. Melalui Bosowa Corporindo, Aksa Mahmud menyanggupi membeli saham dari Yayasan Bina Sejahtera Warga Bulog (Yabinstra) sebanyak 784,81 juta lembar saham atau 9,4% dari total saham Bukopin dan Koperasi Pegawai Bulog Seluruh Indonesia (Kopelindo) 367,01 juta lembar saham atau 4,6%.
Dari proses pembelian saham tersebut, Bosowa Corporindo memiliki total 1,11 miliar lembar saham atau 14% dari keseluruhan saham emiten berkode BBKP itu. Keseriusan Aksa Mahmud menguasai Bukopin tidak sampai disitu. Saat Bank Bukopin melakukan Penawaran Umum Terbatas (PUT) III akhir 2013, Bosowa ikut serta dalam penawaran tersebut sehingga total saham yang dimiliki menjadi 1,68 miliar lembar atau 18,57% setelah proses PUT III.
Namun setelah Bosowa masuk sebagai pemegang saham, hingga semester I-2017 PT Bank Bukopin Tbk mencatat rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) sebesar 4,6%. Padahal, setahun sebelumnya, rasio kredit macet ini masih di posisi 3,51%. Mayoritas kredit bermasalah perusahaan ini disumbang dari kredit komersial dan 50% berasal dari tiga debitur perseroan. Total NPL ketiga debitur tersebut berada di kisaran Rp 1,1 triliun. Tahun 2018, terbongkar kasus modifikasi Kartu kredit Bukopin. Itu dibongkar oleh direksi Bukopiin sendiri. Sehingga terpaksa laporan keuangan dari 2015, 2016, dan 2017 di revisi.
Ternyata bukan hanya kasus modifikasi kartu kredit, revisi juga terjadi pada pembiayaan anak usaha Bank Syariah Bukopin (BSB) terkait penambahan saldo cadangan kerugian penurunan nilai debitur tertentu. Akibatnya, beban penyisihan kerugian penurunan nilai atas aset keuangan direvisi meningkat dari Rp649,05 miliar menjadi Rp797,65 miliar. Hal ini menyebabkan beban perseroan meningkat Rp148,6 miliar.
“ Seharusnya sebagai pengusaha nasional Aksa Mahmud bisa menunjukan kepeduliannya terhadap gerakan koperasi dan UMKM serta gerakan bank syariah. Tetapi mengapa setelah dia masuk Bukopin bukannya membuat Bukopin semakin baik, malah semakin terpuruk dengan masalah. “ kata teman kemarin di sela sela rapat bisnis.
“ Sebetulnya awal juni 2020 sudah ada solusi. OJK minta Bukopin melakuka right issue. Bosowa sudah setuju menambah modal Bukopin. Mereka sudah tempatkan dana di escrow pada Penawaran Umum Terbatas (PUT) V Bukopin. Tinggal tuggu berapa harga penawarannya. Namun pemegang saham lain belum mengikuti langkah Bosowa.”
“ Tetapi masalah Bukopin itu bukan hanya soal modal tetapi likuiditas. Seharusnya pemegang saham amankan dulu likuiditas baru lakukan right issue. Dalam hal ini saya setuju dengan langkah Kookmin sebagai pemegang saham Bukopin, yang lebih dulu menempatkan dana USD 200 juta untuk likuiditas sehingga nasabah bisa tenang. Kan intinya bank itu bisnis kepercayaan. Likuiditas itu darahnya bank. Kalau darah udah kurang, saham udah engga penting. Apalagi modal bank itu hanya 10% dari total asset. Mengapa Bosowa engga perkuat likuiditas Bukopin seperti yang dilakukan Kookmin? Tanya teman
“ Bosowa sudah mengikuti saran OJK agar menunjuk technical assistance untuk Bukopiin. Mereka tunjuk BRI sebagai bank yang bertindak sebagai technical assistance” Kata saya.
“ Bro, dalam kondisi sekarang Bukopin engga butuh technical assistance. Mereka butuh likuiditas. Apa susahnya Bosowa narok duit di Bukopin sebesar Rp. 3 triliun. Nah kalau ditambah yang ditarok Kookmin, likuiditas bisa Rp, 5 triliun lebih. Selesai masalah Bukopin. Asing aja paham kok gimana bertindak sebagai pemegang saham Bank. Masak Bosowa yang concern dengan UMKM dan Koperasi engga mau narok duit?
“ Engga ngerti saya. Di Bukopin itu sekarang tidak ada pemegang saham pengendali. Jadi engga ada kewajiban pemegang saham setor likuiditas. kata saya.
“ Soal setoran likuiditas itu soal moral. Lihat aja kemarin, gimana cara pemerintah tempatkan dana di bank BUMN sebesar Rp. 30 triliun untuk menjaga likuiditas bank BUMN. Itu moral pemerintah sebagai pemegang saham. Memang harusnya begitu” Kata teman semakin kencang.
“ Ya, bisa dipahami karena di bank BUMN itu pemerintah sebagai pemegang saham pengendali. Tetapi setidaknya kemarin Bank Bukopin akan melaksanakan Penawaran Umum Terbatas V (PUT V) dalam rangka penerbitan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD). Ini langkah strategis menyehatkan Bukopin“
“ Kalau HMETD hanya pemegang saham utama yang beli, maka kepemilikan Kookmin menjadi 37,6 persen dan kepemilikan Bosowa menjadi 23,36 persen. Adapun, kepemilikan masyarakat terdilusi jadi 28,9 persen. Tetapi kalau Bosowa tidak menggunkan peluang HMETD, ya nasipnya akan sama dengan pemegang saham publik, sahamnya terdelusi.”
“ Saya yakin Bosowa akan gunakan haknya dalam HMETD” kata saya.
“ Kookmin saya yakin. Tetapi Bosowa enggalah. Karena dia tahu masalah Bukopin itu masalah likuiditas. Kalau dia ikut HMETD, dia bersama Kookmin akan jadi pemegang saham pengendali. Total saham mereka berdua jadi 61% lebih. Setoran likuiditas menjadi wajib, bukan lagi moral. Kalau dia engga setor likuiditas dan Kookmin mau setor, pasti OJK berpihak kepada Kookmin. Bisa ketendang Bosowa atau delusi.” kata teman. Saya diam aja. Malas komen
“ Mungkin Bosowa berharap pemerintah bantu likuiditas Bukopin melalui BNI dan BRI. Sehingga tetap jadi pemegang saham pengedali dari Bukopin. Tetapi keliatannya BNI dan BRI hanya bantu management, engga bisa bantu duit.” Kata teman. Saya hanya tersenyum. Pada akhinya nanti yang akan muncul sebagai pengendali di Bukopi adalah mereka yang benar benar punya uang. Pemerintah engga akan terbujuk dengan jargon gerakan koperasi atau UMKM. Ini soal bisnis. Setidaknya Bosowa sudah dapat kesempatan sejak tahun 2013 melaksanakan misi dan visinya untuk gerakan koperasi dan UMKM, hasilnya Bukopin malah bermasalah.
“ Mau jadi pengendali bank, anda harus benar benar kaya. Kalau tanggung, mending keluar atau rebahan aja di rumah. “ Kata teman. Saya hanya tersenyum.
No comments:
Post a Comment